Lakso: Kuliner Gurih Khas Palembang yang Menggoda Selera

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Pada artikel kali ini, kami akan menyajikan informasi tentang kuliner tradisional yang berasal dari Kota Palembang. Kuliner yang akan kami bagikan kali ini adalah lakso. Yuk, kita simak mengenai kuliner ini.

Lakso, makanan khas Palembang. (sumber: www.fimela.com)

Lakso adalah hidangan mie gurih khas Indonesia yang disajikan dalam kuah berbahan santan kelapa berwarna kekuningan yang gurih. Biasanya, hidangan ini dicampur dengan ikan dan ditaburi bawang goreng. Lakso merupakan salah satu kuliner khas dari daerah Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

Secara sederhana, Lakso sering dianggap sebagai versi laksa yang berasal dari Palembang. Namun, sebenarnya makanan ini memiliki perbedaan yang mencolok dengan laksa yang umumnya ditemukan di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lakso juga seringkali disamakan dengan burgo, meskipun burgo adalah panekuk yang terbuat dari tepung beras, yang kemudian dilipat, dipotong, dan disajikan dalam kuah santan berwarna putih. Di Palembang, Lakso bersama dengan burgo menjadi pilihan jajanan populer untuk sarapan.

Sejarah

Kata "laksa" memiliki asal-usul yang beragam. Dalam Bahasa Melayu Kuno, kata tersebut berasal dari "laksha," yang berarti banyak atau "sepuluh ribu," dan telah tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatera Selatan. Di Palembang, hidangan ini disebut dengan nama "Lakso." Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kata "Laksa" mungkin berasal dari bahasa Persia.

Demikianlah informasi singkat mengenai lakso, makanan khas dari Kota Palembang. Bagi yang ingin mencicipi lakso, Anda dapat mengunjungi para penjual di daerah Anda atau mencari berbagai resep lakso dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Rumah Singgah Soekarno di Palembang: Jejak Bersejarah Sang Proklamator

Rumah Pengasiangan Bung Karno di Palembang. (sumber: Urban Id)

Provinsi Sumatera Selatan, khususnya Kota Palembang, adalah tempat yang menyimpan banyak jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Ir. Soekarno, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia dan presiden pertama Indonesia. Salah satu jejak bersejarah tersebut adalah rumah singgah Soekarno di Jalan KHA Azhari, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang.

Menurut cerita dari Abdurrahman, cucu dari H. Anang, rumah ini pernah menjadi tempat singgah bagi Ir. Soekarno dan istrinya, Inggit Ginarsih, pada tahun 1940-an menjelang proklamasi kemerdekaan RI. Soekarno sengaja datang ke rumah ini setelah diundang oleh salah satu sahabatnya, Raden Panani, yang saat itu telah diasingkan dari Bengkulu sebelum Soekarno pergi ke Jakarta.

Raden Panani adalah seorang pengajar di organisasi Muhammadiyah yang diundang dari Jawa ke Palembang dan kemudian diangkat sebagai anak oleh H. Anang. Kedekatan Raden Panani dengan Soekarno memungkinkan Soekarno untuk berkumpul dengan para guru Muhammadiyah, termasuk Raden Panani, yang rumahnya tidak jauh dari rumah singgah ini.

Rumah ini, yang sering disebut sebagai rumah Depok oleh masyarakat sekitar, dibangun sekitar tahun 1938 oleh H. Anang. H. Anang adalah seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh penting dalam organisasi Islam Muhammadiyah di Kota Palembang. Rumah ini adalah contoh arsitektur Belanda yang masih berdiri hingga saat ini.

Dalam cerita yang diteruskan oleh Abdurrahman, Soekarno dan istrinya tidak hanya singgah di rumah H. Anang, tetapi juga diundang untuk makan bersama di rumah lain yang dimiliki oleh H. Anang di belakang rumah singgah tersebut. Diketahui bahwa Soekarno menyukai makanan seperti sayur kangkung dan belut goreng.

Selain menjadi tempat singgah Soekarno, rumah ini juga memiliki kisah cinta antara Soekarno dengan Fatmawati. Hubungan antara Fatmawati, ibu dari Megawati Soekarnoputri, dengan keluarga H. Anang membuat Soekarno jatuh hati pada Fatmawati. Fatmawati aktif dalam organisasi remaja putri Muhammadiyah dan sering bertemu dengan H. Anang, sehingga memungkinkan Soekarno dan Fatmawati untuk berkenalan.

Rumah singgah Soekarno ini menjadi cagar budaya pada tahun 2018 oleh pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Kebudayaan. Namun, Abdurrahman dan keluarganya harus menanggung biaya perawatan dan menjaga rumah ini sendiri sejak ditetapkan sebagai cagar budaya. Mereka berharap agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap rumah singgah bersejarah ini, terutama dalam hal perawatan dan pemeliharaan.

Meskipun jejak sejarah dalam bentuk foto-foto dari kunjungan Soekarno ke rumah ini telah diserahkan kepada pihak terkait, rumah singgah ini tetap menjadi saksi bisu perjalanan bersejarah sang proklamator dan merupakan bagian yang penting dari warisan sejarah Palembang dan Indonesia.

Share:

Kampung Kapitan: Memelihara Sejarah dan Budaya di Tepi Sungai Musi, Palembang

Rumah Kapitan. (sumber: Wikipedia)

Kampung Kapitan adalah sebuah kawasan bersejarah yang terletak di kota Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Kawasan ini, yang terletak di tepi Sungai Musi di sisi barat Jembatan Ampera, juga dikenal dengan nama Tuju Ulu. Kampung Kapitan memainkan peran penting dalam sejarah Palembang karena merupakan tempat pertama kali dihuni oleh warga keturunan Tionghoa pada masa penjajahan Belanda.

Sejarah Kampung Kapitan

Kampung Kapitan memiliki sejarah yang kaya, dimulai pada tahun 1644 pada abad ke-17. Kawasan ini dinamai "Kampung Kapitan" karena di sini terdapat tiga rumah perwira yang merupakan tempat tinggal para kapitan. Salah satu tokoh berpengaruh dalam komunitas Tionghoa Palembang pada waktu itu adalah Lioang Taow Ming. Karena pengaruhnya, ia diangkat sebagai perwira oleh pemerintahan Belanda dan diberikan tanggung jawab untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya.

Pemimpin masyarakat Tionghoa Palembang pertama adalah Tjoa Kie Tjuan, yang memegang pangkat mayor. Ia memimpin wilayah 7 Ulu dari tahun 1830 hingga 1855. Setelahnya, putranya, Tjoa Han Him, dengan pangkat kapten atau kapten, menggantikan ayahnya. Tjoa Han Him juga memiliki wewenang untuk mengatur wilayahnya sendiri dan mengawasi pajak. Di masa pemerintahannya, daerah ini diberi nama Kampung Kapitan, yang menjadi gelar dan julukannya.

Awalnya, pemerintah Belanda memberikan wilayah ini karena khawatir terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Palembang. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Tionghoa menjadi perantara perdagangan dan mendapatkan posisi istimewa dalam pemerintahan Belanda.

Kampung Kapitan juga menjadi pusat perdagangan di kota Palembang, dan pedagang yang lelah sering singgah di rumah Kapitan untuk beristirahat.

Ruang Terbuka dan Bangunan Bersejarah

Kampung Kapitan memiliki ruang terbuka di depan rumah Kapitan. Pada tahun 1937, ruang ini memainkan peran penting sebagai pertemuan bagi pejalan kaki. Selain itu, ruang terbuka ini juga berfungsi sebagai taman yang dihiasi dengan delapan pot bunga besar di tepinya.

Namun, seiring perkembangan zaman, ruang terbuka ini mulai dipenuhi oleh pemukiman. Pada tahun 2014, sebuah restoran Kapitan dibangun, yang menghalangi akses ke ruang terbuka dari arah sungai dengan tembok. Selain itu, taman juga dibangun yang mengubah wujud dari bangunan rumah Kapitan.

Kawasan ini memiliki 15 kelompok bangunan berbentuk rumah panggung, di mana tiga di antaranya adalah rumah perwira. Rumah Kapitan terdiri dari rumah utama dan rumah abu. Rumah utama seluas 4.000 meter persegi dan dipisahkan oleh ruang terbuka di tengahnya. Hingga saat ini, rumah utama ini masih ditinggali oleh keturunan Tjoa Hanhim. Sementara itu, rumah abu memiliki luas 1.700 meter persegi dan digunakan untuk mengumpulkan barang-barang keluarga marga Tjoa, seperti foto-foto dan tempat penyimpanan abu dari anggota keluarga yang sudah dikremasi.

Rumah Kapitan menampilkan gaya arsitektural yang mencerminkan pengaruh Palembang, Tionghoa, dan kolonial dalam bangunan-bangunannya.

Kampung Kapitan adalah saksi bisu sejarah dan budaya yang harus dilestarikan. Bangunan-bangunannya yang bersejarah dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kawasan ini adalah bagian penting dari warisan Palembang dan Indonesia secara keseluruhan.

Share:

Burgo: Kuliner Tradisional Palembang yang Lezat dan Bersejarah

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Pada artikel kali ini, kami akan menyajikan informasi tentang kuliner tradisional yang berasal dari Kota Palembang. Kuliner yang akan kami bagikan kali ini adalah burgo. Yuk, kita simak mengenai kuliner ini.

Burgo, makanan khas Palembang. (sumber: www.fimela.com)

Burgo merupakan hidangan khas dari Kota Palembang yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) pada tahun 2021 dengan nomor pendaftaran 202101401, berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Meskipun termasuk makanan kecil, bukan makanan utama, burgo sering ditemui di warung-warung khas Palembang. Biasanya, hidangan ini disajikan bersama dengan makanan lain seperti lakso, laksan, dan celimpungan. Agar burgo lebih nikmat, disarankan untuk dinikmati dalam keadaan hangat. Oleh karena itu, warung-warung biasanya menyajikan burgo dengan kompor untuk menjaga suhu panasnya.

Bahan utama dalam pembuatan burgo meliputi setengah kilogram beras, sagu, setengah kilogram ikan gabus, dan air. Proses pembuatan burgo juga melibatkan berbagai bumbu tambahan seperti lengkuas, ketumbar, biji kemiri, kencur, temu kunci, bawang merah, bawang putih, gula pasir, daun salam, dan sedikit kapur sirih.

Bahan Utama

Adonan encer untuk panekuk atau kue dadar terdiri dari campuran tepung beras, sagu, atau tapioka yang dicampur dengan air. Proses pembuatan panekuk mirip dengan cara membuat panekuk pada umumnya, yakni dengan menggorengnya di atas wajan datar, kemudian melipat dan menggulungnya.

Burgo, di sisi lain, disajikan dengan kuah berwarna putih yang terbuat dari campuran santan dan daging ikan. Ada berbagai jenis ikan yang dapat digunakan, tetapi ikan gabus sering menjadi pilihan utama. Untuk versi yang lebih ekonomis dan sederhana, udang kering ebi dapat digunakan sebagai alternatif.

Kuah santan ini diberi cita rasa dengan campuran bawang putih, ketumbar, lengkuas, garam, dan daun salam. Sebelum disajikan, panekuk lipat burgo diiris-iris, lalu disiram dengan kuah santan, dan dihiasi dengan bawang goreng. Untuk tambahan rasa pedas dan kesegaran asam, sambal dan perasan jeruk nipis dapat ditambahkan.

Demikianlah informasi singkat mengenai burgo, makanan khas dari Kota Palembang. Bagi yang ingin mencicipi burgo, Anda dapat mengunjungi para penjual di daerah Anda atau mencari berbagai resep burgo dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Klenteng Dewi Kwan Im Palembang: Sejarah dan Tradisi yang Memikat

Klenteng Dewi Kwan Im. (sumber: bolong.id)

Perayaan Tahun Baru Imlek bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia adalah momen istimewa yang penuh makna dan tradisi. Salah satu tempat terpenting untuk merayakan Imlek di Palembang adalah Klenteng Dewi Kwan Im, sebuah klenteng yang kaya sejarah dan budaya. Mari kita telusuri beberapa fakta menarik tentang Klenteng Dewi Kwan Im yang patut Anda ketahui:

1. Tidak Mengizinkan Sesaji Darah Babi

Saat perayaan Imlek, tradisi umumnya melibatkan penyajian sesaji kepada leluhur. Namun, Klenteng Dewi Kwan Im memiliki aturan yang berbeda. Klenteng ini tidak mengizinkan sesaji berupa darah babi dan anjing. Keputusan ini dipengaruhi oleh kisah sejarah keturunan Tionghoa yang memiliki hubungan dengan umat Muslim di daerah tersebut.

Kisah ini berkaitan dengan legenda putri Palembang, Siti Fatimah, yang merupakan seorang Muslim dan menikah dengan seorang Pangeran Tionghoa bernama Tan Bon An. Sebagai penghormatan terhadap leluhur yang Muslim, Klenteng Dewi Kwan Im tidak menyajikan makanan yang mengandung darah hewan yang diharamkan dalam Islam.

2. Terdapat 12 Meja Tempat Berdoa

Klenteng Dewi Kwan Im memiliki aroma khas dupa yang akan Anda cium begitu memasukinya. Dupa dianggap sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan alam gaib atau Thien. Klenteng ini memiliki 12 meja yang digunakan sebagai tempat berdoa.

Setiap meja didedikasikan untuk dewa yang berbeda. Meja pertama dipersembahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa, sementara meja-meja lainnya mewakili dewa-dewa lain dalam hierarki kepercayaan Tionghoa. Di dalam klenteng, etika dan tata krama yang ketat harus dijunjung, termasuk menghormati tingkatan dewa sesuai urutan hierarki.

3. Makam Panglima dalam Klenteng

Klenteng Dewi Kwan Im memiliki luas total 7.000 meter persegi dan dilengkapi dengan patung-patung naga yang megah di atas atap klenteng. Namun, salah satu hal yang menonjol di klenteng ini adalah makam seorang panglima keturunan Tionghoa yang beragama Islam, Ju Sin Kong atau lebih dikenal sebagai Apek Tulong.

Menurut mitos, orang yang mengunjungi makam ini dapat mendapatkan berkah dan perlindungan dari penyakit. Klenteng ini menerima umat dari berbagai agama dan kepercayaan, termasuk Buddha, Tao, dan Konghucu, untuk berdoa.

4. Dewi Kwan Im sebagai Penyembuh Penyakit

Selain dupa yang kental, klenteng ini memiliki altar-altar yang didedikasikan untuk berbagai dewa, termasuk Dewi Maco Po yang menguasai laut dan Dewi Kwan Im yang dianggap sebagai penolong orang yang menderita. Dewi Kwan Im dipercaya oleh masyarakat keturunan Tionghoa dapat membantu menyembuhkan penyakit.

Sebuah kisah dari masa lalu menceritakan seorang yang menderita kanker rahang berdoa kepada Dewi Kwan Im. Ia kemudian diminta untuk mengambil nomor obat dari petugas klenteng. Nomor ini akan ditukarkan dengan racikan obat di toko yang ditunjuk, dan diyakini bahwa penyakitnya akan sembuh.

Klenteng Dewi Kwan Im di Palembang adalah tempat yang memancarkan sejarah, budaya, dan spiritualitas. Dengan tradisi yang unik dan makna yang dalam, klenteng ini adalah bagian penting dari warisan budaya keturunan Tionghoa di Indonesia.

Share:

Kampung Arab Al Munawar Palembang: Pesona Sejarah dan Kebudayaan

Kampung Arab Al Munawar. (sumber: sumsel.genpi.co)

Kota Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia, terkenal dengan keberagaman budaya dan sejarah yang kaya. Salah satu destinasi yang mencerminkan kekayaan ini adalah Kampung Arab Al Munawar, sebuah desa wisata yang memadukan sejarah dan keindahan budaya Arab.

Kampung Arab Al Munawar: Sejarah dan Keturunan

Kampung Arab Al Munawar, yang terletak di tepi Sungai Musi dan dikenal oleh masyarakat setempat sebagai "Laot" atau laut, adalah salah satu kampung tertua di Palembang. Kampung ini menjadi pusat wisata pada tahun 2018, ketika menjadi tuan rumah ajang Asian Games 2018. Saat itu, kampung ini diubah menjadi destinasi yang lebih menonjolkan etnis dan budaya keturunan Arab yang mendiami lingkungan tersebut.

Kampung Arab Al Munawar bukan hanya tempat bagi keturunan Arab, tetapi juga rumah bagi berbagai keturunan, termasuk Assegaf, Al-Habsy, Al-Kaaf, Hasny, dan Syahab. Sejarah kampung ini melibatkan tokoh sepuh, Habib Hasan Abdurrahman Al-Munawar, yang menjadi pemimpin setelah Belanda melakukan pendekatan pada etnis Arab. Habib Hasan Abdurrahman Al-Munawar diberi pangkat kapten oleh Belanda dan wafat pada tahun 1970.

Keunikan Arsitektur dan Bangunan Kuno

Kampung Arab Al Munawar menawarkan berbagai keunikan, termasuk dalam hal arsitektur dan bangunan kuno. Terdapat delapan rumah yang telah menjadi cagar budaya, beberapa di antaranya memiliki usia lebih dari 300 tahun. Ciri khas rumah-rumah ini adalah cat putih dengan sentuhan warna hijau, ungu, dan merah jambu.

Selain itu, arsitektur rumah-rumah ini mencerminkan pengaruh Timur Tengah dan Eropa, dengan desain ornamen yang khas dan unik. Beberapa rumah juga menggabungkan elemen desain rumah adat Sumatra Selatan, seperti bentuk Limas. Rumah-rumah ini adalah rumah panggung dengan lantai bawah berlapis marmer dengan motif tradisional, yang juga terbuat dari marmer impor dari Italia. Kayu Ulin yang berusia ratusan tahun digunakan untuk jendela dan pintu, sementara kubah ala Turki menambah pesona Timur Tengah.

Kuliner Khas Arab dan Tradisi

Selain pesona arsitekturalnya, Kampung Arab Al Munawar juga terkenal dengan kuliner khas Arab. Makanan seperti nasi kebuli, gulai kambing, kari kambing, ayam gulai, selado, acar nanas, serta kopi khas buatan kampung ini menjadi daya tarik tersendiri. Pengunjung dapat menikmati hidangan ini secara tradisional dengan nuansa Arab, termasuk makan secara lesehan.

Kampung ini juga memiliki sekolah agama Islam yang menjadi pusat pengetahuan agama Islam. Aturan tradisional di kampung ini melibatkan pembatasan pernikahan antara anak perempuan dengan laki-laki dari luar kampung, sementara pria dapat menikahi wanita dari luar. Pengunjung juga diharapkan mematuhi aturan berpakaian sopan dan menutup aurat serta menjaga etika sosial saat berada di kampung ini.

Kesenian dan Tradisi Budaya

Kampung Arab Al Munawar memelihara tradisi budaya Arab, termasuk seni musik Gambus yang dimainkan di dalam ruangan tua. Tradisi ini seringkali menonjol pada hari-hari tertentu seperti Maulid Nabi, Bulan Ramadhan, dan Tahun Baru Islam.

Kampung Arab Al Munawar di Palembang adalah destinasi yang memadukan sejarah, budaya, dan keindahan arsitektural. Dengan pesona bangunan kuno yang masih kokoh dan tradisi yang dijaga dengan baik, kampung ini adalah tempat yang memukau bagi pengunjung yang ingin menjelajahi warisan Arab di Sumatra Selatan.

Share:

Selami Kelezatan Celimpungan: Kuliner Tradisional Sumatera Selatan

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Pada artikel kali ini, kami akan menyajikan informasi tentang kuliner tradisional yang berasal dari Sumatera Selatan. Kuliner yang akan kami bagikan kali ini adalah celimpungan. Yuk, kita simak mengenai kuliner ini.

Celimpungan, makanan khas Sumatera Selatan. (sumber: www.masakaapahariini.com)

Celimpungan, sebuah hidangan khas Sumatra Selatan, menggabungkan adonan sagu dengan ikan, mirip dengan pempek yang juga berasal dari wilayah yang sama. Namun, perbedaan mencolok terletak pada bentuk dan sausnya. Celimpungan memiliki bentuk bulat dengan diameter sekitar 10 cm dan tipis. Sausnya, yang terbuat dari santan dan campuran rempah-rempah khas, melengkapi cita rasanya. Sajian celimpungan biasanya disantap dengan sambal goreng yang memberikan sentuhan pedas yang lezat.

Demikianlah informasi ringkas mengenai celimpungan, sajian kuliner yang berakar dari Sumatera Selatan. Bagi yang ingin merasakannya, Anda dapat menjelajahi penjual celimpungan di sekitar Anda, atau jika tak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep celimpungan dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Pabrik Es Assegaf: Warisan Bersejarah di Tepian Sungai Musi

PT. Alwi Assegaf. (sumber: kearifanlokalpalembang.id)

Di tepian Sungai Musi, sebuah pabrik es yang berdiri sejak tahun 1929 telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Palembang. Pabrik es kuno ini telah bertahan melintasi zaman, dan meskipun semua di dalamnya tampak tua, peranannya dalam mendukung kehidupan nelayan dan komunitas lokal tetap tak ternilai.

Jejak Sejarah Pabrik Es Assegaf

Pabrik es PT Alwi Assegaf, yang terletak di kawasan Seberang Ulu II, Plaju, Palembang, telah berdiri selama hampir 100 tahun. Bangunan pabrik ini masih mempertahankan penampilannya yang sama sejak zaman Belanda. "Jalan es" yang berupa talang-talang kayu masih menjulur dari pabrik ke dermaga di Sungai Musi. Di dalam pabrik, mesin-mesin kompresor lama dari Jepang dan Amerika Serikat, yang berasal dari tahun 1920-an, selalu siap beroperasi. Pekerja-pekerja yang membawa gancu di tangan berjaga di sepanjang "jalan es" sejak pagi hari.

Setiap hari, kapal-kapal motor kayu berdatangan ke dermaga pabrik es PT Alwi Assegaf mulai pukul 02.00. Mereka datang untuk mengambil es batu yang akan digunakan untuk mengawetkan hasil tangkapan selama pelayaran. Kapal Motor Achiat Jaya, misalnya, membeli 1,5 ton es batu untuk mengawetkan 3 ton udang dan ikan selama tiga hari berlayar hingga Selat Bangka. Beberapa kapal yang lebih besar bahkan membeli hingga 11 ton es untuk pelayaran yang lebih lama.

Peran Penting dalam Kehidupan Nelayan Tradisional

Pabrik es ini menjadi penopang utama kehidupan nelayan tradisional yang mengandalkan es batu untuk mengawetkan hasil tangkapan mereka. Es batu ini disimpan dalam kotak kayu berlapis aluminium dan ditutup dengan sekam atau serutan kayu. Es tersebut dapat bertahan selama satu hingga dua minggu jika kotaknya bagus. Kehadiran pabrik es PT Alwi Assegaf memudahkan para nelayan dalam menjalankan profesi mereka.

Pengaruh Sosial dan Warisan

Pabrik es PT Alwi Assegaf bukan hanya tempat bisnis, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Para nelayan tradisional dan komunitas sekitarnya telah bergantung padanya selama bertahun-tahun. Banyak pembeli es batu adalah keturunan dari pelanggan-pelanggan pada masa lalu. Dengan demikian, pabrik ini bukan hanya tempat bertransaksi, tetapi juga tempat berkumpulnya generasi yang telah lama menjalin hubungan dengan pabrik es ini.

Selain berperan sebagai pemasok es batu, pabrik ini juga menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di sekitarnya. Sistem penjernihan air yang telah ada sejak zaman Belanda menyediakan ribuan liter air bersih yang digunakan oleh 34 rumah di sekitar pabrik secara gratis.

Warisan Bersejarah di Tepian Sungai Musi

Pabrik es PT Alwi Assegaf, yang merupakan bagian dari perkampungan tua komunitas keturunan Arab Assegaf, telah mempertahankan penampilannya selama bertahun-tahun. Kompleks perkampungan dan bangunan pabrik yang mencerminkan arsitektur Belanda dengan sentuhan arsitektur rumah panggung Sumatera Selatan masih terawat dengan baik. Kisah masa lalu pabrik ini juga terekam dalam foto-foto lama, meskipun beberapa di antaranya mulai pudar.

Hingga sekarang, pabrik es PT Alwi Assegaf tetap dikelola oleh keluarga meskipun sebagian besar keturunan Habib Alwi Assegaf telah memiliki usaha sendiri di luar Palembang. Keputusan untuk mempertahankan pabrik ini tidak hanya didorong oleh keuntungan bisnis, tetapi juga oleh alasan sosial. Pabrik ini masih menjadi penopang utama kehidupan masyarakat sekitar, dan masih banyak yang bergantung pada pabrik ini.

Meskipun demikian, pabrik es PT Alwi Assegaf juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk persaingan dengan metode pendinginan modern. Namun, perannya yang penting dalam mendukung nelayan tradisional dan komunitas lokal menjadikannya warisan bersejarah yang patut dijaga dan dihormati di tepian Sungai Musi, Palembang.

Share:

Kampung Arab Assegaf: Jejak Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Palembang

Kampung Arab Assegaf. (sumber: adrian10fajri.wordpress.com)

Kota Palembang, yang kaya akan sejarah dan budaya, juga memiliki jejak sejarah perkampungan Arab yang kaya. Penyebaran masyarakat Arab di Palembang dimulai saat Kesultanan Palembang memberikan izin kepada mereka untuk tinggal di wilayah tersebut. Masyarakat Arab kemudian memainkan peran penting dalam meningkatkan perekonomian Kesultanan Palembang. Jejak mereka masih dapat dilihat dalam bentuk perkampungan Arab di kota ini.

Jejak Awal Penyebaran Arab di Palembang

Jejak awal penyebaran masyarakat Arab di Palembang dimulai dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan Arab. Faktor penting dalam pola penyebaran perkampungan Arab di kota ini adalah orientasinya terhadap sungai Musi.

Salah satu kampung Arab yang menonjol di Palembang adalah Kampung Assegaf, yang terletak di Kelurahan 16 Ulu. Keistimewaan kampung ini terletak pada adanya pabrik dan pengolahan air minum, yang membuatnya lebih mandiri daripada perkampungan Arab lainnya. Kampung Assegaf memainkan peran penting dalam sejarah Palembang, terutama pada masa penjajahan Belanda dan masa Kesultanan Palembang.

Peran Ekonomi dan Penyebaran Agama

Pentingnya Kampung Assegaf terletak pada peran penting masyarakat Arab dalam ekonomi dan penyebaran agama Islam. Pada masa lalu, perkampungan ini memiliki peran signifikan dalam memajukan perekonomian Palembang dan dalam menyebarkan ajaran Islam.

Bahkan hingga saat ini, Kampung Assegaf tetap memiliki peran ekonomi yang kuat. Selain peran ekonomi, kampung ini juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, terutama dalam hal bangunan-bangunan tua yang mencerminkan perpaduan arsitektur lokal dan arsitektur kolonial Belanda.

Perkembangan Pola Permukiman di Kampung Assegaf

Perkembangan permukiman di Kampung Assegaf tidak terjadi secara bersamaan, melainkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. Perkembangan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi.

Bangunan pertama yang dibangun di Kampung Assegaf sebelum tahun 1920 adalah "Rumah Besak," yang terkenal karena ukuran dan megahnya. Bangunan ini merupakan awal dari pembentukan permukiman tradisional di kampung ini.

Seiring dengan pertambahan jumlah keturunan Habib Alwi bin Syech Assegaf, jumlah rumah di kampung ini juga bertambah. Rumah-rumah ini menghadap ke sungai Musi dan dibangun berdekatan satu sama lain, bahkan ada yang saling berhubungan di bagian belakang rumah. Rumah yang berhubungan di bagian belakang biasanya digunakan oleh dua keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan dekat.

Habib Alwi bin Syech Assegaf juga membangun fasilitas seperti mushola, madrasah, water treatment, dan pabrik untuk mendukung kehidupan masyarakat di sekitar kampung. Pabrik pengolahan air bersih di kampung ini memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Air bersih diambil langsung dari Sungai Musi dan diolah menggunakan sistem water treatment di dalam pabrik. Kemudian, air hasil pengolahan disalurkan ke rumah-rumah dan fasilitas kampung untuk memenuhi kebutuhan air.

Dalam perkembangannya, kampung ini mengalami beberapa penambahan gedung pabrik dan rumah hunian, yang dibangun mengikuti orientasi tradisional ke sungai. Pabrik pertama dibangun pada tahun 1929, kemudian mengalami beberapa kali penambahan gedung pada tahun 1932, 1974, dan 1991.

Kampung Assegaf, dengan sejarahnya yang kaya dan peran pentingnya dalam perekonomian dan penyebaran agama Islam, tetap menjadi bagian berharga dari warisan budaya Palembang yang patut dijaga dan dihormati.

Share:

Menyelami Kelezatan Tempoyak: Kuliner Tradisional dari Pulau Sumatera

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Dalam artikel kali ini, kami akan membagikan informasi menarik tentang kuliner tradisional asal pulau Sumatera, yaitu tempoyak. Mari kita selami lebih lanjut mengenai kelezatan kuliner yang satu ini bersama-sama.

Tempoyak, makanan khas pulau Sumatera. (sumber: www.wikipedia.com)

Tempoyak adalah makanan khas etnis Melayu yang berasal dari pulau Sumatra dan Kalimantan. Makanan ini terbuat dari durian yang telah mengalami proses fermentasi, memberikan cita rasa asam khas akibat fermentasi daging buah durian. Tempoyak biasanya dihidangkan sebagai lauk yang dicampur dengan sambal saat menikmati nasi, dan juga digunakan sebagai bumbu dalam masakan.

Makanan ini cukup dikenal di Indonesia, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Beberapa daerah seperti Jambi terkenal dengan gulai tempoyak yang terbuat dari campuran ikan patin dan ikan baung, sambal tempoyak, dan brengkes tempoyak. Di Sumatera Selatan, tempoyak lebih sering digunakan dalam campuran daging ayam dan juga dalam hidangan brengkes ikan dengan menggunakan ikan patin. Di Bengkulu, tempoyak seringkali digunakan dalam hidangan dengan campuran udang yang memiliki tekstur yang sangat lembut. Sementara di Lampung, tempoyak menjadi salah satu bahan dalam hidangan seruit atau campuran untuk sambal.

Selain itu, tempoyak telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) di Indonesia. Pada tahun 2011, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya mencatat tempoyak sebagai WBTB yang berasal dari provinsi Jambi. Pada tahun 2019, tempoyak juga dicatat sebagai WBTB dari Sumatera Selatan bersamaan dengan Tanjak. Ini menunjukkan pentingnya tempoyak sebagai bagian dari warisan budaya kuliner Indonesia yang kaya dan beragam.

Sejarah

Sejarah Tempoyak erat kaitannya dengan sejarah proses fermentasi di wilayah Nusantara. Masyarakat Melayu telah mengenal teknik fermentasi sejak zaman nenek moyang mereka, terutama karena melimpahnya buah durian yang memicu pemikiran untuk mengolah makanan agar bisa bertahan lama. Inilah yang mendasari penciptaan Tempoyak, dengan cara menyimpan durian dalam guci atau wadah yang rapat selama kurang lebih 7 hari. Budaya fermentasi makanan telah menjadi bagian dari tradisi orang Melayu sejak dahulu.

Kerajaan Melayu, yang berpusat di Jambi pada abad ke-14, juga memainkan peran penting dalam penyebaran makanan tradisional Tempoyak ke berbagai daerah. Ini terjadi melalui proses migrasi masyarakat Melayu, khususnya ke kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Melayu, yang membawa serta budaya kuliner Tempoyak mereka.

Cara Pembuatan

Untuk membuat adonan Tempoyak, langkah pertama adalah menyiapkan daging durian, baik itu durian lokal atau durian monthong (meskipun kurang disarankan karena memiliki tingkat gas dan air yang tinggi). Dalam pemilihan durian, yang terbaik adalah yang sudah matang dan biasanya sudah tampak lebih berair. Kemudian, daging durian dipisahkan dari bijinya dan diberi sedikit garam. Proses ini dapat dipercepat dengan menambahkan cabe rawit. Penting untuk diingat bahwa proses fermentasi tidak boleh terlalu lama, karena dapat memengaruhi rasa akhir Tempoyak.

Setelah langkah di atas selesai, adonan Tempoyak disimpan dalam wadah yang kedap udara. Idealnya, penyimpanan dilakukan pada suhu ruangan, meskipun ada juga yang memilih untuk menyimpannya di dalam kulkas, walaupun fermentasinya akan berlangsung lebih lambat dalam kondisi tersebut.

Tempoyak yang telah difermentasi selama 3-5 hari cocok digunakan untuk membuat sambal, karena sudah memiliki rasa asam dan tetap mempertahankan sedikit rasa manis. Sambal Tempoyak biasanya disajikan dengan berbagai jenis ikan seperti ikan teri, ikan mas, ikan mujair, ikan patin, dan lain sebagainya. Tempoyak sering dinikmati bersama dengan lalapan seperti petai, kabau, atau jengkol.

Terkait dengan artikel kuliner ini, jika Anda ingin menikmati tempoyak, Anda dapat mengunjungi penjual tempoyak lokal di daerah Anda atau mencoba membuatnya sendiri dengan berbagai resep yang tersedia. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Ratu Bagus Kuning: Penyebar Agama Islam dan Legenda di Palembang

Komplek Makam Ratu Bagus Kuning. (sumber: sumeks.disway.id)

Palembang, sebagai kota tertua di Indonesia, memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah Ratu Bagus Kuning, yang juga dikenal dengan nama Putri Mulya Syarifah Mahani binti Syekh Dik Syekh Zainal Abidin Al Abib Yama dari Putra Sayyidina Hussein r.a bin Sayyidina Ali.

Perjalanan Menuju Palembang

Ratu Bagus Kuning diyakini memiliki peran signifikan dalam penyebaran Islam di Bumi Sriwijaya. Perjalanan spiritualnya dimulai setelah ia mendapatkan bisikan gaib yang mengarahkannya untuk menyebarkan ajaran Islam. Awalnya, Ratu Bagus Kuning tidak langsung menuju Palembang; ia berhenti di kawasan Batang Hari Sembilang, yang sekarang merupakan bagian dari Provinsi Jambi.

Di sana, ia berhadapan dengan 11 orang pendekar yang tangguh. Namun, dengan kesaktiannya, Ratu Bagus Kuning berhasil mengalahkan mereka dan membawa mereka ke jalan Islam. Para pendekar ini kemudian dipercayai menjadi penghulu, pemimpin masyarakat, yang memegang peran penting dalam penyebaran agama Islam. Beberapa di antaranya, seperti Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, dan Bujang Juaro, memiliki makam mereka di Bukit Seguntang, Palembang.

Perjalanan ke Palembang

Ratu Bagus Kuning dan pengikutnya kemudian melanjutkan perjalanan ke Palembang, yang kini menjadi salah satu kota terkemuka di Sumatera Selatan. Mereka beristirahat di wilayah Kecamatan Plaju, hulu Kota Palembang. Namun, mereka menyadari bahwa tempat itu adalah kerajaan siluman kera.

Para siluman ini merasa terganggu dengan kehadiran rombongan Ratu Bagus Kuning dan menantang mereka untuk bertarung. Ratu Bagus Kuning kemudian bertarung dengan raja siluman kera, dengan syarat pihak yang kalah harus tunduk dan menjadi pengikut pihak yang menang.

Akhirnya, raja siluman kera tunduk pada Ratu Bagus Kuning, dan para siluman kera tersebut pun menjadi pengikutnya. Ratu Bagus Kuning memutuskan untuk menetap di wilayah tersebut dan mendirikan sebuah keraton. Ia mendapatkan gelar Panglima Ratu Bagus Kuning atas peran dan pengaruhnya yang besar dalam menyebarkan Islam.

Kehidupan dan Warisan

Meskipun dikenal sebagai seorang pemimpin spiritual yang kuat, Ratu Bagus Kuning tidak pernah menikah. Ia terus menyebarkan ajaran Islam sepanjang hidupnya. Masyarakat setempat percaya bahwa sejumlah kera yang ada di kompleks pemakamannya adalah pengikut setia Ratu Bagus Kuning yang masih menjaga makam tersebut. Ada sekitar 41 ekor kera di makam ini, dan kera-kera ini memiliki ekor yang panjang, sesuatu yang unik dan membedakan mereka dari kera-kera di tempat lain.

Meskipun keraton yang didirikan oleh Ratu Bagus Kuning telah lenyap, makamnya tetap berdiri kokoh hingga hari ini. Sayangnya, sebagian besar wilayah tersebut saat ini telah menjadi perumahan bagi karyawan perusahaan perminyakan yang dikenal sebagai PT Pertamina selama masa kolonial Belanda. Meski begitu, warisan Ratu Bagus Kuning tetap hidup dan dihormati oleh masyarakat Palembang sebagai bagian penting dari sejarah dan budaya mereka.

Share:

Pulau Kemaro: Pesona Wisata Sejarah dan Budaya di Palembang

Pagoda pulau kemaro. (sumber: ur-ban.id)

Pulau Kemaro, sebuah delta kecil yang terletak di Sungai Musi, menjadi salah satu destinasi wisata menarik di kota Palembang, Indonesia. Pulau ini terletak sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera, dan meskipun berada di daerah industri, Pulau Kemaro menawarkan pesona alam yang indah dan kaya akan sejarah serta budaya. Berikut adalah beberapa informasi penting mengenai Pulau Kemaro:

Keindahan Alam

Pulau Kemaro memiliki luas sekitar 79 hektar dan terletak pada ketinggian sekitar 5 meter di atas permukaan laut. Pulau ini menawarkan pemandangan alam yang memukau dengan Sungai Musi yang mengelilinginya. Meskipun berada di tengah kawasan industri, Pulau Kemaro memiliki daya tarik alam yang menawan, menjadikannya tempat yang cocok untuk bersantai dan menikmati keindahan alam.

Sejarah dan Budaya

Pulau Kemaro memiliki hubungan erat dengan sejarah dan budaya masyarakat Palembang. Salah satu daya tarik utamanya adalah Pagoda berlantai 9 yang menjulang tinggi di tengah pulau. Pagoda ini dibangun pada tahun 2006 dan memiliki tinggi sekitar 45 meter. Dengan sembilan tingkat, pagoda ini mengikuti prinsip Feng Shui dan memiliki delapan sudut, mirip dengan simbol Pat Kwa atau Kedelapan Trigram. Pagoda Tiongkok ini juga menarik perhatian dengan warna-warna cerah yang dipilih sesuai dengan makna simbol warna dalam kepercayaan Tiongkok.

Legenda Cinta

Pulau Kemaro juga terkenal dengan legenda cinta yang menarik. Menurut legenda setempat, pada zaman dahulu ada seorang pangeran dari Tiongkok bernama Tan Bun An yang datang ke Palembang untuk berdagang. Di sana, ia bertemu dengan putri raja Palembang, Siti Fatimah, dan keduanya jatuh cinta. Mereka berdua berniat menikah, dan Tan Bun An membawa Siti Fatimah ke daratan Tiongkok untuk bertemu dengan orangtuanya. Saat kembali ke Palembang, Tan Bun An membawa tujuh guci yang berisi emas sebagai hadiah pernikahan. Namun, kejutan terjadi ketika guci-guci tersebut berisi sayuran sawi-sawi asin. Tanpa berpikir panjang, ia membuang guci-guci tersebut ke sungai, hanya untuk menemukan guci terakhir yang berisi emas. Tan Bun An dan pengawalnya terjun ke sungai untuk mengambilnya, dan Siti Fatimah akhirnya menyusul. Untuk mengenang kisah cinta mereka, dibangunlah sebuah kuil dan makam untuk ketiganya.

Fungsi Sejarah

Selain sebagai tempat wisata, Pulau Kemaro juga memiliki fungsi sejarah yang penting. Pada Perang Palembang I dan II di awal abad ke-19, Kesultanan Palembang Darussalam mendirikan Benteng Tambak Bayo di pulau ini. Benteng pertahanan ini menjadi kunci masuknya kolonial Belanda ke Palembang. Meskipun Belanda menghadapi kesulitan dalam menghadapi pertahanan yang solid, mereka akhirnya berhasil menduduki Palembang pada tahun 1821, dan semua benteng di sekitar Pulau Kemaro hancur.

Pulau Kemaro juga memiliki sejarah yang berhubungan dengan masa Kerajaan Sriwijaya dan peran penting dalam pengawasan Sungai Musi serta sebagai pos penjagaan maritim.

Tempat Wisata dan Acara Tahunan

Pulau Kemaro menjadi tujuan wisata populer, terutama selama perayaan Cap Gomeh yang bertepatan dengan hari ke-15 perayaan Imlek. Selama Cap Gomeh, masyarakat Tionghoa dan pribumi berkumpul di pulau ini untuk mengikuti berbagai acara, termasuk doa bersama, penerbangan lampion, dan atraksi barongsai pada malam hari. Pulau Kemaro juga menjadi tempat ziarah dan pemujaan bagi banyak pengunjung yang datang untuk berdoa dan meminta berkah.

Dengan pesona alam yang indah, sejarah yang kaya, dan budaya yang unik, Pulau Kemaro adalah tempat yang menarik untuk dikunjungi bagi wisatawan yang ingin mengeksplorasi kekayaan Palembang. Pulau ini juga mencerminkan harmoni antara dua budaya yang berbeda, menciptakan kesan yang tak terlupakan tentang persahabatan dan cinta sejati.

Share:

Pindang Palembang: Sejarah dan Kelezatan Hidangan Khas Melayu

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Dalam artikel ini, kami akan menghadirkan informasi menarik tentang kuliner tradisional asal Palembang, yaitu pindang Palembang. Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai kuliner yang satu ini bersama-sama.

Pindang patin, makanan khas Palembang. (sumber: www.blog.tokowahab.com)

Pindang adalah salah satu hidangan khas Melayu Palembang yang terkenal. Hidangan ini dikenal dengan pengolahan yang sederhana.

Sejarah

Di masa lalu, aktivitas yang sibuk di kalangan masyarakat mendorong pencarian solusi memasak yang praktis. Sementara itu, Sumatera Selatan, dengan sungai utama seperti Sungai Musi dan anak sungainya serta daerah rawa yang melimpah, menyediakan pasokan ikan yang melimpah. Inilah yang menginspirasi pembuatan hidangan pindang ikan dan udang. Berbagai jenis ikan, seperti baung, betok, gabus, jelawat, juaro, patin, serandang, toman, bujuk, lais, dan belida, sering digunakan dalam hidangan pindang.

Pembuatan

Bumbu yang digunakan dalam pindang sangat sederhana, terdiri dari serai, kunyit, lengkuas, cabai, dan asam kandis. Kesederhanaan bumbu ini lebih karena pertimbangan praktis masyarakat yang sibuk. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pedagang, makanan praktis seperti pindang menjadi pilihan yang ideal. Selain pindang standar, penduduk Belanda yang tinggal di Palembang pada masa kolonial juga menciptakan variasi pindang. Masyarakat Palembang mengenalnya sebagai pindang serani, yang berasal dari kata "nasrani," mengacu pada agama mayoritas masyarakat Belanda. Seiring berjalannya waktu, pindang mengalami perkembangan, dan bermunculan berbagai varian seperti pindang ikan salai, pindang ayam, pindang daging, pindang tulang, pindang ikan teri, pindang terung, dan banyak lagi.

Demikianlah ringkasan mengenai pindang Palembang, salah satu kuliner khas dari Palembang. Bagi yang ingin menikmati pindang Palembang, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencoba berbagai resep pindang Palembang untuk menciptakannya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer