Tampilkan postingan dengan label Destinasi Pariwisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Destinasi Pariwisata. Tampilkan semua postingan

Mengungkap Harta Karun Sejarah Komunikasi di Museum Penerangan: Bagian 2

Selamat datang kembali pada Bagian 2 dari petualangan kita dalam menggali harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan. Setelah mengupas sejumlah koleksi menarik pada bagian sebelumnya, kita akan melanjutkan perjalanan menarik ini dengan lebih dalam lagi. Museum ini memang menjadi jendela yang membuka cakrawala sejarah komunikasi, memaparkan ragam artefak yang memukau dan menceritakan perjalanan panjang evolusi komunikasi manusia. Mari kita bersama-sama menjelajahi warisan berharga ini dan memahami bagaimana alat-alat sederhana dari masa lampau menjadi landasan bagi dunia komunikasi yang canggih seperti yang kita nikmati saat ini.

Presiden Soeharto pada Peringatan Hari Pangan Sedunia

Koleksi 11. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang menarik ini menggambarkan momen istimewa dalam Peringatan Hari Pangan Sedunia, yang dihadiri oleh Presiden Soeharto secara langsung di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Melalui peringatan ini, Indonesia merayakan pencapaian gemilang sebagai negara swasembada beras. Keberhasilan ini tak terlepas dari semangat kuat swasembada yang digaungkan oleh pemerintah, khususnya kepada para petani. Lebih dari sekadar persoalan pangan, Presiden Soeharto kerap mengajak masyarakat untuk mandiri dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, termasuk kesehatan, kemiskinan, dan populasi. 

Dengan nomor registrasi 2.67 dan tahun registrasi 1993, diorama ini menjadi bukti berharga dari perjuangan dan semangat Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan vital. Dengan bahan terbuat dari serat, kayu, dan karet, diorama ini memberikan wujud konkret dari sejarah yang tak ternilai.

Set Film Si Unyil

Koleksi 12. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

“Si Unyil” adalah salah satu acara televisi yang meraih popularitas besar di kalangan anak-anak pada masa lalu. Pertama kali mengudara pada tanggal 5 April 1981, acara ini menceritakan keseharian seorang anak petani bernama Unyil, yang selalu dikenali dengan ciri khasnya mengenakan sarung dan peci. Dalam set film “Si Unyil”, terdapat 17 karakter yang memeriahkan cerita. Serangkaian episode “Si Unyil” mengandung berbagai pesan moral yang mendalam, seperti pentingnya menabung, kejujuran, menjaga kebersihan demi kesehatan, dan banyak lainnya. 

Dengan nomor registrasi 3.47 dan tahun registrasi 1993, acara ini menjadi bagian penting dalam warisan budaya yang tak tergantikan. Meski detail mengenai kontributor, bahan, dan ukuran belum tertera, “Si Unyil” tetap diingat sebagai sajian inspiratif yang menyemai nilai-nilai positif dalam benak generasi muda.

Studio RRI

Koleksi 13. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Dalam diorama ini, ditampilkan studio Radio Republik Indonesia (RRI) yang merepresentasikan suasana studio pada era 1990-an. Diorama ini memberikan gambaran tentang bagaimana studio RRI beroperasi dengan perangkat manual pada masa tersebut. Terdiri dari dua ruangan, diorama ini mencakup studio rekaman dan ruangan teknisi. Tiga patung yang terdapat dalam diorama ini menggambarkan personel yang terlibat dalam sebuah siaran, termasuk teknisi dan penyiar. 

Dengan nomor inventaris MP.PC/RAD0131 dan kontributor Kasman K.S., diorama ini dibuat dari bahan serat, kayu, dan karet. Meskipun detail nomor registrasi, tahun registrasi, dan ukuran belum tertera, diorama ini memberikan wawasan visual mengenai tata letak dan peralatan yang digunakan dalam studio RRI pada era tersebut.

Fernseh GmbH Electronic Stadium Camera

Koleksi 14. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera ini merupakan salah satu model kamera canggih dengan resolusi tinggi yang populer pada tahun 1970-an. Dikenal dengan kemampuannya yang luar biasa dalam merekam gambar dengan luas yang luas, kamera ini sering digunakan untuk merekam berbagai pertandingan di stadion. 

Dengan nomor registrasi 5.4 dan tahun registrasi 1993, kamera ini terdaftar dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0078. Dikontribusikan oleh Robert Bosch GmbH, kamera ini dibuat dari logam campuran, kaca, kayu, dan plastik, dan memiliki dimensi sekitar p: 97 cm, l: 97 cm, t: 145 cm. Kamera ini merupakan contoh nyata dari perkembangan teknologi kamera pada masanya, menghasilkan gambar berkualitas tinggi dan luas dalam situasi seperti pertandingan olahraga di stadion.

Gendang Tradisional Sulawesi

Koleksi 15. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Gendang yang saat ini menjadi bagian dari koleksi menghadirkan jejak seremonial Departemen Penerangan yang bersejarah. Gendang ini memiliki peran penting dalam acara Penerangan Pedesaan Tingkat Nasional ke-5, yang diadakan pada tahun 1992 di Sumpang Binangae, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Nomor registrasi 2.49 dan tahun registrasi 1993 mengidentifikasi gendang ini dalam inventaris dengan nomor MP.PC/PEU0026. Terbuat dari kulit, kayu, dan kain, gendang ini memiliki dimensi p: 68 cm, l: 35 cm, t: 62 cm. Selain sebagai alat musik tradisional di Sulawesi, gendang juga memiliki nilai signifikan sebagai alat komunikasi tradisional dalam budaya masyarakat setempat. Gendang ini menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah dan budaya yang tercermin dalam seremoni Penerangan Pedesaan Tingkat Nasional yang berlangsung lebih dari tiga dekade lalu.

Gramofon

Koleksi 16. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Gramofon yang terpajang dalam koleksi ini membawa kita kembali ke zaman lampau di mana ia adalah alat yang berharga di rumah-rumah penduduk. Pada masa itu, Gramofon digunakan untuk memutar piringan hitam tunggal dengan kecepatan 78 rpm, seperti yang diproduksi oleh Lokananta. Dengan nomor registrasi 4.11 dan tahun registrasi 1993, gramofon ini tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0078. Terdiri dari bahan kuningan dan kayu, gramofon ini memiliki dimensi p: 80 cm, l: 41 cm, t: 84 cm. Gramofon ini dirancang dalam bentuk kotak kayu yang dilengkapi dengan alat engkol manual untuk menggerakkan putaran, serta alat logam berbentuk paku yang dipasang pada piringan hitam yang sedang diputar untuk membaca guratan dalam piringan hitam tersebut. Di bagian atasnya, terdapat pengeras suara yang berbentuk seperti terompet corong besar, terbuat dari kuningan dengan nuansa warna kuning keemasan yang menciptakan nuansa nostalgia akan masa lalu yang kaya akan kenangan musik.

Infografik Proses Produksi Film di Indonesia

Koleksi 17. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Papan informasi yang tersaji di sini memberikan gambaran menyeluruh tentang tahapan-tahapan pembuatan film di Indonesia. Dengan nomor registrasi 3.51 dan tahun registrasi 1993, papan informasi ini tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0084. Dibuat dari bahan kertas dan kayu, papan informasi ini memiliki dimensi ukuran display p: 176 cm, l: 50 cm, t: 165 cm. Melalui papan informasi ini, pengunjung dapat memahami langkah-langkah kompleks yang terlibat dalam proses kreatif produksi film di Indonesia, yang melibatkan berbagai elemen mulai dari ide perencanaan, produksi, hingga penyutradaraan. Informasi yang disajikan pada papan ini memperkaya pemahaman akan dunia perfilman Indonesia dan proses di balik layar yang membentuk karya-karya sinematik yang kita nikmati.

Interkom TVRI

Koleksi 18. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Interkom memiliki peran penting dalam mendukung komunikasi antara seluruh personil produksi dan produksi teknik, memungkinkan kolaborasi yang efisien dalam dunia produksi. Alat interkom ini memiliki nomor registrasi 5.93 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0318. Dibuat dari bahan kayu dan plastik, alat interkom ini memiliki dimensi p: 46 cm, l: 27 cm, t: 15.5 cm. Menariknya, interkom ini memiliki nilai sejarah yang signifikan, karena merupakan interkom pertama yang dimiliki oleh TVRI sejak berdirinya pada tahun 1962. Penggunaan alat interkom ini memberikan wawasan lebih dalam tentang perkembangan teknologi komunikasi dalam industri penyiaran di Indonesia, memfasilitasi koordinasi dan komunikasi yang lebih baik di dalam lingkungan produksi televisi.

Kamera Film “Darah dan Doa”

Koleksi 19. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera ini memiliki peran bersejarah yang sangat penting dalam industri perfilman Indonesia. Kamera ini digunakan dalam pembuatan film pertama Indonesia yang sepenuhnya diproduksi oleh orang Indonesia, yaitu film "Darah dan Doa." Film ini menjadi karya nasional yang mencatat sejarah sebagai tonggak awal munculnya perfilman Indonesia, dengan semua aspek produksi, mulai dari sutradara, kru, hingga pemain, dilakukan oleh orang Indonesia. Sutradara Usmar Ismail adalah sosok di balik film ini yang menjadi landasan bagi kemunculan produksi film nasional berikutnya.

Pengambilan gambar pertama film "Darah dan Doa" terjadi pada tanggal 30 Maret 1959, dan peristiwa ini menjadi momen penting yang bahkan diperingati sebagai Hari Film Nasional setiap tahunnya. Kamera ini memiliki nomor registrasi 3.37 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0012. Kamera ini terbuat dari logam dan kaca, memiliki dimensi p: 44 cm, l: 25,5 cm, t: 35 cm.

Kamera ini bukan hanya alat teknis, melainkan juga simbol perjuangan dan semangat di balik perkembangan industri perfilman nasional Indonesia. Kehadirannya membawa nilai historis yang menginspirasi dan mengingatkan akan pentingnya berkarya dalam mendukung perkembangan budaya dan seni di tanah air.

Kamera Film Mitchell

Koleksi 20. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera film berukuran 35 mm ini memiliki nilai historis yang signifikan dalam industri perfilman Indonesia. Kamera ini aktif digunakan di Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, membawa perubahan besar dalam cara produksi dan penyutradaraan film. Kamera ini memiliki nomor registrasi 2.41 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0128. Dibuat dari logam dan kaca, kamera ini memiliki dimensi p: 24 cm, l: 26 cm, t: 22.5 cm.

Dalam sejarah perfilman Indonesia, penggunaan kamera film 35 mm ini memungkinkan pembuatan film dengan kualitas gambar yang lebih baik dan profesional. Ukuran 35 mm menjadi standar umum dalam dunia perfilman pada masa itu, dan kamera ini menjadi alat yang sangat penting dalam merekam karya-karya visual yang berdampak besar bagi perkembangan industri perfilman nasional. Kamera ini tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi, tetapi juga nilai seni dan budaya yang diabadikan melalui medium film.

Tidak dapat disangkal bahwa petualangan ini telah membuka mata kita lebih lebar terhadap kaya dan beragamnya harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan. Melalui setiap koleksi yang dipamerkan, kita telah memasuki lorong waktu yang membawa kita kembali ke era-era yang berbeda, merasakan semangat dan inovasi yang mendasari perjalanan komunikasi manusia. Dari gendang tradisional Sulawesi hingga alat interkom pertama TVRI, dari studio RRI era 1990-an hingga kamera film yang merekam peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, setiap koleksi memberikan lapisan baru dalam pemahaman kita tentang peran komunikasi dalam membentuk perjalanan budaya, teknologi, dan masyarakat.

Namun, cerita kita belum selesai. Kami mengundang Anda untuk melanjutkan perjalanan menarik ini pada Bagian 3, di mana kita akan menjelajahi koleksi-koleksi lainnya yang akan mengungkapkan lebih banyak lagi tentang perjalanan komunikasi yang telah membentang sepanjang waktu. Sampai jumpa di Bagian 3, di mana kisah harta karun sejarah komunikasi akan terus menghidupkan semangat pengetahuan dan apresiasi kita.

Share:

Mengungkap Harta Karun Sejarah Komunikasi di Museum Penerangan: Bagian 1

Dalam gelapnya malam zaman, cahaya pengetahuan dan informasi menjadi pelita yang membimbing peradaban manusia. Dari kata-kata yang diucapkan hingga gambar-gambar yang merambah pikiran, media penerangan telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah manusia. Di tengah gemuruh zaman modern, terdapat sebuah tempat yang memelihara harta karun bersejarah ini, sebuah tempat di mana koleksi-koleksi yang membawa jejak-jejak perjalanan komunikasi dari masa ke masa ditempatkan dengan hormat dan kecermatan.

Selamat datang di Museum Penerangan, tempat di mana cahaya sejarah komunikasi Indonesia bersinar terang. Melalui artikel blog ini, kami akan membawa Anda dalam perjalanan menggali daftar koleksi menarik dari Museum Penerangan yang menggambarkan evolusi komunikasi dan penerangan dari masa ke masa. Sebuah perjalanan yang mengungkap makna mendalam di balik setiap benda dan artefak yang disimpan di balik dinding-dinding museum ini.

Dari benda-benda yang menceritakan kisah radio pertama hingga peralatan modern yang membawa pesan-pesan kilat di era digital, koleksi-koleksi Museum Penerangan akan mengajak Anda untuk merenungi betapa pentingnya peran komunikasi dalam membentuk jati diri bangsa dan membangun hubungan yang lebih baik antara manusia. Mari kita mulai perjalanan kita untuk mengungkap sebagian dari harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan dalam bagian pertama artikel ini.

Untuk itu, mari kita simak Bagian 1 dari benda koleksi yang ada di Museum Penerangan.

Alat Perekam untuk Blanks Fonograf

Koleksi 1. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Pada tahun 1958, Radio Republik Indonesia (RRI) memulai penggunaan alat perekam blank yang berperan penting dalam dunia siaran. Alat ini difungsikan untuk mencetak blank, yang merujuk pada piringan alumunium yang dilapisi bahan film lunak. Blank tersebut memiliki peran sentral dalam proses siaran, di mana bahan siaran yang telah direkam pada pita suara tape recorder dapat dijejalkan ke dalam blank. Hal ini memungkinkan operasional siaran melalui meja putar piringan hitam menjadi lebih efisien dan lancar.

Nomor Registrasi: 4.3, serta Tahun Registrasi: 1993, menandakan pentingnya alat ini sebagai bagian dari koleksi Museum Penerangan. Dengan nomor inventaris MP.PC/RAD0039, kontribusi dari pihak Presto dalam mempersembahkan alat ini juga diabadikan. Terbuat dari bahan besi campuran dan plastik, alat perekam blank memiliki dimensi yang mengesankan, dengan ukuran panjang 91 cm, lebar 61 cm, dan tinggi 140 cm.

Melalui alat perekam blank ini, kita dapat melihat bagaimana teknologi telah memainkan peran krusial dalam pengembangan dan kemajuan dunia siaran. Dari penggunaan bahan film lunak hingga integrasi dengan meja putar piringan hitam, alat ini merepresentasikan tonggak sejarah yang memberi warna pada perjalanan komunikasi dan penerangan di Indonesia.

Arloji Roskopf Juru Penerangan

Koleksi 2. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Arloji yang berada di hadapan kita memiliki sejarah yang tak ternilai sebagai milik salah satu Juru Penerangan pada masa awal kemerdekaan. Dalam era di mana akses media seperti televisi dan radio belum merata, peran Juru Penerangan menjadi sangat penting. Mereka adalah pahlawan yang membawa pesan-pesan dan program pemerintah ke daerah-daerah pedalaman, tempat di mana informasi sulit dijangkau. Melalui medan sulit, mereka berjuang untuk memberikan penerangan kepada masyarakat Indonesia.

Dengan nomor registrasi 2.22 dan tahun registrasi 1993, arloji ini menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi Museum Penerangan. Dengan nomor inventaris MP.PC/PEU0089, kontribusi dari Roskopf Watches dalam mewujudkan arloji ini juga diabadikan. Terbuat dari bahan besi campuran, arloji ini mengesankan dengan ukuran diameter 5 cm dan tebal 2.3 cm.

Sebuah arloji yang tampaknya sederhana ini mengingatkan kita pada peran luar biasa yang dimainkan oleh Juru Penerangan pada masa lalu. Mereka adalah penjelajah dan pembawa cahaya informasi di tengah keterbatasan sarana komunikasi. Arloji ini bukan sekadar benda, melainkan simbol dari semangat dedikasi yang luar biasa, mengingatkan kita akan pentingnya memberikan penerangan pada setiap sudut negeri.

Audio Mixer untuk Studio Pertama TVRI

Koleksi 3. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Audio Mixer yang Anda lihat memiliki sejarah yang menghubungkannya dengan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta serta acara-acara kenegaraan lainnya. Dalam konteks ini, peran Audio Mixer menjadi sangat krusial. Fungsi utamanya adalah untuk mengatur suara di studio sehingga suara yang dipancarkan dapat dinikmati oleh pemirsa televisi dengan jelas dan tanpa gangguan.

Dengan nomor registrasi 4.3 dan tahun registrasi 1993, Audio Mixer ini menjadi bagian yang tak ternilai dari koleksi Museum Penerangan. Nomor inventaris MP.PC/TV0070a menandakan kontribusi dari Philips dalam menciptakan perangkat ini. Terbuat dari bahan kayu, plastik, dan besi, Audio Mixer ini mengesankan dengan ukuran panjang 42.5 cm, lebar 27.5 cm, dan tinggi 42 cm.

Sebuah perangkat yang mungkin terlihat sederhana, Audio Mixer ini memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan pengalaman visual dan auditori yang berkualitas dalam setiap acara. Ia membawa kita kembali ke masa di mana penyiaran acara-acara besar adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Audio Mixer ini, selain menjadi benda koleksi, juga merupakan simbol perjalanan teknologi dan komunikasi yang telah membentuk bentuk hiburan dan informasi yang kita nikmati saat ini.

Buku Catatan Adinegoro

Koleksi 4. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Buku catatan yang ada di hadapan kita memiliki nilai historis yang tak ternilai, menjadi milik seorang tokoh pers yang diakui, Adinegoro. Beliau, dengan nama asli Djamaluddin, adalah seorang jurnalis berpengaruh yang telah meninggalkan jejak signifikan dalam dunia pers. Kegigihannya dalam mencatat gagasan dan pemikiran tampak dalam buku catatan ini, yang menjadi saksi bisu atas dedikasinya sebagai seorang jurnalis.

Dalam dunia di mana pena dan kertas adalah senjata utama jurnalis, Adinegoro dikenal sangat rajin mencatat setiap gagasan dan pandangannya dalam buku catatan ini. Buku catatan ini kemudian menjadi sumber inspirasi untuk naskah-naskah serta artikel-artikel yang ditulisnya di berbagai surat kabar. Isinya beragam, mengandung tulisan tangan pribadi serta kliping dari berbagai nota seminar dan konferensi yang menjadi referensinya.

Dengan nomor registrasi 1.133 dan tahun registrasi 1993, buku catatan ini menjadi salah satu harta berharga dalam koleksi Museum Penerangan. Nomor inventaris MP.PC/PER0322c menunjukkan pentingnya kontribusi dari berbagai pihak yang menjaga kelestarian dan sejarah buku catatan ini. Terbuat dari kertas, buku catatan ini memiliki dimensi yang mengesankan, dengan panjang 18.5 cm, lebar 2.5 cm, dan tinggi 22 cm.

Buku catatan ini bukan hanya sekadar benda fisik, melainkan jendela ke dalam dunia seorang Adinegoro dan proses kreatifnya dalam menciptakan tulisan yang mempengaruhi banyak orang. Ia mengingatkan kita tentang pentingnya catatan sebagai wadah untuk merekam pemikiran dan ide-ide berharga yang dapat membentuk arah perjalanan sejarah pers dan komunikasi di Indonesia.

Cetakan Alat Pres Piringan Hitam Lokananta

Koleksi 5. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Alat Pres Piringan Hitam yang hadir di depan kita memiliki jejak sejarah yang tak terhingga, menjadi bagian penting dari perusahaan pencetak piringan hitam legendaris, Lokananta. Pada tahun 1956, di kota Solo, Jawa Tengah, Lokananta berdiri sebagai pelopor dalam dunia produksi musik di Indonesia. Dengan perjalanan waktu, studio ini pun berkembang menjadi yang tertua di tanah air, menjadi saksi bisu perubahan dan perkembangan dalam industri musik kita.

Dengan nomor registrasi 4.5 dan tahun registrasi 1993, Alat Pres Piringan Hitam ini menjadi jendela yang menghubungkan kita dengan warisan Lokananta. Nomor inventaris MP.PC/RAD0038 menunjukkan pentingnya kontribusi berbagai pihak dalam melestarikan artefak berharga ini. Terbuat dari logam, alat pres ini memiliki dimensi yang mengesankan, dengan diameter 32 cm dan ketebalan 6 cm.

Alat Pres Piringan Hitam ini bukan hanya sekadar benda fisik, melainkan cerminan dari perjalanan panjang Lokananta dalam menghasilkan karya-karya musik yang telah memengaruhi banyak generasi. Ia mengingatkan kita akan peranan penting studio musik ini dalam membentuk identitas musik Indonesia, serta perubahan teknologi yang telah mengubah cara kita mendengarkan musik dari zaman ke zaman. Dengan melihat artefak bersejarah ini, kita dapat merenung tentang bagaimana musik tidak hanya beresonansi dengan hati, tetapi juga dengan perjalanan sejarah kita.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo Memimpin Kantor Koran Retnodhoemilah

Koleksi 6. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Surat kabar yang muncul pada tanggal 18 Agustus 1945 di wilayah Jawa Timur ini menjadi saksi bisu dari momen penting dalam sejarah, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Koran ini membawa bukti nyata tentang kecepatan dan tekad dari berbagai pihak untuk menyebarkan berita yang vital. Koran ini membuktikan bahwa upaya penyebaran informasi yang signifikan, seperti Proklamasi Kemerdekaan, telah melibatkan para angkasawan radio dan media massa. Dalam hal ini, koran ini memiliki peran berarti dalam menyebarkan berita penting ini.

Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dicetak dalam bahasa Jawa, sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam koran ini. Di samping itu, koran ini juga memuat laporan mengenai perkembangan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Melalui koran ini, kita dapat menyaksikan bagaimana berbagai peristiwa penting pada masa itu diabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Dengan nomor registrasi 1.128 dan tahun registrasi 1993, koran ini menjadi bagian yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam memelihara dan mendokumentasikan koran ini turut diakui. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, koran ini menghadirkan sejarah dalam bentuk fisik. Detail ukuran koran ini sayangnya tidak disertakan dalam data yang diberikan.

Koran ini adalah bukti yang menghubungkan kita dengan masa lalu, mengingatkan kita akan pentingnya media massa sebagai alat penyebaran informasi dan penghubung antara peristiwa bersejarah dengan masyarakat luas. Ia mengilustrasikan komitmen kolektif untuk menyebarkan nilai-nilai penting dalam sejarah kita dan melibatkan masyarakat dalam perjalanan menuju kemerdekaan.

Lahirnya TVRI

Koleksi 7. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang terpajang di hadapan kita menjadi jendela ke dalam peristiwa bersejarah yang tak terlupakan, yaitu liputan acara ASIAN GAMES IV yang diadakan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1962. Ajang ASIAN GAMES IV ini memiliki makna yang lebih mendalam karena menjadi peristiwa pertama yang dicover oleh TVRI, sebuah tonggak penting dalam sejarah penyiaran di Indonesia. Meski sebelumnya TVRI telah merekam gambar pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI, tanggal 23 Agustus 1962 dipilih sebagai hari kelahiran resmi TVRI, mengantisipasi pelaksanaan ASIAN GAMES IV yang berlangsung hanya satu hari setelahnya.

Lebih dari sekadar gambaran visual, diorama ini mengabadikan saat-saat penting dalam perkembangan televisi di Indonesia. ASIAN GAMES IV menjadi momentum yang memperlihatkan kemampuan dan potensi TVRI dalam meliput peristiwa besar. TVRI, sebagai lembaga penyiaran resmi, telah memainkan peran yang vital dalam membangun kesadaran nasional dan menghubungkan seluruh negeri melalui layar televisi. Hingga hari ini, TVRI terus menjalankan fungsinya dan memiliki kantor yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

Dengan nomor registrasi 5.76 dan tahun registrasi 1993, diorama ini memasukkan kita ke dalam peristiwa bersejarah dengan cara yang penuh keterlibatan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini juga turut diakui. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, diorama ini menghidupkan kembali masa lalu. Meskipun detail ukuran diorama tidak tercantum dalam data, namun ia tetap menjadi jendela penting yang menghubungkan kita dengan warisan penyiaran dan olahraga di Indonesia.

Studio TVRI Tahun 1990-an

Koleksi 8. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Ruang ini menghadirkan gambaran hidup dari suasana studio TVRI pada era 1990-an. Terbagi menjadi dua ruangan, kita dapat melihat ruang kendali (monitoring) serta ruang studio siaran dalam konteks yang mendalam. Di tengahnya, terdapat patung yang menggambarkan kelengkapan personel yang tak terpisahkan dalam sebuah produksi siaran televisi. Dari pembawa acara hingga bintang tamu, kameramen, dan produser, patung ini menjadi potret hidup yang merepresentasikan berbagai peran di balik layar.

Lebih dari sekadar visual, ruangan ini membawa kita kembali ke zaman ketika produksi televisi masih dipengaruhi oleh teknologi dan keadaan pada masa itu. Sebuah refleksi dari waktu di mana TVRI telah berperan sebagai jembatan utama antara pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan proses siaran yang terus berkembang, ruangan ini menjadi tempat di mana kelengkapan perangkat yang diperlukan dalam menunjang siaran televisi tersusun dengan rapi.

Dengan nomor registrasi 5.89 dan tahun registrasi 1993, ruangan ini menjadi potret yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Meski detail bahan dan ukuran ruangan tidak dijelaskan dalam data yang diberikan, kontribusi dari berbagai pihak dalam menjaga dan melestarikan ruangan ini patut diakui. Ruangan ini melambangkan semangat kerja kolektif yang terlibat dalam produksi siaran televisi, mengingatkan kita pada evolusi teknologi dan pengaruh media yang telah membentuk cara kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia.

Penyerbuan G30S di Studio RRI

Koleksi 9. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang kita hadapi merupakan cerminan masa lalu yang penuh tantangan dan risiko, terutama pada periode sebelum reformasi. Menyampaikan fakta di tengah konteks tersebut tidaklah mudah, dan dalam beberapa kasus, nyawa pun menjadi taruhannya. Dalam diorama ini, kita memasuki dunia yang membayangkan risiko yang dihadapi oleh seorang penyiar dari Radio Republik Indonesia (RRI) pada masa G30S PKI.

Pada masa yang penuh ketidakpastian tersebut, penyiar dan operator RRI Jakarta diperhadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka untuk menyiarkan berita yang tidak sesuai dengan hati nurani dan menyalahi prosedur yang seharusnya diikuti. Diorama ini menjadi gambaran dari tekanan psikologis dan moral yang harus mereka hadapi, di mana tuntutan untuk menyampaikan pesan yang tidak benar bisa mengancam integritas mereka sebagai penyampai informasi.

Dengan nomor registrasi 1.102 dan tahun registrasi 1993, diorama ini adalah jendela yang menghubungkan kita dengan masa lalu yang penuh warna dan kompleksitas. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini merupakan bagian tak terpisahkan dari melestarikan sejarah yang tak boleh dilupakan. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, diorama ini menghadirkan gambaran fisik tentang momen krusial dalam sejarah komunikasi di Indonesia. Meskipun tidak ada informasi yang diberikan mengenai detail ukuran diorama, tetapi ia tetap menjadi gambaran yang kuat tentang peran dan pengaruh media dalam situasi yang penuh risiko dan tekanan.

Presiden Soeharto Memberikan Trofi Kelompencapir

Koleksi 10. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang kita saksikan merefleksikan sebuah momen bersejarah, yaitu penyerahan piala Kelompencapir terbaik tingkat Nasional oleh Presiden Soeharto, yang berlangsung di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Kelompencapir merupakan singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa. Di masa lalu, pertukaran informasi antar individu dilakukan melalui diskusi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari berbagai kalangan. Di dalam lingkup ini, informasi dari radio, televisi, dan surat kabar menjadi bahan pembicaraan yang saling dipertukarkan.

Diorama ini mengingatkan kita tentang cara berbagi informasi pada masa lampau, di mana berdiskusi secara langsung di dalam kelompok menjadi sebuah sarana vital dalam mendapatkan dan menyebarkan informasi. Piala Kelompencapir terbaik tingkat Nasional yang diberikan oleh Presiden Soeharto mengakui kontribusi signifikan dari para anggota kelompok ini dalam penyebaran informasi.

Nomor registrasi 2.26 dan tahun registrasi 1993 menjadikan diorama ini sebagai benda bersejarah yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini merupakan bagian penting dalam menjaga sejarah yang berharga. Meskipun informasi tentang bahan dan ukuran diorama tidak tersedia dalam data yang diberikan, diorama ini tetap menjadi jendela yang menghubungkan kita dengan praktik komunikasi masa lalu yang berperan penting dalam membentuk komunitas dan penyebaran informasi di Indonesia.

Sejarah komunikasi adalah perjalanan yang menghubungkan kita dengan jejak-jejak penuh makna dari masa ke masa. Setiap artefak, buku catatan, alat, dan diorama yang ada dalam koleksi Museum Penerangan menjadi jendela yang membawa kita menyelami nilai-nilai, perjuangan, dan evolusi komunikasi di Indonesia. Dalam Bagian 1 artikel ini, kita telah menjelajahi sebagian dari harta karun sejarah komunikasi, dari alat perekam blank yang merekam pesan di balik siaran radio, hingga buku catatan yang menyimpan pemikiran jurnalis berpengaruh seperti Adinegoro, dan diorama yang menghidupkan kembali momen-momen penting dalam perjalanan televisi dan pers di negeri ini.

Jadilah saksi dari perjalanan bersejarah yang tak ternilai ini dan ikuti Bagian 2 artikel kami untuk melanjutkan penjelajahan melintasi koleksi Museum Penerangan. Bersama-sama, kita akan merenungi nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap artefak dan melihat bagaimana komunikasi telah membentuk identitas dan perjalanan bangsa. Sampai jumpa di Bagian 2!

Share:

Museum Penerangan: Memelihara Warisan Sejarah Komunikasi dan Penerangan Indonesia

Museum Penerangan. (sumber: Wikipedia)

Museum Penerangan adalah suatu tempat yang tidak hanya menyimpan, tetapi juga mempelajari, memamerkan, serta merawat benda-benda bersejarah terkait penerangan dan komunikasi. Melalui konsep uniknya, museum ini bukan hanya menjadi penjaga kekayaan masa lalu, tetapi juga menjadi media komunikasi masa keenam setelah tatap muka, radio, TV, film, dan pers. Museum ini menciptakan jembatan antara masa lampau, masa kini, dan masa mendatang, memungkinkan masyarakat untuk memahami peran penting penerangan dalam membangun kesatuan dan persatuan bangsa.

Berlokasi di lahan seluas 10.850 m2 dengan bangunan seluas 3.980 m2, Museum Penerangan adalah wujud nyata dari prakarsa Ibu Tien Soeharto, yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1993. Bangunan museum yang berbentuk bintang bersudut lima melambangkan nilai-nilai Pancasila serta lima unsur penerangan. Di taman depan, tugu dengan lambang penerangan "Api nan Tak Kunjung Padam" dikelilingi oleh lima patung juru penerang, mengilustrasikan hubungan dinamis antara pemerintah, masyarakat, dan media massa.

Bangunan ini memiliki tiga lantai yang masing-masing mewakili masa lampau, masa kini, dan masa depan. Puncak bangunan berbentuk silinder menggambarkan simbol kenthongan, yang mengingatkan kita pada unsur penerangan tradisional. Fungsi modern penerangan juga diwakili oleh Menara Antena yang menopang silinder tersebut.

Mobil OB van TVRI, salah satu koleksi yang dimiliki Museum Penerangan. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Pameran di Museum Penerangan terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam dan di luar gedung. Koleksi di luar termasuk berbagai kendaraan bersejarah seperti mobil siaran dari Televisi Republik Indonesia (TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI), serta mobil siaran TVRI pertama yang digunakan saat Asian Games IV tahun 1962. Pameran ini memberikan gambaran awal perkembangan media di Indonesia.

Lantai satu menampilkan sejarah komunikasi melalui berbagai media seperti film, radio, televisi, tatap muka, dan media tradisional. Terdapat juga diorama yang menggambarkan operasional penerangan dalam berbagai konteks seperti pelayanan masyarakat desa, pencerdasan nasional, dan penanggulangan bencana alam. Koleksi langka seperti mesin ketik huruf Jawa dari Keraton Surakarta, kamera perekam rapat pertama dari Kabinet RI, dan Radio Oemoem tahun 1940 juga disajikan di sini.

Salah satu sisi bagian yang berada dalam Museum Penerangan. (sumber: https://lh3.googleusercontent.com/p/AF1QipP91MnGW6YfoJu3_TgddAyuVAtRy0ZfnULphwLV=s680-w680-h510)

Lantai dua memamerkan relief sepanjang 100 m yang menggambarkan perjalanan penerbangan Indonesia dalam lima periode serta peran penerangan dalam memperkuat identitas bangsa. Di sini juga terdapat diorama yang mengilustrasikan peran penting penerangan dalam membangkitkan nasionalisme, menyatukan bangsa, dan mendorong pembangunan. Salah satu sorotan utama adalah lukisan raksasa wajah Dr. Wahidin Soedirohusodo, karya Sumidjo, yang menjadi lukisan terbesar di Indonesia.

Lantai tiga menyajikan tiga studio mini dari PFN, RRI, dan TVRI, serta display foto transparan. Museum Penerangan juga mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan museum ini, seperti yang tercermin dalam koleksi sumbangan dari tokoh seperti Djamaludin Adinegoro, Ismail Marzuki, dan Adam Malik, yang ditempatkan dalam ruang istimewa.

Melalui Museum Penerangan, warisan sejarah komunikasi dan penerangan Indonesia dijaga, dipelajari, dan dihargai. Museum ini bukan hanya mengenang perjalanan komunikasi di masa lalu, tetapi juga memberikan wawasan bagi generasi masa kini dan masa depan tentang bagaimana media memainkan peran krusial dalam membangun bangsa. Dengan peran serta masyarakat yang berkelanjutan, Museum Penerangan akan terus menjadi tempat yang menginspirasi dan mendidik tentang nilai-nilai komunikasi dan penerangan yang mendasar bagi kemajuan bangsa.

Share:

Lokananta: Dari Studio Rekaman Hingga Destinasi Wisata Budaya Musik

Lokananta adalah entitas yang bersejarah sebagai bekas badan usaha milik negara Indonesia yang fokus pada kegiatan perekaman musik. Berbasis di Kota Surakarta, Jawa Tengah, perusahaan ini saat ini berperan sebagai salah satu cabang dari Percetakan Negara Republik Indonesia. Di balik sejarahnya yang kaya, Lokananta juga memiliki keunikan dengan menyimpan arsip file betamax yang berisi rekaman versi "Seberkas Sinar 2M-D" oleh Nike Ardilla, sebuah karya yang telah melampaui waktu dan melibatkan Dian Nitami, pada tahun 1990 dengan label MEDIA MASA DEPAN (2M-D).

Sejarah

Studio rekaman Lokananta. (sumber: Arsip digital Pemerintah Kota Surakarta)

Perusahaan Lokananta pertama kali didirikan berkat inisiatif R. Maladi pada tanggal 29 Oktober 1956 dengan nama "Perusahaan Piringan Hitam Lokananta," yang merupakan bagian dari Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Nama "Lokananta" memiliki arti yang mendalam, yakni "seperangkat gamelan surgawi dalam pewayangan Jawa yang dapat berbunyi sendiri dengan merdu." Fokus utama Lokananta saat itu adalah menduplikasi materi siaran dari RRI. Meskipun sempat diusulkan untuk diberi nama "Indra Vox" (singkatan dari Indonesia Raya Vox), usulan tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1958, perusahaan ini mulai mencoba memasarkan piringan hitamnya ke masyarakat melalui RRI.

Kemudian, pada tahun 1961, status Lokananta diubah menjadi perusahaan negara dengan nama "PN Lokananta." Perusahaan mulai mengembangkan bidang usahanya menjadi label rekaman dengan spesialisasi pada lagu daerah dan pertunjukan kesenian, serta penerbitan buku dan majalah. Pada tahun 1972, produksi audio Lokananta berpindah dari piringan hitam ke kaset. Pada tahun 1983, Lokananta membentuk unit penggadaan film dalam format pita magnetik seperti Betamax dan VHS. Pada tahun 2004, pemerintah menggabungkan Lokananta ke dalam Perum Percetakan Negara RI (PNRI), menjadikannya sebagai cabang dari perusahaan tersebut. Sebagai cabang PNRI, bisnis Lokananta meliputi perekaman musik, duplikasi audio (kaset & CD), penyiaran, percetakan, dan penerbitan.

Pada tanggal 21 Februari 2017, Lokananta menjalin kerja sama dengan Langit Musik, memungkinkan lagu-lagu dari artis seperti Waldjinah dan lainnya yang tersimpan di Lokananta dapat dinikmati melalui platform tersebut. Sejumlah lagu yang ada di Lokananta juga dapat diakses melalui berbagai platform streaming seperti Joox, Spotify, dan Deezer.

Pustaka Rekaman

Lokananta memiliki koleksi yang kaya dan beragam, termasuk ribuan lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia serta lagu-lagu pop lama, termasuk keroncong. Selain itu, perusahaan ini memiliki lebih dari 53.000 keping piringan hitam dan 5.670 master rekaman daerah. Bahkan, koleksinya mencakup rekaman pidato-pidato Presiden Soekarno dan master Proklamasi, menghadirkan sepotong sejarah yang berharga.

Koleksi Lokananta mencakup berbagai jenis musik tradisional Indonesia, seperti gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan Sumatra Utara (Batak), serta musik daerah lainnya dan lagu-lagu folklore atau rakyat yang penciptanya tidak diketahui. Rekaman gending karawitan gubahan dalang terkenal Ki Nartosabdo, serta karawitan Jawa dari Surakarta dan Yogyakarta, menjadi bagian dari harta koleksi Lokananta. Tersimpan juga master lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Buby Chen, dan Sam Saimun. Lokananta juga memiliki kontribusi penting dalam melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia.

Selain itu, Lokananta terlibat dalam produksi berbagai karya yang memperkaya industri musik Indonesia. Sebagai contoh, mereka memproduksi lagu "Rasa Sayange" bersama dengan lagu-lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan hitam ini dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962. Pada tahun 2018, piringan hitam "Souvenir From Indonesia" (Asian Games 1962) dicetak ulang dalam bentuk Boxset CD, dan dibagikan kepada setiap atlet yang berpartisipasi dalam Asian Games & Asian Para Games 2018.

Lokananta juga mempunyai kehormatan memproduksi rekaman resmi pertama dari lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dalam versi 3 stanza dengan aransemen oleh Josef Cleber. Pada tanggal 18 hingga 20 Mei 2017, lagu kebangsaan ini direkam ulang oleh Gita Bahana Nusantara di bawah asuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menunjukkan peran penting Lokananta dalam melestarikan warisan budaya Indonesia.

Studio

Salah satu ruangan dan mixer yang ada di studio Lokananta. (sumber: ensiklopediajawatengah.com)

Pada tahun 1985, Studio Lokananta diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko. Studio ini memiliki luas 14 x 31 meter, memberikan ruang yang luas untuk pelaksanaan rekaman dengan akustik ruangan yang sangat baik. Dengan fasilitas ini, Studio Lokananta menjadi studio terbesar di Indonesia hingga saat ini.

Studio Lokananta bukan hanya sekadar sebuah fasilitas, tetapi juga telah menjadi tempat bersejarah bagi banyak musisi dan acara penting. Salah satunya adalah Didi Kempot, seorang musisi legendaris, yang menggunakan studio ini dalam konser bertajuk "Konser Amal Dari Rumah" yang diadakan oleh Kompas TV pada tahun 2020. Konser ini tidak hanya memberikan hiburan kepada masyarakat, tetapi juga berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 7,6 miliar untuk membantu menanggulangi pandemi Covid-19. Sayangnya, konser ini juga menjadi konser terakhir bagi Didi Kempot sebelum beliau wafat. Studio Lokananta, dengan segala sejarah dan peran pentingnya, terus menerus menjadi bagian yang signifikan dalam industri musik dan budaya Indonesia.

Info Terkini

Pada tanggal 18 April, sebuah tonggak penting tercapai dengan penandatanganan ringkasan utama kerjasama pengelolaan Lokananta antara PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), yang diwakili oleh Rizwan Rizal Abidin (Direktur Investasi 1 & Restrukturisasi), dan PT Ruang Riang Lokananta sebagai operator, yang diwakili oleh Wendi Putranto (CEO Lokanantabloc).

Melalui inisiatif ini, Lokananta akan diubah menjadi destinasi wisata cagar budaya yang juga menawarkan ruang kreatif publik komersial dengan fokus pada musik. Di kawasan ini, rencananya akan didirikan studio rekaman baru, galeri seni, ruang musik, dan ruang pameran sejarah. Selain itu, pengunjung akan dapat menemukan toko cinderamata, ruang konser, ampiteater, berbagai gerai makanan dan minuman (F&B), serta gerai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang terkurasi.

Dengan transformasi ini, para pengunjung di masa depan akan dapat merasakan berbagai aktivitas seru di dalam kawasan Lokananta yang baru. Mereka bisa menikmati pertunjukan konser, menyaksikan atraksi seni budaya, berpartisipasi dalam proses rekaman musik, mengunjungi pameran musik, berbelanja vinyl dan cinderamata musik, terlibat dalam kegiatan komunitas, menikmati suasana di kafe, atau bahkan sekadar bersantai menikmati sore di ampiteater Lokananta yang indah. Semua ini menunjukkan komitmen untuk memajukan industri musik dan budaya di Indonesia melalui ruang yang kreatif dan inspiratif seperti Lokananta.

Share:

Jalan Braga: Jejak Sejarah dan Misteri Nama

Plang nama Jl. Braga. (sumber: Wikipedia)

Jalan Braga, sebuah nama yang menggema dalam sejarah Kota Bandung. Sebuah jalan bersejarah yang menjadi wajah kota ini, mengundang banyak wisatawan untuk mengelilingi dan menikmati pesona masa lalu yang terpatri dalam setiap sudutnya. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan pula cerita kelam yang melingkupi Jalan Braga pada masa lampau.

Pada awalnya, Jalan Braga adalah sebuah jalan kecil yang sunyi, berjarak jauh dari keriuhan kota. Namun, ketenangan itu ternyata diselimuti oleh bayang-bayang kejahatan jalanan yang meresahkan. Julukan "Jalan Culik" melekat pada Jalan Braga, sebuah gelar yang kini menjadi ikonik. Nama tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan memiliki cerita panjang di baliknya.

Julukan "Jalan Culik" dikaitkan dengan kerawanan tindak kejahatan yang melanda Jalan Braga pada masa lampau. Braga menjadi tempat yang rawan bagi para pelaku kejahatan jalanan. Kisah-kisah kekerasan dan bahkan nyawa manusia tak luput dari korban penyamun saat melintasi jalan ini. Suasana yang gelap dan angker sempat menghiasi kisah Braga pada masa itu.

Tak hanya faktor kriminalitas yang menyelimuti Jalan Braga, namun kondisi semakin memburuk pasca agresi militer. Jalan ini menjadi jalur yang rentan dilewati oleh penduduk setempat dan bahkan warga Belanda. Perubahan nama dari Pedatiweg menjadi Bragaweg kemudian menjadi semacam simbol perubahan era. 

Jalan Braga juga memiliki keterkaitan dengan sejarah Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal sebagai Jalan Anyer Panarukan, sebuah jalan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Deandels pada tahun 1808-1811. Jalan ini menghubungkan berbagai wilayah dan memainkan peran penting dalam mobilitas pada masa itu.

Jl. Braga tempo dulu. (sumber: Tirto.ID)

Nama "Braga" sendiri mengandung misteri di baliknya. Beberapa teori mencoba menerangkan asal usul nama ini. Salah satunya, kata "Braga" berasal dari bahasa Sunda "ngabaraga," yang artinya adalah berjalan menyusuri sepanjang sungai. Jalan Braga yang berada dekat Sungai Cikapundung mungkin mendapat julukan ini karena lokasinya yang sejalan dengan sungai. Selain itu, ada pula versi yang mengaitkan "Braga" dengan penggunaan istilah "Braga" dalam bahasa Kirata yang berarti bergaya atau mejeng, menggambarkan atmosfer Braga sebagai tempat untuk bergaya dan bersosialisasi.

Perubahan nama Pedatiweg menjadi Bragaweg bisa jadi juga dipengaruhi oleh kepopuleran Toneelvereeniging Braga, sebuah perkumpulan drama yang berdiri di Braga pada tahun 1882. Perkumpulan ini didirikan oleh Asisten Residen Priangan, Pieter F. Sijthoff, dan telah menjadi bagian dari sejarah Braga yang hidup. 

Braga tak hanya mengalami transformasi dalam sejarahnya, tetapi juga menciptakan cerita yang kian menarik untuk dijelajahi. Julukan "Jalan Culik" yang pernah melekat membawa kita pada kilas balik masa ketika kejahatan merajalela. Namun, Braga pun membuktikan bahwa zaman berubah, dan ia telah mengalami perubahan dari jalan angker menjadi simbol keindahan dan tempat bergaya di tengah Kota Bandung.

Share:

Cikini: Jejak Sejarah di Tengah Pusat Kota Jakarta

Cikini, sebuah nama yang membawa kita pada perjalanan melintasi waktu dan menyelami jejak sejarah yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Terletak di Jakarta Pusat, kawasan ini menyimpan cerita-cerita berharga yang membentuk sejarahnya sendiri. Dalam artikel ini, kita akan merunut asal usul, peristiwa bersejarah, dan perubahan yang terjadi di kawasan Cikini.

Nama Cikini telah ada sejak masa Kolonial Belanda, saat ejaan "Tjikini" digunakan. Ini merujuk pada dua kata, "Tji" yang berarti sungai, dan "Kini" yang merupakan nama buah yang tumbuh subur di wilayah ini. Sejarah Cikini juga berkaitan erat dengan seorang pelukis terkenal pada masa kolonial, Raden Saleh. Tanah di kawasan ini dulunya adalah miliknya, dan di situlah ia membangun sebuah rumah yang terinspirasi oleh istana Callenberg di Jerman, tempat ia pernah tinggal.

Ilustrasi rumah Raden Saleh. (sumber: pgi.or.id)

Rumah tersebut tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga dikelilingi oleh taman yang luas. Bagian dari taman ini kemudian menjadi taman umum dan kebun binatang pada tahun 1862, diberi nama "Planten En Dierentuin". Kebun binatang ini membawa kehidupan baru ke kawasan Cikini, dan menjadi salah satu daya tarik utama. Namun, pada tahun 1960, kebun binatang tersebut dipindahkan ke Ragunan Pasar Minggu, mengubah dinamika kawasan.

Taman Raden Saleh juga dikenal karena pernah menyelenggarakan balapan anjing yang populer pada masanya. Namun, seiring berjalannya waktu, kawasan ini mengalami perubahan fungsi. Taman tersebut kini telah berubah menjadi kantor dan ruang kuliah bagi mahasiswa fakultas perfilman dan televisi IKJ.

Taman Ismail Marzuki. (sumber: Tribun Travel)

Tanggal 10 November 1968 menjadi momen penting bagi Cikini, karena pada hari itu Taman Ismail Marzuki diresmikan di area yang dulunya menjadi kebun binatang. Perkembangan kawasan ini tidak berhenti di situ. Cikini mulai mengalami pertumbuhan sebagai kawasan komersil. Tempat-tempat hiburan seperti bioskop, penginapan, dan tempat perbelanjaan mulai bermunculan pada tahun 1890-an.

Salah satu warisan berharga di Cikini adalah rumah Raden Saleh yang kini berfungsi sebagai RS.PGI Cikini. Rumah ini tidak hanya menjadi bangunan bersejarah, tetapi juga melanjutkan peran pentingnya sebagai fasilitas kesehatan.

Seiring perjalanan waktu, beberapa bangunan bersejarah tetap berdiri teguh di Cikini. Kantor pos yang sudah berdiri sejak tahun 1920, Bakoel Koffie yang telah menjadi bagian dari kawasan sejak tahun 1870-an, dan Rumah Tiket Ibu Dibjo yang terkenal pada era 1960-an, semuanya menjadi saksi bisu perubahan zaman.

Pemerintah Jakarta mengakui pentingnya Cikini dalam konteks sejarah dan perkembangan kota. Kawasan ini mendapatkan perhatian khusus sebagai bagian dari upaya pengembangan kawasan strategis di provinsi Jakarta.

Cikini, dengan sejarahnya yang kaya dan perubahan yang terus berkembang, tetap menjadi bukti hidup dari kemajuan dan perjalanan panjang Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.

Share:

Monumen Nasional (Monas): Simbol Perjuangan dan Kemerdekaan Indonesia

Monumen Nasional. (sumber: iwarebatik.org)

Monumen Nasional (Monas), yang secara resmi dikenal sebagai Tugu Monas, adalah monumen peringatan yang tingginya mencapai 132 meter (433 kaki) dan terletak di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Indonesia. Monas didirikan untuk memperingati perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda. Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 atas perintah Presiden Soekarno dan diresmikan untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Rancangan Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi, yaitu Lingga dan Yoni. Obelisk yang menjulang tinggi adalah Lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan negatif serta melambangkan malam hari. Lingga dan Yoni adalah lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi dalam budaya Indonesia.

Monas terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17 meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia. Di sekitar Monas, terdapat taman, dua buah kolam, dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Di kompleks Monumen Nasional juga terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia yang berada di bagian dasar monumen. Museum ini menampilkan 51 diorama yang menggambarkan sejarah Indonesia mulai dari masa pra-sejarah hingga masa Orde Baru.

Di dalam monumen, terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater yang menyimpan simbol-simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ruangan ini digunakan sebagai tempat mengheningkan cipta dan meditasi mengenang kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia.

Pengunjung dapat naik ke pelataran puncak Monas menggunakan lift, di mana mereka dapat menikmati panorama Jakarta dari ketinggian 115 meter. Di puncak Monas, terdapat lidah api atau obor yang dilapisi dengan emas, yang melambangkan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Lidah api ini juga dikenal sebagai "Api Nan Tak Kunjung Padam" dan merupakan salah satu ikon Monas.

Monumen Nasional dapat dicapai dengan berbagai jenis transportasi umum, termasuk bus Transjakarta, kereta komuter KAI Stasiun Gambir, dan dalam waktu dekat, juga akan dapat dijangkau melalui MRT Jakarta Jalur Utara-Selatan Fase 2 yang masih dalam konstruksi.

Monumen Nasional merupakan salah satu tempat bersejarah yang penting di Indonesia dan menjadi simbol perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Share:

Tugu Parameswara Jakabaring: Simbol Sejarah dan Keindahan Kota Palembang

Tugu Parameswara. (sumber: Instagram @yaman_bie)

Tugu Parameswara Jakabaring, yang menjulang kokoh di Jakabaring Sport City, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, adalah salah satu ikon kota ini. Tugu ini memiliki makna sejarah yang mendalam dan menjadi gerbang utama menuju kawasan Jakabaring Sport City. Berikut adalah beberapa informasi penting mengenai Tugu Parameswara:

Desain dan Pembangunan Tugu Parameswara

Tugu Parameswara dirancang oleh seorang seniman bernama Rita Widagdo. Tugu ini memiliki bentuk menyerupai pelepah daun pisang, yang umumnya banyak ditemui di Pulau Sumatera. Pembangunan tugu ini dimulai pada tahun 2004, seiring dengan pembangunan kawasan olahraga Jakabaring.

Makna Tugu Parameswara

Tugu Parameswara memiliki makna mendalam sebagai simbol pemersatu adat budaya Melayu, khususnya negara-negara di wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, hingga Brunei Darussalam. Konon, nenek moyang masyarakat Melayu berasal dari Kota Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan. Mereka berasal dari keturunan Raja Melayu pertama, yaitu Parameswara, seorang panglima perang dari Kerajaan Sriwijaya yang merupakan keturunan Bukit Siguntang. Setelah memeluk agama Islam dan meninggalkan Palembang, Parameswara mendirikan Kesultanan Malaka dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Pencapaiannya terkenal hingga ke seluruh negara di Asia Tenggara.

Lokasi dan Akses

Tugu Parameswara berada tidak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapainya dari daerah Ilir Kota Palembang, Anda dapat melintasi Jembatan Ampera dan terus berjalan lurus. Setelah melintasi satu jembatan flyover, sekitar 2 kilometer kemudian Anda akan sampai di Tugu Parameswara Jakabaring. Tugu ini juga berdekatan dengan beberapa universitas seperti Universitas Muhammadiyah Palembang dan Universitas PGRI Palembang.

Fungsi Tugu Parameswara

Tugu Parameswara Jakabaring memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan sehari-hari warga Kota Palembang. Pada pagi hari, tugu ini digunakan sebagai tempat berolahraga bagi masyarakat setempat. Sementara menjelang sore hingga malam hari, Tugu Parameswara menjadi tempat rekreasi dan berswafoto bersama keluarga. Di sekitarnya, Anda juga dapat menemukan pedagang makanan seperti jagung bakar.

Keindahan Malam dan Keamanan

Tugu Parameswara saat malam hari. (sumber: Wikimapia.org)

Tugu Parameswara Jakabaring telah diperindah dengan taman, air mancur, dan permainan lampu-lampu hias. Hal ini menghilangkan kesan angker dan meningkatkan keamanan di sekitar kawasan Jakabaring. Pada malam hari, tugu ini terlihat semakin memukau berkat lampu-lampu hias yang menghiasi area sekitarnya.

Tugu Parameswara Jakabaring bukan hanya sebuah monumen bersejarah, tetapi juga menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Kota Palembang. Keindahan dan makna historisnya membuatnya menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi saat berada di kota ini, baik oleh wisatawan lokal maupun internasional.

Share:

Masjid Besar Al-Mahmudiyah (Masjid Suro): Memelihara Tradisi dan Sejarah di Palembang

Masjid Besar Al-Mahmudiyah. (sumber: SumselPers)

Masjid Besar Al-Mahmudiyah, juga dikenal dengan nama Masjid Suro, adalah salah satu masjid tertua di kota Palembang, Sumatra Selatan. Sejarah panjang masjid ini dimulai pada tahun 1889 ketika seorang ulama besar, KH Abdurahman Delamat, yang akrab disapa Ki Delamat, memulai pembangunan masjid ini di atas tanah wakaf milik Kiai Kiagus H Khotib Mahmud. Pembangunan masjid ini selesai dua tahun kemudian, pada tahun 1891.

Nama asli masjid ini adalah Masjid Suro, tetapi kemudian diusulkan oleh Kiagus H. Matjik Rosad, cucu dari Kiagus H Khotib Mahmud, untuk menggantinya menjadi Al-Mahmudiyah. Nama ini kemudian diterima dan digunakan hingga sekarang.

Pada awalnya, masjid ini menjadi pusat penting bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat untuk menimba ilmu agama kepada Kiai Delamat. Namun, masa kolonial Belanda pada saat itu menimbulkan kendala besar. Pemerintah kolonial tidak ingin masjid ini digunakan sebagai tempat penyebaran dakwah Islam karena khawatir akan memicu perlawanan masyarakat Palembang terhadap pemerintah kolonial.

Akibatnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Tuan Residen Belanda dan diperintahkan untuk tidak lagi menyebarkan Islam. Bahkan, shalat Jumat pun dilarang diselenggarakan di masjid ini. Kiai Delamat akhirnya diusir dari kota Palembang dan menjalani kehidupan di Dusun Sarika hingga wafat. Ia dimakamkan di Masjid Babat Toman.

Namun, anak-anaknya, yaitu KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, bersama masyarakat setempat, berusaha untuk mengembalikan jenazah Kiai Delamat ke Palembang. Mereka berencana untuk menguburkannya di belakang mimbar khatib masjid. Namun, upaya ini tidak disetujui oleh Tuan Residen Belanda. Akhirnya, jenazah Kiai Delamat dipindahkan ke Pemakaman Jambangan, di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Selama masa penjajahan Belanda, Masjid Suro mengalami masa sulit. Masjid ini dibongkar dan dilarang digunakan sebagai tempat ibadah selama lebih dari tiga dekade, tepatnya 36 tahun. Setelah kepengurusan masjid diserahkan kepada Kiai Kgs. H. Mahmud Usman, atau lebih dikenal sebagai Kiai Khotib, nama masjid ini diubah menjadi Masjid Al-Mahmudiyah sesuai dengan nama pengurusnya.

Pada tahun 1919, pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir berkumpul untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru. Inisiatif ini datang dari Kiai Kiemas H. Syekh Zahri, yang memimpin pembentukan kepengurusan baru. Di bawah kepemimpinan Kgs H.M. Ali Mahmud, pada tahun 1920, masjid ini mulai dibongkar untuk direnovasi. Pada tahun 1925, sebuah menara masjid dibangun, dan yang lebih penting lagi, shalat Jumat diperbolehkan kembali oleh Tuan Residen Belanda. 

Salah satu tradisi yang dijaga di Masjid Besar Al-Mahmudiyah adalah membagikan bubur daging kepada orang yang berbuka puasa di masjid dan kepada warga sekitar. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan terus dilakukan hingga sekarang. Setiap bulan puasa, pengurus masjid membuat bubur daging yang disediakan untuk jamaah masjid dan masyarakat sekitar. Ini adalah salah satu cara bagaimana masjid ini menjaga warisan sejarah dan tradisi yang berharga bagi masyarakat Palembang.

Share:

Museum Tekstil Sumatera Selatan: Bangunan Bersejarah Bergaya Kolonial di Palembang

Museum Tekstil Sumatera Selatan. (sumber: beritasatu.com)

Jl. Merdeka No 9, Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang, memiliki sebuah bangunan bersejarah yang berwarna putih. Arsitektur bangunan ini dengan jelas mencerminkan era kolonial Belanda yang sudah lama berlalu. Kini, bangunan tersebut menjadi Museum Tekstil Sumatera Selatan (Sumsel), yang mengoleksi segala hal yang berhubungan dengan sejarah pakaian dan tekstil di Sumsel.

Bangunan museum ini terletak di tengah-tengah pusat Kota Palembang dan berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi. Konstruksinya dimulai pada tahun 1883. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, bangunan ini digunakan sebagai Kantor Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Sumatera Bagian Selatan.

Namun, setelah Indonesia merdeka dan penjajah Belanda pergi, bangunan ini menjadi aset Pemerintah Provinsi Sumsel. Selama bertahun-tahun, bangunan ini telah berfungsi sebagai kantor berbagai instansi pemerintahan, termasuk Kantor Inspektorat Kehakiman, Rumah Dinas Kejaksaan Tinggi Sumsel, Rumah Dinas Ketua DPRD Sumsel, dan Kantor Pembantu Gubernur Sumsel. Pada beberapa saat, gedung ini bahkan menjadi kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Palembang sementara menunggu pembangunan kantor mereka di Jl. Merdeka selesai.

Gedung Museum Tekstil Sumsel memiliki arsitektur campuran antara gaya Eropa klasik dan unsur-unsur bangunan Indonesia. Di depan gedung, terdapat sebuah meriam kuno yang menjadi salah satu peninggalan bersejarah. Sekitar bangunan, terdapat juga patung sepasang suami istri yang mengenakan pakaian adat Sumsel.

Museum ini terdiri dari dua bangunan utama. Yang pertama adalah bangunan yang digunakan sebagai museum dan tempat koleksi disimpan dan dipamerkan. Koleksi museum sebagian besar berfokus pada kain songket khas Palembang beserta alat tenunnya serta batik khas Palembang.

Bangunan kedua, yang lebih kecil, terletak di belakang gedung utama dan difungsikan sebagai sarana untuk membatik. 

Pada tahun 2011, bangunan ini sempat menjadi pusat perhatian karena ada rencana untuk mengubahnya menjadi hotel yang akan diberi nama Palembang Heritage Hotel. Namun, rencana ini mendapat penolakan keras dari seniman dan mahasiswa setempat. Akibatnya, rencana tersebut akhirnya dibatalkan.

Pemerintah Provinsi Sumsel kemudian secara resmi menjadikan bangunan Museum Tekstil sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan dan dirawat. Saat ini, bangunan ini sering digunakan untuk mengadakan pameran kebudayaan dan berbagai bazar. 

Museum Tekstil Sumatera Selatan adalah bukti hidup dari warisan kolonial Belanda yang masih memengaruhi kehidupan kota Palembang saat ini. Bangunan ini bukan hanya menjadi penjaga sejarah, tetapi juga tempat yang bermakna bagi warga Palembang dan pengunjungnya.

Share:

Taman Kambang Iwak: Warisan Belanda yang Berfungsi Estetis dan Praktis di Palembang

Danau yang terdapat di Kambang Iwak Palembang. (sumber: indonesiakaya.com)

Taman-taman kota adalah bagian penting dari perkembangan perkotaan yang tidak hanya memiliki fungsi estetis untuk keindahan kota, tetapi juga fungsi praktis yang mendukung kehidupan sehari-hari warganya. Di seluruh Indonesia, termasuk Palembang, Sumatera Selatan, berbagai bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini menggabungkan kedua fungsi ini. Salah satunya adalah Taman Kambang Iwak, sebuah taman kota yang memiliki sejarah panjang dan berfungsi sebagai ruang hijau yang indah dan efisien.

Taman Kambang Iwak telah menjadi bagian dari kota Palembang sejak tahun 1900-an. Taman ini awalnya dibangun untuk digunakan oleh komunitas orang keturunan Belanda sebagai tempat olahraga. Salah satu ciri khasnya adalah adanya danau buatan di tengahnya. Namun, danau ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen penghias taman. Lebih dari itu, danau tersebut memiliki peran praktis yang penting, yaitu sebagai tempat penampungan air hujan, yang membantu mengurangi risiko banjir di daerah tersebut.

Taman Kambang Iwak Palembang. (sumber: indonesiakaya.com)

Secara harfiah, nama "Kambang Iwak" berasal dari bahasa lokal yang dapat diartikan sebagai "kolam ikan". Menggunakan danau sebagai kolam ikan memiliki makna mendalam, selain sebagai penghias taman dan penampung air hujan, ini juga mencerminkan cita-cita masyarakat Palembang untuk menjaga kebersihan danau dan melestarikannya. 

Lokasi Taman Kambang Iwak terletak antara Jalan Tasik dan Jalan Sutomo di Kota Palembang. Taman seluas sekitar 5 hektar ini terus diperbarui dengan berbagai fasilitas yang meningkatkan kenyamanan pengunjung. Fasilitas ini termasuk taman bermain anak, area duduk yang nyaman, keran air minum, hingga fasilitas hotspot gratis bagi mereka yang ingin mengakses internet sambil menikmati keindahan taman yang rindang.

Taman Kambang Iwak juga menjadi tempat ramai setiap akhir pekan. Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dari berbagai komunitas seperti komunitas musik, sepatu roda, skateboard, sepeda, tari, dan teater sering kali berkumpul di sini. Taman ini juga dilengkapi dengan jogging track, yang sangat cocok bagi mereka yang ingin berlari mengelilingi danau atau berolahraga di pagi atau sore hari.

Di tepian danau Taman Kambang Iwak, banyak tumbuhan trembesi dan pepohon rindang lainnya yang memberikan teduh dan keindahan alami. Dari atas pohon, sering kali terdengar kicauan burung yang menambah suasana damai taman ini. Di tengah danau, terdapat sebuah jembatan panjang sekitar 200 meter yang menghubungkan Jalan Tasik dan Jalan Sutomo. Pada malam hari, taman ini menawarkan pemandangan yang indah dengan adanya air pancuran di tengah danau, terutama ketika sorotan lampu menjadikannya lebih eksotis.

Taman Kambang Iwak adalah bukti konkret bahwa warisan Belanda di Indonesia tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga relevansi praktis dalam kehidupan kota saat ini. Fungsi ganda sebagai ruang hijau yang indah dan penampung air hujan yang efisien membuat taman ini menjadi aset berharga bagi Palembang dan warganya. Dengan perhatian terus-menerus untuk menjaga dan memelihara kebersihan dan keindahan taman ini, Taman Kambang Iwak akan tetap menjadi tempat istimewa bagi masyarakat Palembang dan pengunjungnya.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer