Kampung Kapitan: Memelihara Sejarah dan Budaya di Tepi Sungai Musi, Palembang

Rumah Kapitan. (sumber: Wikipedia)

Kampung Kapitan adalah sebuah kawasan bersejarah yang terletak di kota Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Kawasan ini, yang terletak di tepi Sungai Musi di sisi barat Jembatan Ampera, juga dikenal dengan nama Tuju Ulu. Kampung Kapitan memainkan peran penting dalam sejarah Palembang karena merupakan tempat pertama kali dihuni oleh warga keturunan Tionghoa pada masa penjajahan Belanda.

Sejarah Kampung Kapitan

Kampung Kapitan memiliki sejarah yang kaya, dimulai pada tahun 1644 pada abad ke-17. Kawasan ini dinamai "Kampung Kapitan" karena di sini terdapat tiga rumah perwira yang merupakan tempat tinggal para kapitan. Salah satu tokoh berpengaruh dalam komunitas Tionghoa Palembang pada waktu itu adalah Lioang Taow Ming. Karena pengaruhnya, ia diangkat sebagai perwira oleh pemerintahan Belanda dan diberikan tanggung jawab untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya.

Pemimpin masyarakat Tionghoa Palembang pertama adalah Tjoa Kie Tjuan, yang memegang pangkat mayor. Ia memimpin wilayah 7 Ulu dari tahun 1830 hingga 1855. Setelahnya, putranya, Tjoa Han Him, dengan pangkat kapten atau kapten, menggantikan ayahnya. Tjoa Han Him juga memiliki wewenang untuk mengatur wilayahnya sendiri dan mengawasi pajak. Di masa pemerintahannya, daerah ini diberi nama Kampung Kapitan, yang menjadi gelar dan julukannya.

Awalnya, pemerintah Belanda memberikan wilayah ini karena khawatir terhadap kelompok keturunan Tionghoa di Palembang. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Tionghoa menjadi perantara perdagangan dan mendapatkan posisi istimewa dalam pemerintahan Belanda.

Kampung Kapitan juga menjadi pusat perdagangan di kota Palembang, dan pedagang yang lelah sering singgah di rumah Kapitan untuk beristirahat.

Ruang Terbuka dan Bangunan Bersejarah

Kampung Kapitan memiliki ruang terbuka di depan rumah Kapitan. Pada tahun 1937, ruang ini memainkan peran penting sebagai pertemuan bagi pejalan kaki. Selain itu, ruang terbuka ini juga berfungsi sebagai taman yang dihiasi dengan delapan pot bunga besar di tepinya.

Namun, seiring perkembangan zaman, ruang terbuka ini mulai dipenuhi oleh pemukiman. Pada tahun 2014, sebuah restoran Kapitan dibangun, yang menghalangi akses ke ruang terbuka dari arah sungai dengan tembok. Selain itu, taman juga dibangun yang mengubah wujud dari bangunan rumah Kapitan.

Kawasan ini memiliki 15 kelompok bangunan berbentuk rumah panggung, di mana tiga di antaranya adalah rumah perwira. Rumah Kapitan terdiri dari rumah utama dan rumah abu. Rumah utama seluas 4.000 meter persegi dan dipisahkan oleh ruang terbuka di tengahnya. Hingga saat ini, rumah utama ini masih ditinggali oleh keturunan Tjoa Hanhim. Sementara itu, rumah abu memiliki luas 1.700 meter persegi dan digunakan untuk mengumpulkan barang-barang keluarga marga Tjoa, seperti foto-foto dan tempat penyimpanan abu dari anggota keluarga yang sudah dikremasi.

Rumah Kapitan menampilkan gaya arsitektural yang mencerminkan pengaruh Palembang, Tionghoa, dan kolonial dalam bangunan-bangunannya.

Kampung Kapitan adalah saksi bisu sejarah dan budaya yang harus dilestarikan. Bangunan-bangunannya yang bersejarah dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kawasan ini adalah bagian penting dari warisan Palembang dan Indonesia secara keseluruhan.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer