Pasar Tengkuruk Permai: Jejak Sejarah Perekonomian dan Nama Unik

Sungai Tengkuruk Palembang di tahun 1900an. (sumber: kitliv.nl)

Pasar Tengkuruk Permai, yang terletak di kawasan Pasar 16 Ilir Palembang, telah menjadi salah satu destinasi belanja yang paling terkenal di kota ini. Selain lokasinya yang strategis, pasar ini juga dikenal karena kelengkapan barang-barang yang ditawarkannya. Artikel ini akan mengulas sejarah pasar Tengkuruk Permai, termasuk asal-usul nama uniknya dan bagaimana kawasan ini berkembang dari pemukiman menjadi pasar yang ramai.

Dari Pemukiman ke Pusat Perbelanjaan

Sebelum menjadi pasar yang ramai seperti sekarang, kawasan Tengkuruk dulunya adalah pemukiman warga. Pemerhati Sejarah Kota Palembang, Rd Muhammad Ikhsan, menjelaskan bahwa pada masa lalu, banyak rumah-rumah besar khas Palembang yang berdiri di kawasan Tengkuruk. Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 1970-an, banyak dari rumah-rumah tersebut dirobohkan dan dialihfungsikan menjadi ruko oleh pemiliknya.

"Di atas tahun 1970-an, sangat mudah ditemukan rumah-rumah limas khas Palembang di sana. Tapi sekarang mayoritas sudah jadi ruko," ujar Ikhsan.

Asal-Usul Nama Tengkuruk

Nama "Tengkuruk" sebenarnya berasal dari sebuah aliran anak sungai Musi yang terbentuk karena penimbunan jalan oleh kolonial Belanda sekitar tahun 1927-1928. Penimbunan ini dilakukan karena pemerintah Belanda saat itu ingin mengalihkan jalur transportasi dari yang sebelumnya sangat bergantung pada Sungai Musi menjadi jalur darat.

Namun, aliran anak sungai Tengkuruk tersebut sebenarnya tidak berada di lokasi pasar Tengkuruk Permai saat ini. Lokasinya sedikit lebih jauh dari pasar. Aliran ini berada di sebelah kanan kaki Jembatan Ampera, di seberang Ilir. Aliran Tengkuruk ini lurus melewati tempat yang sekarang telah dibangun skate park Taman Ampera dan terus mengalir hingga belakang Masjid Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, yang dulunya dikenal sebagai Masjid Agung Palembang.

Dari "Kade Tengkoeroek" ke Pasar Tengkuruk Permai

Kawasan Tengkuruk sebelum menjadi pasar dikenal dengan sebutan "Kade Tengkoeroek." Dalam bahasa Belanda, "Kade" berarti dermaga, sementara "tengkoeroek" merupakan ejaan lama dari kata "tengkuruk" yang digunakan sekarang. Pergeseran nama ini sejalan dengan perubahan seiring waktu.

Cikal bakal pasar Tengkuruk Permai sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan Pasar 16 Ilir. Sebelum menjadi satu pasar besar seperti sekarang, di kawasan 16 Ilir terdapat banyak pasar, seperti pasar sebelah ulu, pasar sebelah Ilir, dan pasar Strat (sekarang disebut pasar baru), yang letaknya persis di depan Pasar Tengkuruk Permai saat ini. Pasar-pasar ini terus berkembang dan akhirnya membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai Pasar Tengkuruk Permai.

Sejarah Tengkuruk Permai adalah bukti bagaimana pemukiman yang awalnya diubah menjadi pusat perdagangan yang ramai, dengan nama yang mengandung cerita menarik tentang evolusi kawasan ini dari masa ke masa. Pasar ini tetap menjadi destinasi utama bagi warga Palembang dan wisatawan yang mencari barang dengan harga terjangkau.

Share:

Resep dan Cerita di Balik Kue Cepak Kapung, Warisan Tradisional Masyarakat Batanghari, Jambi

Kue cepak kapung. (sumber: www.budaya-indonesa.org)

Kue cepak kapung adalah sebuah hidangan tradisional yang berasal dari masyarakat Batanghari, Jambi. Kue ini merupakan warisan berharga dari leluhur mereka. Bahan utama dalam pembuatan kue ini adalah tepung beras dan tepung terigu. Kue cepak kapung memiliki ciri khas berwarna hijau dengan bentuk bulat kecil yang memiliki rongga di tengahnya. Ketika dinikmati, teksturnya terasa kenyal di luar, namun yang membuatnya istimewa adalah cairan manis yang keluar dari dalamnya, memberikan cita rasa yang unik dan khas.

Bahan-Bahan

  • Tepung beras
  • Tepung terigu
  • Gula aren
  • Gula pasir
  • Santan
  • Telur
  • Pasta pandan

Cara Membuat

  • Tepung terigu dan tepung beras diadon dan diberi pewarna makanan pasta pandan hingga menyatu dengan merata dan adonan tampak kenyal.
  • Selanjutnya adonan tersebut di pilin-pilin dengan menggunakan jari tangan berbentuk bulat dan memeiliki rongga ditengahnya.
  • Setelah itu, kue yang telah dipilin dikukus, pengukusan kue tersebut dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kue dikukus dalam waktu lebih kurang 20 menit.
  • Setelah kue dikukus, rongga yang terdapat di kue tersebut dimasukkan cairan dari santan, gula aren dan gula pasir yang sebelumnya telah dimasak. Setelah dimasukkan cairan tersebut kue kembali dikukus selama kurang lebih 15 menit.

Share:

Pasar 16 Ilir Kota Palembang: Jejak Sejarah Perekonomian dan Perdagangan

Pasar 16 Ilir Palembang dari sungai musi. (sumber: hallo.palembang.go.id)

Pasar 16 Ilir Kota Palembang adalah salah satu pasar tradisional terbesar di kota ini, yang memiliki sejarah panjang yang berawal sejak tahun 1821. Terletak di Jalan Pasar 16 Ilir, dekat Sungai Musi, pasar ini telah menjadi pusat perdagangan yang vital bagi warga Sumatera Selatan. Artikel ini akan mengungkapkan sejarah, perkembangan, dan peran penting Pasar 16 Ilir dalam sejarah ekonomi dan perdagangan Palembang.

Sejarah Panjang Pasar 16 Ilir

Keberadaan Pasar 16 Ilir di Palembang dimulai sejak tahun 1821, ketika Belanda berhasil menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam. Saat itu, mereka mulai mengenali potensi ekonomi yang ada di kawasan ini. Geliat ekonomi di sekitar Pasar 16 Ilir sebenarnya sudah dimulai jauh sebelumnya, ketika Kimas Hindi Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim memindahkan pusat kekuasaan dari 1 Ilir yang sebelumnya habis dibakar oleh VOC pada tahun 1659 ke Kuto Cerancang.

Pada awal abad ke-20, pola dagang di Pasar 16 Ilir umumnya dilakukan dengan cara "cungkukan," di mana pedagang akan menghamparkan barang dagangannya di tanah. Namun, seiring berjalannya waktu, pasar ini berkembang dengan adanya pembangunan petak permanen yang diperuntukkan bagi para pedagang.

Salah satu wilayah yang berkembang di sekitar Pasar 16 Ilir adalah Pasar Baru, yang hingga saat ini masih dikenal sebagai Jl Pasar Baru. Pada awal abad ke-20, sudah terlihat bangunan bertingkat dua di kawasan ini, yang digunakan sebagai tempat berjualan.

Perkembangan Perekonomian di Pasar 16 Ilir dan Sekitarnya

Pasar 16 Ilir menjadi pusat ekonomi yang semakin berkembang. Pada tahun 1912-1915, penduduk Keresidenan Palembang (yang mencakup seluruh daerah di Sumatera Selatan) sudah mulai memiliki mobil pribadi secara signifikan. Peningkatan kemakmuran ini semakin terlihat pada tahun 1920, ketika jumlah mobil pribadi mencapai lebih dari 3.000 unit.

Masyarakat Palembang juga semakin terlibat dalam perdagangan internasional, seperti yang terlihat dari sejarah pemindahan pelabuhan di kota ini selama masa penjajahan Belanda. Pelabuhan yang dikenal sebagai Boom Jeti dibangun di depan Benteng Kuto Besak (yang saat ini menjadi Perbekalan dan Angkutan Kodam II Sriwijaya). Sebelumnya, pelabuhan sudah ada di kawasan 35 Ilir. Pada tahun 1914, pelabuhan tersebut dipindahkan ke muara Sungai Rendang, yang sekarang dikenal sebagai Gudang Garam.

Pasar 16 Ilir Kota Palembang telah menjadi saksi perjalanan panjang ekonomi dan perdagangan di kota ini. Dengan sejarah yang berawal dari tahun 1821, pasar ini tetap menjadi pusat aktivitas ekonomi yang penting bagi masyarakat Palembang hingga saat ini.

Share:

Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera): Mengenang Heroisme Palembang di Masa Perang

Monumen Perjuangan Rakyat. (sumber: sumselkita.com)

Masih seputar kawasan Benteng Kuto Besak Palembang, kali ini kita akan membahas salah satu monumen yang sering menjadi destinasi wisata dan destinasi edukasi seputar perjuangan kemerdekaan, yaitu Monumen Amanat Penderitaan Rakyat (Monpera). Monumen ini terletak di persimpangan antara Jl. Sudirman dan Jl. Merdeka, berdekatan dengan Kantor Pos Besar Jl. Merdeka, serta berada di belakang Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Mari kita bahas sejarah dan koleksi yang ada di dalamnya.

Sejarah Pembangunan

Sejarah pembangunan Museum Monpera berawal dari inisiatif untuk mendirikan sebuah monumen peringatan perjuangan kemerdekaan di Palembang. Ide ini pertama kali muncul dari para sesepuh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Sumatera Selatan yang tergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Pada tanggal 2 Agustus 1970, inisiatif ini disampaikan dalam rapat LVRI. Setelah melalui berbagai tahapan, pada tanggal 17 Agustus 1975, diadakan upacara peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan monumen ini.

Proses pembangunan Museum Monpera kemudian dimulai pada tahun 1980 dan berlangsung hingga 1988 secara bertahap, dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Tingkat I Sumatera Selatan. Puncaknya, pada tanggal 23 Februari 1988, Museum Monpera diresmikan oleh Menko Kesra H. Alamsyah Ratu Prawiranegara.

Museum Monpera memiliki tujuan utama untuk memperingati serangan Agresi Militer Belanda II. Saat itu, Belanda mengepung Kota Palembang dengan mengerahkan tank dan artileri, menembaki pejuang nasionalis, serta menjatuhkan bom dan granat selama lima hari lima malam. Fungsi dari Museum Monpera tertuang jelas di dinding monumen, tepat di bawah patung Garuda. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa museum ini memiliki peran dalam menggali kembali kesadaran sejarah perjuangan dalam mencapai kemerdekaan nasional, mengingatkan tentang aktivitas perjuangan sebagai hikmah, serta menghormati jasa-jasa para pahlawan bangsa agar menjadi contoh bagi generasi penerus dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan membangun negara.

Arsitektur Bangunan

Museum Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) memiliki luas tanah sekitar 23.565 m², dengan luas bangunan mencapai 3.926,4 m². Di luar dinding monumen, terdapat patung Garuda berukuran besar, yang di bawahnya terdapat tulisan yang menjelaskan fungsi dan makna dari arsitektur ini. Di depan monumen, terdapat lapangan luas yang menampilkan dua mobil tank serta patung Gading Gajah yang dicat putih. Patung ini juga dilengkapi dengan nisan peresmian Museum Monumen Perjuangan Rakyat.

Selain itu, beberapa ikon dan arsitektur dalam museum ini dirancang dengan maksud filosofis yang mendalam. Monumen ini berbentuk melati dengan kelopak lima, di mana melati melambangkan kesucian dan ketulusan para pahlawan perjuangan, sementara lima sisi melambangkan lima daerah keresidenan yang tergabung dalam Sub Komandemen Sumatera Selatan (SubKOSS), yaitu Keresidenan Palembang, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Monumen ini memiliki tinggi sekitar 17 meter, sesuai dengan tanggal kemerdekaan Indonesia, dengan delapan lantai yang melambangkan bulan Agustus, dan bidang sebanyak 45, menandakan tahun kemerdekaan pada tahun 1945.

Akses ke museum ini dirancang dengan sembilan jalur, yang memiliki makna "Batang Hari Sembilan" yang mewakili kebersamaan masyarakat Palembang. Gerbang utama museum memiliki enam cagak, yang melambangkan enam wilayah perjuangan kemerdekaan di Sumatera Selatan. Patung Gading Gajah yang terletak setelah gerbang utama merefleksikan perjuangan pejuang Sumatera Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan dengan meninggalkan jejak yang berharga.

Selain itu, museum ini juga menampilkan dua relief yang menggambarkan kehidupan di Sumatera Selatan sebelum kemerdekaan dan selama pertempuran berlangsung. Beberapa sarana yang disediakan dalam museum ini mencakup ruang pamer tetap, ruang auditorium, ruang perpustakaan, ruang laboratorium/konservasi, ruang penyimpanan koleksi, ruang bengkel, ruang administrasi, dan ruang audio visual.

Koleksi



Di dalam Museum Monpera, pengunjung dapat menjelajahi berbagai koleksi sejarah yang berkaitan dengan peristiwa perjuangan masyarakat Palembang dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II. Museum ini mengoleksi sebanyak 368 artefak yang mencakup beragam benda bersejarah. Koleksi ini terdiri dari 178 foto dokumentasi bersejarah, pakaian dinas pahlawan, dan senjata yang digunakan seperti pistol, juki kanju, fiat, teki, danto, meriam sunan meriam kecepek, dten MK IV, double lop, pedang sabil, ranjau darat. Selain itu, museum ini juga menyimpan 568 buku koleksi, termasuk buku-buku perjuangan dan buku umum.

Museum Monpera juga memiliki patung yang menggambarkan tubuh para pahlawan seperti Dr. A. K. Gani, Drg. M. Isa, H. Abdul Rozak, Bambang Utoyo, Hasan Kasim, Harun Sohar, dan H. Barlian. Selain itu, koleksi mata uang di museum ini mencakup mata uang VOC, Hindia-Belanda, dan Jepang (ORI). Semua koleksi ini memberikan wawasan mendalam tentang perjuangan dan sejarah penting yang melibatkan masyarakat Palembang selama Agresi Militer Belanda II.











Monumen Perjuangan Rakyat, yang dikenal dengan sebutan Monpera, merupakan sebuah simbol heroisme dan perjuangan masyarakat Palembang dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II. Monumen ini terletak di Jalan Merdeka, persis di seberang Masjid Agung Palembang, Sumatera Selatan. Artikel ini akan mengungkap sejarah, makna, dan koleksi yang ada di Museum Monpera.

Makna dan Bentuk Monpera

Monpera memiliki bentuk yang mencolok dan unik. Salah satu ciri khasnya adalah patung burung Garuda yang besar terdapat di dinding monumen. Di bawahnya, terdapat tulisan yang menjelaskan fungsi dan makna dari arsitektur Monpera ini. Monumen ini bukan hanya sekadar struktur fisik, tetapi juga sebuah cerminan makna yang mendalam bagi masyarakat Palembang.

Mengenang Agresi Militer Belanda II

Museum Monpera didirikan untuk memperingati serangan Agresi Militer Belanda II. Pada saat itu, Belanda mengepung Kota Palembang dengan menggunakan tank dan artileri berat. Mereka juga menembaki pejuang nasionalis dan menjatuhkan bom serta granat di Kota Palembang. Pertempuran ini berlangsung selama lima hari dan lima malam, dari tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.

Meskipun hanya dilengkapi dengan peralatan dan senjata sederhana, masyarakat Palembang yang gigih dalam berjuang berhasil membuat tentara Belanda kebingungan. Akhirnya, pada 6 Januari 1947, tercapailah kesepakatan gencatan senjata. Monumen ini menjadi saksi bisu dari peristiwa dramatis perang lima hari lima malam di Palembang.

Pembangunan Monpera

Ide untuk membangun Monumen Perjuangan Rakyat diusulkan oleh sesepuh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang tergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) wilayah Sumsel. Inisiatif ini disampaikan dalam rapat LVRI pada tanggal 2 Agustus 1970, dan pada tanggal 17 Agustus 1975, upacara peletakan batu pertama monumen diadakan.

Pembangunan museum Monpera dimulai pada tahun 1980 dan berlangsung hingga tahun 1988 secara bertahap dengan menggunakan dana dari APBD Pemerintah Tingkat I Sumatera Selatan. Pada tanggal 23 Februari 1988, Museum Monpera diresmikan oleh Menko Kesra H. Alamsyah Ratu Prawiranegara.

Koleksi dan Kenangan di Museum Monpera

Museum Monpera adalah tempat yang berisi berbagai macam koleksi sejarah yang terkait dengan peristiwa perjuangan masyarakat Palembang dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II. Koleksinya mencakup 178 foto dokumentasi, pakaian dinas pahlawan, senjata seperti pistol, juki kanju, fiat, teki, danto, meriam sunan, meriam kecepek, dten MK IV, double lop, pedang sabil, dan anjau darat.

Selain itu, museum ini juga memiliki 568 buku, termasuk buku perjuangan dan buku umum. Patung setengah badan dari para pahlawan seperti Dr. A. K. Gani, Drg. M. Isa, H. Abdul Rozak, Bambang Utoyo, Hasan Kasim, Harun Sohar, dan H. Barlian juga dipajang di sini. Mata uang VOC, Hindia-Belanda, dan Jepang (ORI) juga menjadi bagian dari koleksi Museum Monpera.

Museum Monpera adalah saksi hidup dari keteguhan dan semangat perjuangan masyarakat Palembang dalam menjaga kemerdekaan dan nasionalisme mereka. Monumen Perjuangan Rakyat ini menjadi tempat yang layak untuk mengenang sejarah pahit namun penting dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia.

Share:

Gelamai Perentak: Makanan Manis Khas Jambi yang Wangi dan Tradisional

Gelamai perentak. (sumber: www.malmalredholic.blogspot.com)

Gelamai perentak adalah makanan manis khas Jambi yang berasal dari Kabupaten Merangin. Bahan utamanya terdiri dari beras ketan, kelapa, dan gula pasir. Hidangan ini memiliki bentuk mirip dengan dodol, tetapi teksturnya lebih kenyal dan memiliki aroma khas. Gelamai dibungkus dengan anyaman umbai dalam bentuk agak kotak. Keunikan cita rasa gelamai berasal dari proses pembuatannya yang masih mengikuti tradisi. Proses pembuatan gelamai menggunakan kuali besi dan bahan bakar dari kayu karet, yang memberikan aroma khas yang harum pada makanan ini.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah gelamai perentak dibuat tanpa bahan pengawet, sehingga aman untuk dikonsumsi. Makanan ini telah menjadi ikon di wilayah Kabupaten Merangin, terutama di Provinsi Jambi secara umum. Kelezatan gelamai bahkan sudah terkenal hingga di luar daerah Jambi, menjadi salah satu oleh-oleh yang populer.

Share:

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II: Mengulik Sejarah di Kota Palembang

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. (sumber: Wikipedia)

Pada edisi kali ini, kita akan bergeser sedikit ke sebelah timur dari Benteng Kuto Besak, tepatnya ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Museum ini, selain difungsikan sebagai museum, juga menjadi kantor dinas kebudayaan Kota Palembang. Area bangunan ini dulunya merupakan bekas keraton Kuta Lama dan sempat difungsikan sebagai kantor residen kolonial. Bagaimana sejarahnya secara lebih lengkap, mari kita ulas.

Sejarah

Lokasi museum ini awalnya adalah lokasi Kuta Lama, istana tua Sultan Mahmud Badaruddin I (1724–1758), penguasa Kesultanan Palembang. Setelah penghapusan Kesultanan Palembang, istana Kuta Lama dihancurkan oleh pemerintah kolonial Inggris pada 7 Oktober 1823. Penghapusan Kesultanan adalah bentuk hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah kolonial Inggris terhadap Kesultanan Palembang akibat pembantaian yang terjadi di penginapan Belanda Sungai Alur, meskipun ini mungkin telah menjadi gerakan politik untuk menghapus kedaulatan Kesultanan atas kota tersebut.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II ketika masih berfungsi sebagai kantor residen kolonial. (sumber: sumseltour.blogspot.co.id)

Segera setelah pembongkaran Kuta Lama, pada tahun 1823, sebuah gedung baru dibangun di atas reruntuhannya. Bangunan pertama selesai pada tahun 1824 dan diberi nama Gedung Siput. Belakangan sebuah bangunan kembali dibangun dalam gedung yang saat ini berdiri di situs tersebut. Bangunan baru adalah bangunan batu dua lantai yang dibangun dengan gaya yang memadukan gaya Eropa dengan arsitektur tropis Hindia, berfokus pada gaya rumah bari tradisional yang ditemukan di Palembang. Pada tahun 1825, gedung itu digunakan sebagai kantor untuk residen kolonial. Pada tahun 1920-an bangunan tersebut direnovasi dengan penambahan lebih banyak kaca.

Selama Perang Dunia II, bangunan tersebut digunakan sebagai markas militer Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, gedung tersebut menjadi markas besar Tentara Nasional Indonesia bernama Kodam II/Sriwijaya untuk waktu yang singkat. Kemudian diserahkan kepada pemerintah kota Palembang sebelum akhirnya diubah menjadi museum pada tahun 1984. Pengambilan benda-benda untuk Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dimulai pada tahun 1984 ketika rumah bari, sebuah rumah limas yang otentik, diangkut ke lokasi baru di Museum Balaputradeva. Beberapa koleksi yang sebelumnya disimpan di rumah bari dipindahkan ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Foto bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II tempo dulu. (sumber: Kemas Ibrani)

Museum ini buka setiap hari, tapi khusus Senin hanya buka setengah hari. Tiket masuknya dikenakan harga Rp1.000 untuk anak-anak dan pelajar, Rp2.000 untuk mahasiswa, Rp5.000 untuk umum, dan Rp20.000 untuk turis mancanegara.

Koleksi Museum

Sebagaimana museum pada umumnya, museum ini memamerkan berbagai macam benda antik peninggalan Kesultanan Palembang, diantaranya adalah:

Prasasti Talang Tuo

Ketika Anda berkunjung ke museum ini, Anda akan menemukan Prasasti Talang Tuo yang merupakan prasasti dari Kesultanan Palembang. Namun, prasasti yang tersedia di sana merupakan replika yang dibuat semirip mungkin dengan prasasti aslinya.

Berbagai Macam Koleksi Tekstil

Berikutnya, dalam museum ini Anda akan menemukan berbagai koleksi tekstil dari Kesultanan Palembang, termasuk kain tekstil kerajinan tangan dan pakaian tradisional khas dari daerah Palembang dan Kesultanan Palembang yang dipamerkan.

Berbagai Macam Peninggalan Kesultanan Palembang

Di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Anda akan menemukan berbagai jenis koleksi peninggalan Kesultanan Palembang, seperti kerajinan besi dan logam, koin dari Sumatera Selatan, serta berbagai senjata milik kesultanan.

Artefak Kerajaan Sriwijaya

Tidak hanya di dalam ruangan, Anda juga dapat menemukan beragam artefak dari kerajaan yang dulunya pernah berkuasa di Palembang, yakni Sriwijaya, di bagian kebun museum. Di sana, terdapat patung Budha dan Ganesha yang terawat dengan baik.

Itulah tadi ulasan singkat dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Selain menjadi bangunan cagar budaya dan menjadi salah satu saksi bisu perjalanan kota Palembang hingga saat ini, museum ini juga bisa menjadi sarana wisata edukasi untuk menambah wawasan pengetahuan seputar Kesultanan Palembang. Selain itu, kunjungan ke museum ini juga dapat meningkatkan kecintaan kita terhadap kota tercinta. Jika Anda sedang berada di kawasan Benteng Kuto Besak, jangan lupa untuk mampir ke museum ini. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

Share:

Lawang Borotan: Jejak Sejarah di Benteng Kuto Besak Palembang

Pada edisi sejarah kali ini, kita akan terus mengupas salah satu objek bersejarah yang terletak di dalam kompleks Benteng Kuto Besak, tepatnya di pintu sebelah barat yang dikenal dengan sebutan Lawang Borotan. Lawang Borotan memiliki sejarah yang menarik sebagai pintu yang digunakan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk meninggalkan kota dan diasingkan ke Ternate. Untuk mengetahui sejarah lengkapnya, mari simak penjelasan berikut.

Lawang Borotan tempo dulu. (sumber: Twitter @pesonasriwijaya)

Di dalam kompleks Benteng Kuto Besak Palembang, terdapat satu sisi bersejarah yang tegak berdiri dengan megah, tepatnya di sebelah Menara Air atau Kantor Wali Kota Palembang saat ini. Sisi ini dikenal sebagai Lawang Borotan, yang sesuai dengan namanya, berarti pintu belakang atau gerbang bagian belakang. Lawang Borotan ini memiliki peran sejarah yang sangat penting, terutama sebagai saksi bisu dari kepergian Sultan Mahmud Badaruddin II yang diasingkan ke Ternate oleh pihak Belanda. Bangunan Lawang Borotan telah berdiri kokoh selama lebih dari 200 tahun, dibangun sekitar tahun 1780 pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I.

Lawang Borotan sendiri adalah salah satu peninggalan bersejarah dari Kesultanan Palembang yang berkuasa dari tahun 1550 hingga 1823. Lawang Borotan digunakan sebagai akses keluar-masuk Sultan Mahmud Badaruddin II jika hendak menuju kediaman Adipati Tua di Sungai Sekanak.

Namun, catatan sejarah mencatat peristiwa penting pada tahun 1821 ketika Benteng Kuto Besak diserang oleh kolonial Belanda. Akibat serangan ini, Sultan Mahmud Badaruddin II beserta keluarganya diasingkan ke Ternate, yang juga menandai berakhirnya era Kesultanan Palembang. Pengasingan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melemahkan kekuasaan kesultanan dan mengakhiri perlawanan, meskipun Sultan Mahmud Badaruddin II tetap aktif dalam perlawanan.

Kondisi Lawang Borotan saat ini. (sumber: Twitter @pesonasriwijaya)

Lawang Borotan memiliki tinggi sekitar 7 meter dan lebar sekitar 4 meter. Struktur Lawang Borotan terdiri dari dua pilar atau tiang besar, serta dua daun pintu kayu yang tebal. Semua bangunan dan pintu masih dalam kondisi asli hingga saat ini, menjadikannya sebagai salah satu peninggalan berharga dari sejarah Kota Palembang.

Itulah tadi sejarah Lawang Borotan, salah satu bagian dari Benteng Kuto Besak yang menjadi saksi bisu diasingkannya Sultan Mahmud Badaruddin II ke Ternate oleh Belanda. Sampai saat ini, kami merasa bahwa masih banyak masyarakat di Kota Palembang yang belum menyadari dan mengetahui keberadaan serta sejarah yang terkait dengan salah satu sisi Benteng Kuto Besak ini.

Kami berharap bahwa ke depannya, masyarakat dan pemerintah Kota Palembang semakin sadar akan pentingnya menjaga, merawat, dan memperkenalkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kota kita tercinta. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama mempromosikan warisan budaya ini baik di tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Kota Palembang.

Seperti biasa, sampai jumpa di artikel edisi sejarah berikutnya, salam pesona Indonesia! Wonderful Indonesia.

Share:

Kelicuk: Makanan Khas Suku Rejang dengan Cita Rasa yang Unik

Kelicuk. (sumber: Facebook/Brigita Yosepha)

Kelicuk adalah salah satu hidangan tradisional yang berasal dari Suku Rejang, yang mendiami wilayah Bengkulu dan Sumatera bagian Selatan. Dahulu, makanan ini umumnya disajikan dalam acara pernikahan atau upacara adat. Namun, dengan berjalannya waktu, tradisi ini mulai tergeser, dan saat ini kelicuk lebih mudah ditemui, terutama di pasar-pasar sebagai salah satu jajanan khas. Kelicuk sendiri terbuat dari bahan dasar beras ketan dan pisang, yang kemudian dicampur dengan sedikit kelapa parut dan gula aren untuk memberikan rasa yang lezat dan khas.

Kandungan Bahan dan Cara Memasak

Kelicuk adalah makanan yang memiliki rasa sangat khas. Bahan dasarnya terdiri dari ketan, pisang, gula aren, dan kelapa parut. Kombinasi bahan-bahan ini menciptakan cita rasa yang nikmat dan unik. Aroma daun pisang yang digunakan dalam proses pembuatan memberikan sentuhan khas yang sulit ditemukan dalam hidangan lain.

Proses pembuatan kelicuk relatif cepat dan sederhana. Semua bahan dicampur merata dan kemudian dikukus selama sekitar lima belas menit. Hasilnya adalah hidangan yang menggugah selera dengan aroma dan cita rasa yang khas, menjadikannya pilihan yang populer di kalangan para penikmat kuliner.

Share:

Benteng Kuto Besak: Warisan Bersejarah dan Objek Wisata di Palembang

Pada edisi sejarah hari ini, tanggal 10 Januari 2023, kita akan menjelajahi salah satu destinasi bersejarah yang juga menjadi tempat wisata yang terletak di tepi Sungai Musi, yaitu Benteng Kuto Besak. Benteng ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Palembang, menjadi destinasi yang dikenal luas dan seringkali menjadi tuan rumah berbagai acara penting. Di pelataran Benteng Kuto Besak, seringkali diadakan beragam acara, termasuk konser musik, hiburan rakyat, bazar, dan tabligh akbar. Kawasan Benteng Kuto Besak bahkan sering disebut sebagai alun-alunnya kota Palembang, karena setiap malamnya menjadi tempat berkumpulnya masyarakat, baik bersama keluarga, teman, maupun saudara. Untuk memahami lebih lanjut mengenai sejarah Benteng Kuto Besak, mari kita eksplorasi penjelasan berikut.

Gerbang masuk ke dalam Benteng Kuto Besak Palembang. (sumber: Google Maps)

Benteng Kuto Besak, yang terletak di bagian tenggara Sungai Musi, memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran mencapai 288,75 meter × 183,75 meter. Di setiap sudut benteng, terdapat selekoh berbentuk trapesium di sudut utara, timur, dan selatan, serta selekoh berbentuk segi lima di sudut barat. Benteng ini memiliki tiga pintu gerbang, yang dibangun di bagian timur laut, barat laut, dan tenggara. Selain itu, beberapa celah dibuat di dinding benteng untuk pengawasan, dengan celah ini semakin mengecil ke arah dalam.

Benteng Kuto Besak juga dilengkapi dengan dermaga di bagian depannya, yang digunakan sebagai jalur Sultan menuju Sungai Musi. Di ujung dermaga terdapat sebuah gerbang beratap limasan yang mencolok. Di depan benteng, sebuah alun-alun dibangun untuk memberikan karakteristik yang kuat. Pintu gerbang utama dilengkapi dengan sejajar meriam-meriam yang ditempatkan dengan rapi. Di sebelah kanan gerbang, ada dua bangunan persegi panjang yang terbuat dari kayu dengan atap sirap tanpa dinding. Salah satu dari bangunan ini berfungsi sebagai tempat duduk Sultan.

Awal mula usulan pembangunan Benteng Kuto Besak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badarudin I, tetapi pembangunan baru benar-benar dilaksanakan pada tahun 1780, ketika Sultan Muhammad Bahauddin memerintah. Dinding tembok benteng dibangun dengan ketebalan 1,99 meter dan tinggi mencapai 9,99 meter. Benteng Kuto Besak kemudian diresmikan sebagai tempat kediaman Sultan beserta keluarganya pada tanggal 21 Februari 1792.

Sebagai penanda penting dari warisan budaya Indonesia, Benteng Kuto Besak diakui sebagai cagar budaya pada tanggal 3 Maret 2004 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan nomor registrasi CB.678. Benteng ini tetap berdiri sebagai saksi bisu sejarah dan kekayaan budaya Indonesia yang kini dapat dipelajari dan dijelajahi oleh generasi masa kini.

Sejarah

Benteng Kuto Besak adalah salah satu destinasi bersejarah yang terletak tepat di pinggir Sungai Musi. Dibangun mulai tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti, benteng ini memakan waktu sekitar 17 tahun untuk selesai. Dalam proses pembangunannya, digunakan semen perekat bata yang terbuat dari batu kapur dari daerah pedalaman Sungai Ogan, yang dicampur dengan putih telur.

Benteng Kuto Besak memiliki posisi yang sangat strategis dan indah, menghadap langsung ke Sungai Musi. Berbeda dengan lokasi keraton lama yang terletak di daerah pedalaman, benteng baru ini berdiri di lahan yang terbuka. Saat itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membagi wilayah kota menjadi pulau-pulau kecil. Benteng Kuto Besak sendiri seakan berdiri di atas pulau karena dikelilingi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara.

Pada tanggal 21 Februari 1797, secara resmi Kuto Besak dihuni oleh penduduk. Saat ini, bangunan bersejarah ini digunakan oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya. Benteng Kuto Besak juga menjadi salah satu lokasi favorit di Palembang untuk berbagai acara dan kegiatan masyarakat.

Salah satu sisi Benteng Kuto Besak. (sumber: sumsel.inews.id)

Fungsi

Benteng Kuto Besak, yang awalnya merupakan keraton, memiliki sejarah yang kaya dan penting dalam konteks Kesultanan Palembang. Gagasan pembangunan benteng ini pertama kali digagas oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, yang memerintah pada periode 1724-1758. Namun, pelaksanaan pembangunan sebagian besar dilakukan oleh penerusnya, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, yang memerintah pada tahun 1776-1803.

Sultan Mahmud Bahauddin dikenal sebagai seorang pemimpin realistis dan praktis dalam urusan perdagangan internasional. Ia juga seorang tokoh agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Sebagai simbol perannya sebagai sultan, ia memutuskan untuk pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak, yang oleh Belanda disebut sebagai "niewe keraton" atau keraton baru.

Benteng Kuto Besak memiliki bentuk persegi panjang yang luas dan menghadap langsung ke Sungai Musi. Panjangnya mencapai 274,32 meter, sementara lebarnya 182,88 meter. Benteng ini dikelilingi oleh tembok besar dengan tinggi mencapai 9,14 meter dan ketebalan 2,13 meter. Di setiap sudutnya terdapat kubu (bastion) yang memuat sejumlah meriam yang terbuat dari besi dan kuningan.

Keraton ini memiliki pelataran yang luas, balai agung, gerbang besar, dan sejumlah bangunan penting lainnya. Di dalam kompleks ini, terdapat juga tempat-tempat seperti keputren (tempat tinggal putri sultan), paseban (balai pertemuan), ruang tamu untuk menerima tamu istimewa, tempat kediaman sultan, dan permaisuri. Di tengah-tengah keraton, terdapat kolam dengan perahu, taman yang indah, dan pohon-pohon buah-buahan yang menambah keelokan tempat ini.

Selain itu, terdapat jalan yang menghubungkan Keraton Kuto Besak dengan Keraton Kuto Lamo, serta jalan menuju mesjid utama kerajaan. Semua ini menjadikan Benteng Kuto Besak sebagai simbol penting dalam sejarah dan budaya Palembang.

Benteng Kuto Besak tempo dulu. (sumber: nationalgeographic.grid.id)

Objek Wisata

Pemkot Palembang memiliki rencana ambisius untuk mengembangkan dan menata kawasan sekitar Plaza Benteng Kuto Besak agar menjadi tempat hiburan terbuka yang memukau dengan pesona Sungai Musi dan bangunan-bangunan bersejarahnya. Ketika melihatnya dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, kita akan disuguhkan pemandangan yang memukau, yaitu pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem yang menghiasi halaman Benteng Kuto Besak, serta menara air yang menjulang tinggi di Kantor Wali Kota Palembang.

Saat malam tiba, suasana kawasan ini akan menjadi lebih dramatis. Cahaya dari berbagai lampu taman akan menciptakan refleksi indah dengan warna kuning yang memantul di permukaan sungai, menciptakan pemandangan yang memesona. Pemerintah kota Palembang memiliki sejumlah rencana pengembangan yang bertujuan untuk mendukung perkembangan Plaza Benteng Kuto Besak sebagai salah satu objek wisata unggulan di kota ini.

Demikianlah penjelasan singkat tentang Benteng Kuto Besak, sebuah destinasi wisata yang juga menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Kota Palembang pada masa lampau. Bagi mereka yang berkunjung ke Palembang, jangan lewatkan kesempatan untuk menjelajahi Benteng Kuto Besak yang kaya akan sejarah. Di sini, kalian dapat mengabadikan momen berharga dengan berfoto di tepi Sungai Musi, dengan latar belakang ikon kota Palembang, seperti Jembatan Ampera atau tugu Iwak Belido. Sampai jumpa di edisi sejarah berikutnya, dan semoga informasi ini bermanfaat bagi semua!

Share:

Tegean: Sup Sayur Segar dengan Sentuhan Kencur Khas Banyumas

Tegean atau sayur bening. (sumber: wisata.app)

Tegean adalah sebutan khas Banyumas untuk sup sayur berkuah bening yang terlihat sederhana tetapi sangat menyegarkan. Hidangan ini terdiri dari berbagai macam sayuran yang diracik dengan bumbu khusus sehingga menghasilkan rasa yang enak dan lezat. Beberapa sayuran yang sering digunakan dalam tegean antara lain bayam, wortel, jagung, kecambah kedelai hitam, daun katuk, dan kedelai hitam. Biasanya, butiran menjadi unsur utama yang mendominasi masakan ini.

Variasi

Terkadang, dalam hidangan tegean, sayuran ini juga dicampur dengan irisan daging sapi atau daging ayam, serta mie bihun. Untuk bumbunya, selain bahan-bahan yang lazim seperti bawang merah dan bawang putih, tegean juga dikenal dengan penggunaan "geprekan" kencur yang memberikan sentuhan kesegaran pada rasanya.

Share:

Lembaran Negara Republik Indonesia: Publikasi Pusat Peraturan Perundang-undangan

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) adalah salah satu publikasi utama dalam penerbitan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ini adalah referensi penting yang berisi berbagai informasi terkait kebijakan, pengumuman, peraturan, dan hukum yang dikeluarkan oleh Badan, Lembaga, atau Pemerintah. LNRI adalah sumber resmi di mana segala bentuk peraturan dan undang-undang Indonesia diterbitkan setelah proses pencatatan dan penyebaran publikasi.

Staatsblad van Nederlandsch Indie: voor het jaar 1906. (sumber: opac.perpusnas.go.id)

Pada masa kolonial, LNRI dikenal dengan nama "Staatsblad" atau lebih lengkapnya "Het Staatsblad van Nederlandsch-Indië." Ini adalah publikasi resmi yang berlaku di Hindia Belanda. Beberapa contoh peraturan yang terbit dalam Staatsblad pada masa tersebut adalah:

  1. Staatsblad 1915 Nomor 732: Merupakan peraturan hukum pidana yang saat ini dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
  2. Staatsblad 1847 Nomor 23: Merupakan peraturan hukum perdata yang saat ini dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
  3. Staatsblad 1847 Nomor 23: Merupakan peraturan hukum dagang yang saat ini dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  4. Staatsblad 1847 Nomor 52 jo. Stb. 1849-63: Merupakan peraturan acara perdata yang saat ini dikenal sebagai Reglemen Acara Perdata.

Cover buku Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 | No. 3210 - 3244. (sumber: inlis.madiunkota.go.id)

Setelah kemerdekaan Indonesia, LNRI tetap menjadi publikasi utama untuk peraturan perundang-undangan. Beberapa contoh peraturan yang terbit dalam LNRI pada masa kemerdekaan adalah:

  1. LNRI Tahun 1974 Nomor 53 Tambahan LNRI Nomor 3039: Merupakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
  2. LNRI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan LNRI Nomor 3209: Merupakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  3. LNRI Tahun 1983 No 36: Merupakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

LNRI memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi hukum dan peraturan kepada masyarakat dan pihak yang terkait. Informasi yang terdapat dalam LNRI memiliki kekuatan pemaksaan atas pemberlakuan hukum di seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Dengan demikian, Lembaran Negara Republik Indonesia adalah sumber yang sangat penting dalam sistem perundang-undangan Indonesia, menjembatani publik dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara ini.

Share:

Sungai Musi: Jejak dari Hulu Hingga Muara

Pada edisi sejarah kali ini, kita akan menjelajahi keindahan Sungai Musi yang membelah kota Palembang menjadi dua sisi yang unik, yakni sisi ulu dan sisi ilir. Sungai Musi bukan hanya sebuah aliran air, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah dan budaya kota ini. Untuk lebih memahami pesonanya, mari kita simak penjelasan berikut.

Sungai musi yang membelah Kota Palembang menjadi dua sisi, sisi Ilir dan sisi Ulu. (sumber: kompas.id)

Sungai Musi, juga dikenal sebagai Sungi Musi dalam bahasa Melayu Palembang atau Bioa Musêi dalam bahasa Rejang, adalah sebuah sungai yang melintasi dua provinsi, yaitu Bengkulu dan Sumatra Selatan, Indonesia. Sungai ini memiliki panjang sekitar 720 kilometer dan bermuara di Selat Bangka. Sungai Musi memiliki peran penting dalam membagi Kota Palembang menjadi dua bagian yang disebut Ilir dan Ulu. Kedua bagian ini dihubungkan oleh beberapa jembatan, termasuk Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang. Selama berabad-abad, Sungai Musi telah menjadi sarana transportasi utama bagi masyarakat, mengikuti sejarahnya sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga masa kini.

Lukisan Kota Palembang yang di lalui sungai musi, oleh Jan van der Laen. (sumber: wikipedia.com)

Hulu Sungai

Hulu Sungai Musi terletak di Bukit Kelam, sekitar 15 kilometer dari Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Di titik paling awalnya, air Sungai Musi memancar dari dasar tebing di Bukit Kelam. Sungai ini memiliki lebar awal sekitar 5 meter dan kedalaman hanya beberapa kaki, dengan dasarnya yang terdiri dari batu-batu kerikil. Air dari tebing tersebut mengalir ke arah tenggara dan semakin membesar seiring dengan penyatuan air dari sumber-sumber lain, termasuk puluhan anak sungai. Sungai ini kemudian melintasi sepanjang 720 kilometer sebelum akhirnya bermuara di Selat Bangka. Bagian hulu sungai ini, dalam budaya Rejang, dikenal sebagai Luak Ulu Musi.

Hidrologi

Sungai Musi merupakan pembagi alam yang memisahkan Kota Palembang menjadi dua wilayah utama, yaitu Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Selain itu, bersama dengan sungai-sungai lainnya, Sungai Musi membentuk sebuah delta yang terletak dekat Kota Sungsang.

Sungai Musi juga sering disebut "Batanghari Sembilan," yang mengacu pada sembilan sungai besar yang bermuara ke Sungai Musi. Delapan sungai besar yang bergabung dengan Sungai Musi meliputi:

  1. Sungai Komering;
  2. Sungai Rawas;
  3. Sungai Leko;
  4. Sungai Lakitan;
  5. Sungai Kelingi;
  6. Sungai Lematang;
  7. Sungai Rupit; dan
  8. Sungai Ogan.

Namun, kondisi lingkungan di sepanjang DAS Musi (Daerah Aliran Sungai Musi) semakin mengkhawatirkan akibat aktivitas penebangan liar yang meluas. Hal ini berpotensi memicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor. Secara geografis, DAS Musi terletak antara 103° 34’ 12 “ hingga 105° 0’ 36” Bujur Timur dan 02° 58’ 12”  hingga 04° 59’ 24” Lintang Selatan, dengan luas mencapai 7.760.222,86 hektar. Wilayah DAS Musi secara administratif melibatkan empat provinsi, yaitu Sumatra Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Di Provinsi Sumatra Selatan, terdapat 17 Kabupaten/Kota yang termasuk dalam DAS Musi, mencakup seluruh Kabupaten/Kota yang berada di provinsi ini.

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dibagi menjadi beberapa wilayah di beberapa provinsi. Di Provinsi Bengkulu, DAS Musi dikelola oleh BPDASHL Musi Kabupaten, yang mencakup Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Sementara di Provinsi Jambi, wilayah yang termasuk dalam DAS Musi meliputi Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Muaro Jambi. Di Provinsi Lampung Barat, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan masuk dalam wilayah DAS Musi. Wilayah DAS Musi berbatasan dengan DAS Ketahun di sebelah barat dan DAS Batanghari di sebelah utara.

Sub DAS

DAS Musi memiliki beberapa sub-DAS yang membentang di wilayahnya. Sub-DAS ini termasuk dalam wilayah DAS Musi dan memiliki peran penting dalam pengelolaan sungai ini. Beberapa sub-DAS yang terdapat dalam DAS Musi antara lain:

  • Sub-DAS Banyuasin
  • Sub-DAS Batang Pelidang
  • Sub-DAS Batanghari Leko
  • Sub-DAS Baung
  • Sub-DAS Bungin
  • Sub-DAS Calik
  • Sub-DAS Deras
  • Sub-DAS Kelingi
  • Sub-DAS Kikim
  • Sub-DAS Komering
  • Sub-DAS Lakitan
  • Sub-DAS Lalan
  • Sub-DAS Lematang
  • Sub-DAS Macan
  • Sub-DAS Medak
  • Sub-DAS Musi Hilir
  • Sub-DAS Musi Hulu
  • Sub-DAS Ogan
  • Sub-DAS Rawas
  • Sub-DAS Soleh
  • Sub-DAS Semangus
Semua sub-DAS ini berperan dalam mengatur aliran air dan sumber daya sungai Musi secara keseluruhan.

Geografi

Sungai Musi mengalir melalui bagian selatan pulau Sumatra yang memiliki iklim hutan hujan tropis, yang secara klasifikasi iklim Köppen-Geiger dikategorikan sebagai kode "Af". Suhu rata-rata sepanjang tahun berkisar sekitar 24°C. Bulan terpanas biasanya terjadi pada bulan Juli dengan suhu rata-rata sekitar 26°C, sementara bulan terdingin adalah Februari dengan suhu sekitar 23°C. Curah hujan tahunan rata-rata mencapai 2579 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah April, dengan rata-rata sekitar 344 mm, sedangkan bulan dengan curah hujan terendah adalah September dengan rata-rata 99 mm. Ini adalah karakteristik iklim yang memengaruhi Sungai Musi dan lingkungan sekitarnya.

Objek Wisata di tepi Sungai Musi

Sungai Musi menawarkan pengalaman unik dalam menjelajahi destinasi pariwisata di sepanjang alirannya melalui "Musi Tour". Para pengunjung diajak untuk menjelajahi berbagai destinasi menarik di sepanjang sungai ini dengan menggunakan boat atau "getek". Selama perjalanan, pengunjung juga dapat merasakan sensasi berhadapan dengan ombak Sungai Musi, yang kadang-kadang bisa membuat mereka basah akibat percikan air. Beberapa destinasi menarik yang dapat dinikmati oleh para wisatawan sepanjang Sungai Musi adalah:

  • Jembatan Ampera
  • Benteng Kuto Besak
  • Pasar 16 Ilir
  • Rumah Rakit
  • Masjid Lawang Kidul
  • Kawah Tekurep
  • Keraton Kuto Gawang (sekarang PT. Pusri)
  • Pulau Kemaro dan Kampung Aer Pulau Kemaro
  • Sungai Gerong
  • Komplek Makam Ratu Bagus Kuning
  • Kampung Arab Assegaf dan Pabrik Es Assegaf
  • Kampung Arab Al Munawar
  • Kelenteng Dewi Kwan Im
  • Kampung Kapitan
  • Kampung Pempek Tanggo Rajo
  • Rumah Baba Ong Boentjit
  • Jembatan Ogan
  • Rumah Kembar Tuan Kentang
  • Gudang Mural Ong Boentjit
  • Kawasan Pasar Sekanak, dll.
Tidak hanya destinasi pariwisata yang menarik, Sungai Musi juga memberikan pengunjung kesempatan untuk melihat berbagai aktivitas masyarakat sepanjang sungainya. Anda bisa menyaksikan orang-orang yang sedang menambang pasir, memancing, menjala, atau bahkan sekelompok penyelam yang mencari sisa-sisa harta karun peninggalan zaman dulu di dasar Sungai Musi.

Bagi yang tertarik untuk menjelajahi Sungai Musi, Anda dapat memulai perjalanan dengan naik boat atau "getek" dari dermaga Benteng Kuto Besak. Jika Anda ingin mendapatkan informasi lebih lanjut tentang sejarah dan fakta unik destinasi yang akan Anda kunjungi, Anda juga memiliki opsi untuk menghubungi Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) DPD Kota Palembang melalui akun Instagram mereka @hpikotapalembang. Selamat merencanakan liburan Anda bersama keluarga atau rombongan di Kota Palembang, dan jangan lupa untuk mencicipi kuliner khas Palembang, seperti pempek, pindang, dan hidangan lezat lainnya di warung terapung sambil menikmati suasana ombak dan gelombang Sungai Musi. Semoga Anda memiliki pengalaman yang luar biasa!

Share:

Jembatan Ampera: Memahami Sejarah, Menikmati Pesona, dan Mengungkap Fakta Unik

Dalam kesempatan ini, kami akan membagikan informasi mengenai sejarah dan beberapa fakta menarik yang terkait dengan Jembatan Ampera, yang menjadi ikon Kota Palembang. Jembatan Ampera tidak hanya sebuah struktur penting, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan keunikan yang membuatnya menarik untuk dijelajahi. Mari kita simak penjelasannya lebih lanjut.

Keindahan Jembatan Ampera yang mempesona. (sumber: Instagram @lupierachim)

Jembatan Ampera, yang juga dikenal dengan julukan "Amanat Penderitaan Rakyat," adalah salah satu landmark yang sangat penting di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia. Terletak di pusat kota, jembatan ini menghubungkan dua wilayah utama, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir, yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Dengan statusnya sebagai ikon terkenal Kota Palembang, Jembatan Ampera telah menjadi simbol yang sangat diakui oleh penduduk setempat maupun pengunjung dari berbagai penjuru.

Struktur Jembatan Ampera

Bagian tengah Jembatan Ampera ketika masih bisa diangkat naik-turun untuk dilintasi kapal-kapal besar. (sumber: Flickr)

Jembatan Ampera memiliki panjang mencapai 1.117 meter dan lebar 22 meter, dengan bagian tengahnya yang memiliki lebar 71,90 meter dan berat sekitar 944 ton. Pada awalnya, bagian tengah jembatan ini dapat diangkat untuk memberikan akses kepada kapal-kapal besar yang melewati Sungai Musi. Namun, sejak tahun 1970, bagian tengah Jembatan Ampera sudah tidak lagi dapat diangkat. Pembandul pemberat dengan bobot mencapai 500 ton yang sebelumnya digunakan juga telah dibongkar pada tahun 1990 karena alasan keamanan. Jembatan ini memiliki tinggi sekitar 11,5 meter di atas permukaan air, sementara menaranya mencapai tinggi 63 meter dari permukaan tanah, dengan jarak antara kedua menara mencapai 75 meter.

Sejarah Jembatan Ampera

Sejarah Jembatan Ampera memiliki akar yang panjang, dimulai dari zaman Gemeente Palembang pada tahun 1906. Ide untuk menyatukan dua wilayah, Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dengan sebuah jembatan telah ada sejak dulu. Saat Le Cocq de Ville menjabat sebagai Wali Kota Palembang pada tahun 1924, gagasan ini kembali muncul, dan banyak upaya dilakukan untuk mewujudkannya. Namun, hingga masa jabatan Le Cocq berakhir dan bahkan setelah Belanda meninggalkan Indonesia, proyek tersebut tidak pernah terwujud.

Setelah kemerdekaan, konsep pembangunan jembatan kembali muncul. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Peralihan Kota Besar Palembang mengusulkan pembangunan jembatan, yang kemudian disebut Jembatan Musi, mengacu pada Sungai Musi yang akan dilintasi. Usulan ini terlihat cukup nekat karena anggaran awal yang tersedia hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, sebuah panitia pembangunan dibentuk, dengan anggotanya termasuk Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, Gubernur Sumatra Selatan, H.A. Bastari, Wali Kota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Mereka berusaha mendapatkan dukungan dari Presiden Soekarno untuk proyek ini.

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Kota Palembang, dengan dukungan penuh dari Kodam IV/Sriwijaya, akhirnya berhasil. Presiden Soekarno menyetujui pembangunan jembatan ini dengan syarat adanya boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan tersebut. Pada tanggal 14 Desember 1961, kontrak pembangunan ditandatangani dengan biaya sekitar USD 4.500.000 (dengan kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).

Pembangunan Jembatan Ampera berfokus di wilayah hilir, yang merupakan pusat kota Palembang, terutama di kawasan 16 Ilir. Selama pembangunan jembatan ini, banyak bangunan peninggalan Belanda yang harus dibongkar, termasuk pusat perbelanjaan terbesar, Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO. Satu-satunya bangunan peninggalan Belanda yang tersisa adalah menara air atau waterleding, yang sekarang menjadi Kantor Wali Kota. Di bagian hulu, beberapa perumahan penduduk juga ikut dibongkar.

Proses pembangunan salah satu menara Jembatan Ampera. (sumber: ngomongbae.com)

Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962 setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Soekarno. Dana pembangunannya diambil dari pampasan perang Jepang, dan proyek ini melibatkan tenaga ahli dari Jepang.

Awalnya, jembatan ini diberi nama "Jembatan Bung Karno" sebagai penghargaan kepada Presiden RI pertama, Soekarno, yang sangat mendukung pembangunan jembatan ini. Namun, pada tahun 1966, saat terjadi perubahan politik dan gerakan anti-Soekarno yang kuat, nama jembatan diubah menjadi "Jembatan Ampera" (Amanat Penderitaan Rakyat).

Pada sekitar tahun 2002, muncul usulan untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera, tetapi usulan ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

Fakta Unik Jembatan Ampera

1. Tahun Pembangunan dan Keterlibatan dalam Asian Games

Jembatan Ampera dibangun pada tahun 1962, yang memiliki kebetulan menarik bahwa pada saat itu Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV. Peresmian Jembatan Ampera sendiri dilakukan pada tanggal 10 November 1965. Hal ini membuat Jembatan Ampera menjadi salah satu ikon yang membanggakan dalam penyelenggaraan Asian Games tersebut. Bahkan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), juga memberikan perhatian khusus kepada Jembatan Ampera dan mengungkapkannya melalui akun Twitter resminya.

2. Perubahan Warna Jembatan

Jembatan Ampera ketika berwarna kuning. (sumber: radarpalembang.disway.id)

Jembatan Ampera, yang dikenal dengan warna merahnya yang mencolok, sebenarnya telah mengalami perubahan warna hingga tiga kali selama sejarahnya. Ketika pertama kali dibangun, Jembatan Ampera memiliki warna abu-abu. Kemudian, pada tahun 1992, warna jembatan ini diubah menjadi kuning. Akhirnya, pada tahun 2002, Jembatan Ampera mendapat lapisan cat merah yang menjadi ciri khasnya hingga saat ini.

3. Jembatan Terpanjang di ASEAN pada Masanya

Pembangunan Jembatan Ampera merupakan proyek ambisius yang memakan waktu tiga tahun. Dimulai dari awal konstruksi pada bulan April 1962 hingga penyelesaian pada tahun 1965, Jembatan Ampera menjadi salah satu jembatan terpanjang di kawasan ASEAN pada masanya. Dengan panjang mencapai sekitar 1.177 meter, lebar 22 meter, dan tinggi menara mencapai 63 meter di atas permukaan tanah, Jembatan Ampera merupakan sebuah prestasi teknik yang sangat mengesankan.

4. Pernah Masuk ke dalam Game Online Point Blank

Jembatan Ampera menjadi salah satu maps di game online Point Blank. (sumber: batampos.co.id)

Jembatan Ampera tidak hanya terkenal dalam dunia nyata, tetapi juga pernah menjadi bagian dari dunia virtual. Dalam game online animasi Point Blank (PB), Jembatan Ampera dihadirkan sebagai salah satu peta tempur yang menarik. Jembatan ini menjadi salah satu map terpanjang dalam permainan tersebut, dengan lorong-lorong dan tempat-tempat rahasia yang menarik untuk dijelajahi oleh para pemain game.

Pesona Jembatan Ampera di Malam Hari

Jembatan Ampera di malam hari. (sumber: goodnewsfromindonesia.id)

Pada malam hari, Jembatan Ampera menghadirkan penampilan yang luar biasa dengan lampu-lampu yang berderet di sepanjang jembatan, memberikan tampilan yang cantik dan eksotis. Keindahan pemandangan ini menjadikan Jembatan Ampera sebagai salah satu ikon kebanggaan warga Palembang dan juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang. Dari atas jembatan, pengunjung dapat melihat Benteng Kuto Besak, sebuah benteng bersejarah peninggalan Sultan Mahmud Badaruddin I pada abad ke-18, yang merupakan salah satu situs bersejarah yang penting di Palembang. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati hidangan khas Palembang di warung terapung yang terletak di perairan tepi Sungai Musi. Dari warung ini, Anda dapat menikmati keindahan Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang bersinar gemerlap pada malam hari.

Demikianlah sebagian pengetahuan seputar sejarah, struktur, pesona, dan beberapa fakta unik mengenai ikon kota Palembang, Jembatan Ampera. Keindahan Jembatan Ampera bisa dinikmati baik pada siang hari maupun malam hari, menjadi destinasi yang tak boleh terlewatkan. Sebagaimana dikatakan oleh warga setempat, "belum ke Palembang kalau belum berfoto di Jembatan Ampera." Informasi terbaru juga mengungkap rencana untuk melengkapi Jembatan Ampera dengan lift sehingga pengunjung bisa naik ke atas menara jembatan untuk menikmati pemandangan kota Palembang secara keseluruhan. 

Bagi yang belum pernah mengunjungi Jembatan Ampera, jangan lewatkan kesempatan ini, dan bagi yang berencana berkunjung ke Palembang, jangan lupa mampir ke Jembatan Ampera dan abadikan momen berharga sebagai kenang-kenangan. Sampai jumpa di sesi sejarah setiap hari Senin dan Selasa. Terima kasih dan selamat menjelajahi pesona Palembang!

Share:

Terjemahan Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tentang Pembentukan Kabupaten Djember

Pembentukan Kabupaten Jember memiliki akar sejarah yang erat dengan masa pemerintahan Hindia Belanda. Tanggal 9 Agustus 1928, menjadi tonggak bersejarah ketika Staatsblad Nomor 322 diterbitkan, yang kemudian menjadi dasar penting bagi pendirian Kabupaten Jember. Dalam artikel ini, kami berupaya untuk menerjemahkan isi dari Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tersebut, mengungkap sejarah yang membentuk fondasi Kabupaten Jember.

Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 (Lembar 1)

Lembar 1 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Terjemahan

Terjemahan Lembar 1 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 (Lembar 2)

Lembar 2 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Terjemahan

Terjemahan Lembar 2 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 (Lembar 3)

Lembar 3 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Terjemahan

Terjemahan Lembar 3 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Staatsblad Nomor 322 Tahum 1928 (Lembar 4)

Lembar 4 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Terjemahan

Terjemahan Lembar 4 Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928.

Demikianlah terjemahan dari Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928, yang menjadi landasan bagi pembentukan Kabupaten Djember. Kami memohon maaf jika ada kesalahan, kekurangan, atau kekeliruan dalam terjemahan tersebut. Semoga artikel ini bermanfaat dan kami berharap dapat bertemu kembali dalam artikel-artikel berikutnya. Terima kasih.

Share:

Hari Jadi Kabupaten Jember ke-94: Memperingati Perjalanan Panjang Menuju Kemajuan

Peta Kabupaten Jember. (sumber: pinhome.id)

Pada tanggal 1 Januari 2023, Kabupaten Jember merayakan hari jadi ke-94 sebagai sebuah entitas pemerintahan yang mandiri. Perayaan ini bukan hanya sebuah momen bersejarah bagi masyarakat Jember, tetapi juga merupakan kesempatan untuk merenungkan perjalanan panjang dan prestasi yang telah dicapai dalam hampir satu abad keberadaannya sebagai kabupaten yang berkembang pesat di Provinsi Jawa Timur.

Sejarah Singkat Kabupaten Jember

Kabupaten Jember secara resmi dibentuk pada tahun 1928, berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda. Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan yuridis konstitusional dan pertimbangan politik sosial. Kabupaten ini awalnya merupakan bagian dari Regenschap Djember dan memiliki tanggungan utang kepada pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1941, wilayah Regenschap Djember dibagi menjadi 25 Onderdistrik oleh pemerintah Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, Kabupaten Jember terus berkembang dan menjadi salah satu kabupaten terbesar di Provinsi Jawa Timur.

Perkembangan dan Pencapaian Kabupaten Jember

Selama 94 tahun keberadaannya, Kabupaten Jember telah mencapai berbagai pencapaian yang membanggakan. Di sektor pertanian, Jember dikenal dengan produksi tembakau Madura yang berkualitas tinggi. Selain itu, pertanian lain seperti kopi, coklat, dan perkebunan buah juga menjadi salah satu sumber pendapatan utama masyarakat setempat.

Pariwisata juga menjadi sektor yang semakin berkembang di Kabupaten Jember. Keindahan alamnya yang luar biasa, mulai dari perbukitan, pantai-pantai eksotis, hingga Taman Nasional Meru Betiri, menjadikan Jember sebagai tujuan wisata yang menarik. Festival tahunan seperti "Jember Fashion Carnival" telah menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Di bidang pendidikan, Kabupaten Jember memiliki sejumlah perguruan tinggi dan sekolah berkualitas. Hal ini memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan berkontribusi pada perkembangan daerah.

Perayaan Hari Jadi Kabupaten Jember ke-94

Perayaan hari jadi Kabupaten Jember ke-94 tentu saja akan menjadi momen yang penuh makna. Meskipun mungkin perayaan ini akan diwarnai oleh berbagai kegiatan yang menghormati protokol kesehatan akibat situasi pandemi global, semangat perayaan tidak akan pudar.

Masyarakat Jember, pemerintah daerah, dan berbagai pihak terlibat dalam berbagai kegiatan peringatan. Ini termasuk upacara bendera, pawai budaya, lomba-lomba tradisional, dan kegiatan sosial yang bertujuan untuk memperkuat solidaritas masyarakat setempat.

Perayaan ini juga menjadi waktu yang tepat bagi pemerintah daerah untuk merenungkan pencapaian yang telah dicapai, serta merumuskan visi dan misi untuk masa depan yang lebih cerah. Bagaimanapun, Kabupaten Jember terus berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya dan berperan aktif dalam pembangunan nasional.

Menatap Masa Depan Bersama

Sebagai salah satu kabupaten yang berkembang pesat di Jawa Timur, Kabupaten Jember memiliki potensi besar untuk terus tumbuh dan berkembang. Dengan semangat gotong royong dan kerja keras, masyarakat Jember dapat mengatasi berbagai tantangan di masa depan dan menjadikan kabupaten ini sebagai tempat yang lebih baik untuk semua penduduknya.

Hari jadi ke-94 Kabupaten Jember adalah pengingat akan sejarah panjang dan prestasi luar biasa yang telah dicapai. Ini juga adalah momen untuk menatap masa depan dengan harapan dan tekad yang kuat untuk mewujudkan impian bersama. Selamat ulang tahun, Kabupaten Jember! Semoga semakin maju dan sukses dalam setiap langkahnya menuju masa depan yang cerah.

Share:

Kabupaten Jember: Sejarah, Asal-usul Nama, dan Perkembangannya

Lambang Kabupaten Jember. (sumber: Wikipedia)

Kabupaten Jember, yang terletak di sisi timur-selatan pulau Jawa, adalah salah satu kabupaten yang menawan di Provinsi Jawa Timur. Wilayahnya yang berada di lereng Pegunungan Yang dan Gunung Argopura memberikan keindahan alam yang luar biasa. Tidak hanya itu, bagian selatan kabupaten ini juga berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, memberikan pesona pesisir yang menakjubkan. Kabupaten Jember terdiri dari 31 kecamatan, 22 kelurahan, dan 226 desa, serta mencakup Taman Nasional Meru Betiri, yang merupakan surga bagi para pecinta alam.

Asal-usul Nama Jember: Legenda dan Kisah Raja Hayam Wuruk

Asal-usul nama Jember sendiri menjadi misteri yang belum dapat dipastikan secara pasti. Namun, ada beberapa versi yang berkembang di masyarakat terkait dengan asal-usul nama Jember.

Versi pertama berkaitan dengan cerita legenda tentang seorang puteri bernama Jembersari. Dikisahkan ada sebuah kampung nelayan yang dipimpin oleh seorang kepala kampung. Kepala kampung ini memiliki seorang anak perempuan yang cantik bernama Jembersari. Suatu hari, kampung tersebut diserang oleh sekelompok penjahat, dan pertempuran tak dapat dihindarkan. Para pengungsi, termasuk Putri Jembersari, berdiam di suatu daerah dan menetap di sana. Putri Jembersari kemudian memimpin perkampungan baru tersebut dengan nama Endang Ratnawati. Namun, pada suatu hari, ia dan para pengawalnya tewas dalam suatu pertempuran. Masyarakat setempat kemudian menguburkannya dengan mengenang jasa-jasanya, dan saat itulah mereka menyadari bahwa nama kecilnya adalah Putri Jembersari. Untuk menghormati pemimpin mereka, masyarakat kemudian menamai daerah tersebut dengan nama Jember.

Versi kedua berkaitan dengan kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Ketika Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke daerah Puger, ia mengalami kesulitan karena jalanan becek. Dalam bahasa Jawa, ia dan rombongan mengucapkan kata "jembrek," yang berarti becek. Sejak saat itu, daerah Puger dikenal dengan nama Jember.

Sejarah Pembentukan Kabupaten Jember

Sejarah Kabupaten Jember dimulai dari keputusan pemerintah Hindia Belanda yang mengatur ulang pemerintahan di Jawa Timur. Pada tanggal 9 Agustus 1928, terbitlah Staatsblad Nomor 322 yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Jember. Keputusan ini didasarkan pada dua alasan utama, yaitu pertimbangan yuridis konstitusional dan pertimbangan politik sosial.

Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tentang Dasar Pembentukan Kab. Jember (Lembar 1)
Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tentang Dasar Pembentukan Kab. Jember (Lembar 2)
Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tentang Dasar Pembentukan Kab. Jember (Lembar 3)
Staatsblad Nomor 322 Tahun 1928 tentang Dasar Pembentukan Kab. Jember (Lembar 4)

Pada awalnya, daerah ini sudah dibebani utang dan bunganya, menjadi tanggungan Regenschap Djember kepada Hindia Belanda. Kemudian, pada tahun 1941, wilayah Regenschap Djember dibagi menjadi 25 Onderdistrik oleh Belanda. Setelah Indonesia merdeka, melalui UU 12/1950, pemerintah pusat secara resmi membentuk Kabupaten Jember bersama dengan beberapa kabupaten lain sebagai bagian dari Provinsi Jawa Timur.

Lembar 1 UU No. 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Pemerintahan Daerah Kabupaten di Djawa Timur.

Kabupaten Jember, dengan sejarahnya yang kaya dan alam yang indah, terus menjadi salah satu destinasi yang menarik di Jawa Timur. Dengan asal-usul nama yang unik dan beragam, Jember menjadi tempat yang memadukan budaya dan alam dengan harmoni yang mengagumkan.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer