Masjid Besar Al-Mahmudiyah, juga dikenal dengan nama Masjid Suro, adalah salah satu masjid tertua di kota Palembang, Sumatra Selatan. Sejarah panjang masjid ini dimulai pada tahun 1889 ketika seorang ulama besar, KH Abdurahman Delamat, yang akrab disapa Ki Delamat, memulai pembangunan masjid ini di atas tanah wakaf milik Kiai Kiagus H Khotib Mahmud. Pembangunan masjid ini selesai dua tahun kemudian, pada tahun 1891.
Nama asli masjid ini adalah Masjid Suro, tetapi kemudian diusulkan oleh Kiagus H. Matjik Rosad, cucu dari Kiagus H Khotib Mahmud, untuk menggantinya menjadi Al-Mahmudiyah. Nama ini kemudian diterima dan digunakan hingga sekarang.
Pada awalnya, masjid ini menjadi pusat penting bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat untuk menimba ilmu agama kepada Kiai Delamat. Namun, masa kolonial Belanda pada saat itu menimbulkan kendala besar. Pemerintah kolonial tidak ingin masjid ini digunakan sebagai tempat penyebaran dakwah Islam karena khawatir akan memicu perlawanan masyarakat Palembang terhadap pemerintah kolonial.
Akibatnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Tuan Residen Belanda dan diperintahkan untuk tidak lagi menyebarkan Islam. Bahkan, shalat Jumat pun dilarang diselenggarakan di masjid ini. Kiai Delamat akhirnya diusir dari kota Palembang dan menjalani kehidupan di Dusun Sarika hingga wafat. Ia dimakamkan di Masjid Babat Toman.
Namun, anak-anaknya, yaitu KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, bersama masyarakat setempat, berusaha untuk mengembalikan jenazah Kiai Delamat ke Palembang. Mereka berencana untuk menguburkannya di belakang mimbar khatib masjid. Namun, upaya ini tidak disetujui oleh Tuan Residen Belanda. Akhirnya, jenazah Kiai Delamat dipindahkan ke Pemakaman Jambangan, di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.
Selama masa penjajahan Belanda, Masjid Suro mengalami masa sulit. Masjid ini dibongkar dan dilarang digunakan sebagai tempat ibadah selama lebih dari tiga dekade, tepatnya 36 tahun. Setelah kepengurusan masjid diserahkan kepada Kiai Kgs. H. Mahmud Usman, atau lebih dikenal sebagai Kiai Khotib, nama masjid ini diubah menjadi Masjid Al-Mahmudiyah sesuai dengan nama pengurusnya.
Pada tahun 1919, pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir berkumpul untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru. Inisiatif ini datang dari Kiai Kiemas H. Syekh Zahri, yang memimpin pembentukan kepengurusan baru. Di bawah kepemimpinan Kgs H.M. Ali Mahmud, pada tahun 1920, masjid ini mulai dibongkar untuk direnovasi. Pada tahun 1925, sebuah menara masjid dibangun, dan yang lebih penting lagi, shalat Jumat diperbolehkan kembali oleh Tuan Residen Belanda.
Salah satu tradisi yang dijaga di Masjid Besar Al-Mahmudiyah adalah membagikan bubur daging kepada orang yang berbuka puasa di masjid dan kepada warga sekitar. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan terus dilakukan hingga sekarang. Setiap bulan puasa, pengurus masjid membuat bubur daging yang disediakan untuk jamaah masjid dan masyarakat sekitar. Ini adalah salah satu cara bagaimana masjid ini menjaga warisan sejarah dan tradisi yang berharga bagi masyarakat Palembang.