Tugu Pertempuran Lima Hari Lima Malam: Mengenang Perjuangan dan Kemerdekaan di Palembang

Tugu peringatan Perang 5 Hari 5 Malam yang terjadi di kota Palembang. (sumber: rmolsumsel.id)

Di tengah hiruk-pikuk kota Palembang, tepatnya di kawasan 16 Ilir, berdiri sebuah tugu yang penuh makna sejarah. Tugu ini diberi nama Tugu Pertempuran Lima Hari Lima Malam, sebuah monumen yang mengenang peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lokasinya berada di samping Jembatan Ampera, dan saat ini, tugu tersebut menyatu dengan Stasiun LRT Sumsel Ampera.

Tugu peringatan Perang 5 Hari 5 Malam yang terjadi di kota Palembang. (sumber: sumeks.disway.id)

Pentingnya Peringatan Pertempuran Lima Hari Lima Malam

Peringatan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang adalah momen untuk mengenang dan memahami peristiwa bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini adalah salah satu bentuk perlawanan gigih pasukan Indonesia terhadap serangan pasukan Belanda. Peristiwa berlangsung selama lima hari berturut-turut, tepatnya dari tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.

Dalam peringatan ini, masyarakat Palembang dan sekitarnya berkumpul untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan yang berjuang dalam pertempuran tersebut. Acara peringatan dilaksanakan selama lima hari, dimulai pada tanggal 1 Januari 2023 hingga 5 Januari 2023. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengisi peringatan ini dengan makna yang mendalam.

Agenda Peringatan Pertempuran Lima Hari Lima Malam

Sejumlah agenda dan kegiatan menarik diadakan selama peringatan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Teaterikal Sejarah: Di Bundaran Air Mancur Kota Palembang, digelar pertunjukan teaterikal yang mengisahkan perjuangan tentara Indonesia melawan pasukan Belanda selama pertempuran Lima Hari Lima Malam. Ini adalah cara yang sangat efektif untuk memahami peristiwa bersejarah tersebut secara lebih mendalam.
  2. Pameran Alutsista dan Barang Antik: Pameran alutsista (alat utama sistem persenjataan) dan barang antik menjadi daya tarik lain dalam peringatan ini. Pengunjung dapat melihat berbagai peralatan militer dan barang-barang bersejarah yang terkait dengan peristiwa tersebut.
  3. Bazar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Sebagai bagian dari peringatan, bazar diadakan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ada di Kota Palembang. Ini adalah kesempatan bagi pelaku UMKM untuk mempromosikan produk-produk mereka kepada masyarakat.
  4. Lokasi Kegiatan: Teaterikal diadakan di Bundaran Air Mancur Palembang, sementara pameran dan kegiatan lainnya berlangsung di halaman Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) di Jalan Merdeka, Kota Palembang.

Peringatan Pertempuran Lima Hari Lima Malam adalah saat yang tepat untuk mengenang perjuangan pahlawan kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Melalui berbagai kegiatan ini, nilai-nilai sejarah dan patriotisme terus ditanamkan kepada generasi muda agar mereka menghargai dan menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita.

Share:

Museum Tekstil Sumatera Selatan: Bangunan Bersejarah Bergaya Kolonial di Palembang

Museum Tekstil Sumatera Selatan. (sumber: beritasatu.com)

Jl. Merdeka No 9, Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang, memiliki sebuah bangunan bersejarah yang berwarna putih. Arsitektur bangunan ini dengan jelas mencerminkan era kolonial Belanda yang sudah lama berlalu. Kini, bangunan tersebut menjadi Museum Tekstil Sumatera Selatan (Sumsel), yang mengoleksi segala hal yang berhubungan dengan sejarah pakaian dan tekstil di Sumsel.

Bangunan museum ini terletak di tengah-tengah pusat Kota Palembang dan berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi. Konstruksinya dimulai pada tahun 1883. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, bangunan ini digunakan sebagai Kantor Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Sumatera Bagian Selatan.

Namun, setelah Indonesia merdeka dan penjajah Belanda pergi, bangunan ini menjadi aset Pemerintah Provinsi Sumsel. Selama bertahun-tahun, bangunan ini telah berfungsi sebagai kantor berbagai instansi pemerintahan, termasuk Kantor Inspektorat Kehakiman, Rumah Dinas Kejaksaan Tinggi Sumsel, Rumah Dinas Ketua DPRD Sumsel, dan Kantor Pembantu Gubernur Sumsel. Pada beberapa saat, gedung ini bahkan menjadi kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Palembang sementara menunggu pembangunan kantor mereka di Jl. Merdeka selesai.

Gedung Museum Tekstil Sumsel memiliki arsitektur campuran antara gaya Eropa klasik dan unsur-unsur bangunan Indonesia. Di depan gedung, terdapat sebuah meriam kuno yang menjadi salah satu peninggalan bersejarah. Sekitar bangunan, terdapat juga patung sepasang suami istri yang mengenakan pakaian adat Sumsel.

Museum ini terdiri dari dua bangunan utama. Yang pertama adalah bangunan yang digunakan sebagai museum dan tempat koleksi disimpan dan dipamerkan. Koleksi museum sebagian besar berfokus pada kain songket khas Palembang beserta alat tenunnya serta batik khas Palembang.

Bangunan kedua, yang lebih kecil, terletak di belakang gedung utama dan difungsikan sebagai sarana untuk membatik. 

Pada tahun 2011, bangunan ini sempat menjadi pusat perhatian karena ada rencana untuk mengubahnya menjadi hotel yang akan diberi nama Palembang Heritage Hotel. Namun, rencana ini mendapat penolakan keras dari seniman dan mahasiswa setempat. Akibatnya, rencana tersebut akhirnya dibatalkan.

Pemerintah Provinsi Sumsel kemudian secara resmi menjadikan bangunan Museum Tekstil sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan dan dirawat. Saat ini, bangunan ini sering digunakan untuk mengadakan pameran kebudayaan dan berbagai bazar. 

Museum Tekstil Sumatera Selatan adalah bukti hidup dari warisan kolonial Belanda yang masih memengaruhi kehidupan kota Palembang saat ini. Bangunan ini bukan hanya menjadi penjaga sejarah, tetapi juga tempat yang bermakna bagi warga Palembang dan pengunjungnya.

Share:

Lempok Durian: Kuliner Tradisional dari Pulau Sumatera yang Memikat Selera

Lempok durian adalah kuliner tradisional yang berasal dari Pulau Sumatera, dan akan menjadi fokus utama dalam artikel ini. Mari kita eksplorasi lebih lanjut mengenai kelezatan kuliner yang satu ini.

Lempok durian, makanan khas Sumatera. (sumber: www.wowkeren.com)

Lempok durian, juga dikenal sebagai dodol durian atau lempuk durian, dan dalam bahasa Tionghoa disebut (Hanzi: 榴槤粄; Hakka: Liu-lian-pan), merupakan salah satu varian lempok yang terbuat dari bahan utama durian. Kuliner ini sangat populer sebagai jajanan khas di berbagai daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera, seperti Bengkulu, Jambi, Bengkalis, Pekanbaru, Palembang, Bangka Belitung, Lampung, serta beberapa wilayah di Kalimantan seperti Pontianak dan Samarinda.

Di beberapa daerah, seperti di Ranah Minang, lempok durian sering dianggap mirip dengan dodol atau galamai. Meskipun ada persamaan, terdapat perbedaan utama antara keduanya. Lempok durian tidak mengandung tepung dalam bahan pembuatannya (kecuali varian lempuk dari Pekanbaru yang mungkin mengandung sedikit tepung). Bahan dasarnya hanya terdiri dari durian yang dicampur dengan gula merah. Sementara itu, dodol durian dibuat dengan mencampurkan durian, ketan, dan kelapa.

Lempok durian juga dikenal dan dapat ditemukan di Malaysia dan Brunei Darussalam, memperluas jejak kuliner ini di berbagai wilayah Asia Tenggara.

Lempok Durian Bengkalis

Pada awalnya, produksi lempok durian (atau dikenal sebagai lempuk durian di Bengkalis) dimulai sekitar tahun 1991 oleh seorang penduduk Kota Bengkalis yang dikenal dengan nama Selamat atau Ahok. Durian biasanya hanya musim dua tahun sekali, tetapi di luar musim tersebut, stok durian selalu tersedia di Kota Bengkalis. Ketersediaan durian yang berlimpah ini mengakibatkan harga durian menjadi sangat terjangkau. Oleh karena itu, muncul ide untuk meningkatkan nilai ekonomis durian dengan mengolahnya menjadi makanan yang mirip dengan dodol, yaitu lempok durian.

Produksi dan pemasaran lempok durian pada awalnya hanya berfokus di sekitar Kota Bengkalis dan daerah sekitarnya. Lempok durian dijual kepada toko-toko makanan. Kemudian, toko-toko ini mengemas produk tersebut dengan merek mereka sendiri dan memasarkannya kembali. Seiring berjalannya waktu, lempok durian mulai dikenal tidak hanya oleh penduduk Kota Bengkalis tetapi juga menyebar hingga ke kota-kota lain seperti Pekanbaru, Bengkulu, dan daerah-daerah lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa lempok durian telah berhasil meraih popularitas dan tersebar luas di beberapa kota di Indonesia, menjadi salah satu makanan ringan yang populer dan diakui di berbagai wilayah.

Cara Pembuatan

Proses pembuatan lempok durian sangat sederhana dan dapat dilakukan di rumah dalam skala kecil. Bahan-bahan yang diperlukan juga cukup minimal, yaitu durian, gula, dan sedikit garam. Durian yang digunakan hanya dagingnya saja. Gula yang digunakan dapat berupa gula merah (gula aren atau gula kelapa) atau gula pasir, dan gula berfungsi sebagai pengawet alami.

Penggunaan gula dan garam disesuaikan dengan kebutuhan, karena terkadang lempok dominan oleh daging durian. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut dicampur hingga menjadi adonan dan dimasukkan ke dalam kuali di atas api dengan intensitas sedang. Adonan ini terus diaduk hingga mencapai tekstur yang lembut dan kental. Proses ini memerlukan waktu sekitar 3-4 jam untuk menghasilkan lempok durian yang lezat.

Tanda kematangan lempok durian meliputi tekstur yang kenyal dan adonan yang tidak lengket di tangan. Setelah matang, adonan lempok durian harus didinginkan dengan mematikan api. Selanjutnya, adonan tersebut dikemas menggunakan berbagai jenis kemasan plastik dengan berbagai bentuk dan ukuran, sesuai dengan preferensi masing-masing.

Itulah rangkuman singkat mengenai lempok durian, salah satu kuliner khas dari Pulau Sumatera. Bagi yang ingin menikmati kelezatan lempok durian, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencoba mencari berbagai resep lempok durian dan mencobanya sendiri di rumah. Sampai jumpa pada artikel kuliner berikutnya!

Share:

Taman Kambang Iwak: Warisan Belanda yang Berfungsi Estetis dan Praktis di Palembang

Danau yang terdapat di Kambang Iwak Palembang. (sumber: indonesiakaya.com)

Taman-taman kota adalah bagian penting dari perkembangan perkotaan yang tidak hanya memiliki fungsi estetis untuk keindahan kota, tetapi juga fungsi praktis yang mendukung kehidupan sehari-hari warganya. Di seluruh Indonesia, termasuk Palembang, Sumatera Selatan, berbagai bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini menggabungkan kedua fungsi ini. Salah satunya adalah Taman Kambang Iwak, sebuah taman kota yang memiliki sejarah panjang dan berfungsi sebagai ruang hijau yang indah dan efisien.

Taman Kambang Iwak telah menjadi bagian dari kota Palembang sejak tahun 1900-an. Taman ini awalnya dibangun untuk digunakan oleh komunitas orang keturunan Belanda sebagai tempat olahraga. Salah satu ciri khasnya adalah adanya danau buatan di tengahnya. Namun, danau ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen penghias taman. Lebih dari itu, danau tersebut memiliki peran praktis yang penting, yaitu sebagai tempat penampungan air hujan, yang membantu mengurangi risiko banjir di daerah tersebut.

Taman Kambang Iwak Palembang. (sumber: indonesiakaya.com)

Secara harfiah, nama "Kambang Iwak" berasal dari bahasa lokal yang dapat diartikan sebagai "kolam ikan". Menggunakan danau sebagai kolam ikan memiliki makna mendalam, selain sebagai penghias taman dan penampung air hujan, ini juga mencerminkan cita-cita masyarakat Palembang untuk menjaga kebersihan danau dan melestarikannya. 

Lokasi Taman Kambang Iwak terletak antara Jalan Tasik dan Jalan Sutomo di Kota Palembang. Taman seluas sekitar 5 hektar ini terus diperbarui dengan berbagai fasilitas yang meningkatkan kenyamanan pengunjung. Fasilitas ini termasuk taman bermain anak, area duduk yang nyaman, keran air minum, hingga fasilitas hotspot gratis bagi mereka yang ingin mengakses internet sambil menikmati keindahan taman yang rindang.

Taman Kambang Iwak juga menjadi tempat ramai setiap akhir pekan. Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dari berbagai komunitas seperti komunitas musik, sepatu roda, skateboard, sepeda, tari, dan teater sering kali berkumpul di sini. Taman ini juga dilengkapi dengan jogging track, yang sangat cocok bagi mereka yang ingin berlari mengelilingi danau atau berolahraga di pagi atau sore hari.

Di tepian danau Taman Kambang Iwak, banyak tumbuhan trembesi dan pepohon rindang lainnya yang memberikan teduh dan keindahan alami. Dari atas pohon, sering kali terdengar kicauan burung yang menambah suasana damai taman ini. Di tengah danau, terdapat sebuah jembatan panjang sekitar 200 meter yang menghubungkan Jalan Tasik dan Jalan Sutomo. Pada malam hari, taman ini menawarkan pemandangan yang indah dengan adanya air pancuran di tengah danau, terutama ketika sorotan lampu menjadikannya lebih eksotis.

Taman Kambang Iwak adalah bukti konkret bahwa warisan Belanda di Indonesia tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga relevansi praktis dalam kehidupan kota saat ini. Fungsi ganda sebagai ruang hijau yang indah dan penampung air hujan yang efisien membuat taman ini menjadi aset berharga bagi Palembang dan warganya. Dengan perhatian terus-menerus untuk menjaga dan memelihara kebersihan dan keindahan taman ini, Taman Kambang Iwak akan tetap menjadi tempat istimewa bagi masyarakat Palembang dan pengunjungnya.

Share:

Pindang Tulang Iga Palembang: Cita Rasa Asam Pedas Khas Sumatera Selatan

Pindang tulang iga, sebuah hidangan kuliner tradisional yang berasal dari Kota Palembang, akan menjadi fokus utama dalam artikel ini. Mari kita jelajahi lebih lanjut tentang kelezatan kuliner yang satu ini.

Pindang tulang iga, makanan khas Palembang. (sumber: Youtube/Mona Rendra)

Sumatera Selatan dikenal dengan kekayaan kuliner yang memikat selera makan. Selain pempek Palembang yang terkenal hingga ke berbagai daerah di Indonesia, ada satu hidangan yang patut masuk dalam daftar kunjungan Anda ke Bumi Sriwijaya, yaitu pindang tulang iga. Nama kuliner ini saja sudah cukup unik, bukan?

Pindang tulang iga memiliki perbedaan mendasar dengan pindang yang umumnya dikenal di daerah lain, terutama di pulau Jawa. Pindang tulang adalah olahan dari daging sapi bagian iga yang disajikan dalam kuah pedas asam yang segar.

Sementara pindang dalam konteks umum adalah olahan ikan yang juga berfungsi sebagai metode pengawetan. Ikan direbus dan diberi garam agar dapat bertahan lebih lama. Pindang ini memiliki kadar garam yang rendah dan konsistensi yang tidak terlalu kering, sehingga pengawetannya tidak untuk jangka waktu yang sangat lama seperti ikan asin.

Tersedia juga varian pindang ikan yang ditambahkan rasa manis dengan campuran lengkuas dan bagian dalam batangnya. Pindang dapat dibuat dari ikan tawar atau ikan laut seperti tongkol.

Pindang tulang khas Palembang memiliki cita rasa asam yang begitu menyegarkan. Asamnya berasal dari penggunaan asam Jawa. Bumbu-bumbu lain yang turut digunakan antara lain lengkuas, serai, daun salam, tomat, kunyit, jahe, bawang putih dan merah, aram, dan gula pasir. Ada juga yang menambahkan kecap manis untuk memberikan sentuhan rasa manis pada hidangan ini.

Daging sapi, khususnya bagian iga, pertama-tama direbus hingga empuk sebelum dicampur dengan bumbu kasar dan halus. Bumbu seperti bawang, jahe, laos, kunyit, dan serai awalnya ditumis sebelum dimasukkan ke dalam kuah pindang.

Pindang tulang memiliki cita rasa unik yang menggabungkan unsur asam dan pedas, menjadi ciri khas kuliner khas Sumatera Selatan. Penggunaan kecap manis memberikan sentuhan manis dan warna gelap pada hidangan ini, sedangkan versi tanpa kecap cenderung berwarna kuning keemasan.

Demikianlah gambaran singkat mengenai pindang tulang iga, hidangan lezat yang berasal dari kota Palembang. Jika Anda ingin mencicipi kelezatannya, Anda bisa mencari penjual pindang tulang iga di daerah Anda atau bahkan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner selanjutnya!

Share:

Titik Nol Kilometer Palembang: Simbol Sejarah dan Kearifan Lokal

Prasasti titik nol kilometer Palembang. (sumber: fainun.com)

Konsep kilometer nol (km 0) atau titik nol kilometer digunakan di berbagai kota untuk menandakan suatu lokasi yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan geografi kota tersebut. Palembang, sebagai salah satu kota bersejarah di Indonesia, memiliki Titik 0 km yang berlokasi sangat strategis, yaitu tepat di dekat kaki Menara Masjid Agung Palembang, yang sekarang dikenal sebagai Masjid Agung Sultan Mahmud Badarauddin (SMB) I Jayo Wikromo.

Lokasi dan Simbolisme

Titik 0 km Palembang berada di lokasi yang sangat populer bagi warga Palembang, tepat di sekitar Menara Masjid Agung Palembang. Selain itu, ada beberapa wilayah penting yang berdekatan dengan Titik 0 km, termasuk Jalan Jenderal Sudirman dan Bundaran Air Mancur.

Posisi titik ini secara tepat berada di persimpangan Jalan Jenderal Sudirman dengan Jalan Merdeka. Untuk memudahkan identifikasi, sebuah patok beton sederhana berwarna hijau dengan prasasti yang mencantumkan koordinat geografis terpasang di lokasi ini, seperti berikut:

- Awal Jln. Jendral Sudirman KM: 0+000, S. 02' 59' 17.0", E. 104' 45' 39.7"

- Awal Jln. Riacudu, S. 02' 59' 17.0", E. 104' 45' 39.7"

Peran Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang, yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Sultan Mahmud Badarauddin (SMB) I Jayo Wikromo, terletak di Jalan Jenderal Sudirman Nomor I. Nama Jalan Jenderal Sudirman sendiri adalah nama jalan pertama yang secara resmi diberikan pada awal tahun 1950-an, menggantikan nama Jalan Tengkuruk. Jalan ini menjadi salah satu arteri utama di Kota Palembang dan memainkan peran penting dalam mobilitas dan kehidupan sehari-hari warga Palembang.

Bundaran Air Mancur

Di sekitar Titik 0 km Palembang, terdapat juga Bundaran Air Mancur yang memiliki sejarah dan perubahan desain yang menarik. Awalnya, bundaran ini dibangun sebagai bangunan beton dengan air mancur di tengahnya, yang mirip dengan air mancur di berbagai tempat di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, air mancur ini mengalami perubahan bentuk dengan menggunakan tembaga dan dikelilingi oleh ornamen prasasti yang mencantumkan 11 bendera negara-negara Asia Tenggara yang berpartisipasi dalam SEA Games tahun 2011 di Palembang.

Bundaran Air Mancur juga memiliki sejarah penting dalam pertumbuhan Palembang. Tempat ini menjadi saksi bisu peristiwa penting, termasuk pertempuran Lima Hari Lima Malam pada awal Januari 1947 dan berbagai aksi mahasiswa yang menyuarakan aspirasi rakyat.

Keindahan dan Pemandangan Sekitar

Titik 0 km Palembang menawarkan pemandangan yang memukau sekitar wilayahnya. Selain Masjid Agung dan Bundaran Air Mancur, pengunjung juga dapat menikmati pemandangan Jembatan Ampera, Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), serta lintasan Light Rail Transit (LRT) pertama di Indonesia beserta stasiun LRT-nya yang baru-baru ini dibangun.

Dengan menggabungkan sejarah yang kaya, simbolisme lokal, dan keindahan modern, Titik 0 km Palembang tidak hanya menjadi titik awal kota ini secara geografis, tetapi juga menjadi simbol kuat dari identitas dan kebanggaan warga Palembang.

Share:

Bundaran Air Mancur Palembang: Simbol Sejarah dan Keindahan Modern

Bundaran Air Mancur Palembang. (sumber: tripadvisor.co.id)

Bundaran Air Mancur di Kota Palembang adalah salah satu destinasi yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan yang datang ke kota ini. Meskipun sering digunakan sebagai tempat perputaran kendaraan, bundaran ini memiliki sejarah panjang yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan Kota Palembang.

Lokasi Strategis dan Simbolik

Bundaran Air Mancur terletak di titik nol Kota Palembang, yang bisa dilihat dengan jelas oleh pengunjung yang jeli. Di sini, terdapat tulisan "Jl Jenderal Sudirman KM: 0+000" dan di bawahnya tertulis "Jl Riacyudu". Lokasi bundaran ini sangat strategis, berada di perempatan Jl Jenderal Sudirman, Jl Mayjen HM Ryacudu (arah Seberang Ulu), Jl Merdeka, dan Jl Masjid Lama, yang semuanya merupakan jalan-jalan utama di Kota Palembang.

Dari Bundaran Air Mancur, pengunjung dapat melihat berbagai bangunan bersejarah dan landmark Kota Palembang, termasuk Masjid Agung Palembang, Jembatan Ampera, Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Kantor Wali Kota Palembang, Benteng Kuto Besak, dan Pasar 16 Ilir. Keberadaan bundaran ini memberikan pengalaman visual yang sangat memukau bagi siapa pun yang berada di sana.

Sejarah yang Menguatkan Identitas Kota

Bundaran Air Mancur telah menjadi bagian dari kota ini sejak tahun 1970-an. Pada awalnya, bundaran ini berbentuk tugu dengan ukuran sekitar 40x40 sentimeter dan dicat warna biru dengan huruf berwarna putih. Namun, perannya jauh lebih kuno lagi dalam sejarah Kota Palembang.

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, di tempat ini terdapat sebuah pelabuhan kecil yang digunakan untuk bersandar perahu-perahu yang menuju Masjid Agung Palembang. Pelabuhan ini dikenal dengan nama Tanggo Rajo dan sering digunakan oleh sultan dalam perjalanannya menuju masjid untuk menjalankan ibadah.

Peran dalam Perkembangan Kota

Selama masa Keresidenan Palembang, bundaran ini mengalami transformasi yang signifikan. Sungai Tengkuruk yang dahulu ada di sini ditimbun oleh Belanda, dan jalan pertama di Kota Palembang dibangun di atas bekas sungai ini. Ini menandai awal dari peran penting bundaran ini sebagai pusat aktivitas transportasi dan perdagangan di kota.

Pemugaran dan Keindahan Modern

Saati ini, Bundaran Air Mancur Palembang semakin menarik setelah melalui proses pemugaran. Air mancur ini akan mengeluarkan semburan air yang menghasilkan buliran embun ketika tertiup angin. Pada malam hari, bundaran ini akan berkilau dengan berbagai warna lampu hias yang membingkainya, menciptakan pemandangan yang memukau dan romantis bagi pengunjung.

Bundaran Air Mancur Palembang, dengan sejarahnya yang kaya dan keindahan modernnya yang memukau, tidak hanya menjadi tempat perputaran kendaraan, tetapi juga menjadi simbol kota yang mempertahankan akar sejarahnya sambil terus bertransformasi menjadi pusat kehidupan dan kebudayaan yang bersemangat. Bagi wisatawan yang datang ke Palembang, mengunjungi bundaran ini adalah salah satu pengalaman yang tidak boleh dilewatkan.

Share:

Kue Delapan Jam: Kuliner Tradisional Palembang yang Memikat Selera dengan Sejarah dan Ciri Khasnya

Kue delapan jam, makanan khas Palembang. (sumber: www.palembang.tribunnews.com)

Kue delapan jam, sebuah sajian kuliner tradisional yang berasal dari Kota Palembang, akan menjadi sorotan dalam artikel ini. Mari kita simak lebih lanjut mengenai kuliner yang menggugah selera ini.

Asal Usul

Kue ini, dikenal sebagai kue delapan jam, memiliki sejarah panjang di kawasan Sumatera Selatan, dengan Palembang sebagai salah satu tempat yang paling banyak menawarkannya. Awalnya, hidangan ini hanya tersedia untuk kelompok bangsawan, sedangkan masyarakat umumnya tidak berkesempatan untuk menikmatinya. Namun, saat ini, kue delapan jam telah menjadi lebih mudah diakses oleh semua kalangan. Meskipun demikian, kuliner ini tidak selalu tersedia kapan saja. Kue khas ini biasanya hanya dihidangkan dalam perayaan-perayaan besar.

Namanya, "Kue Delapan Jam," merujuk pada proses pembuatannya yang memakan waktu cukup lama. Kue ini memerlukan waktu sekitar delapan jam dalam proses pengukusan, yang menjadikannya semakin lembut dan lezat. Biasanya, setelah proses pengukusan, kue masih perlu dioven kembali, yang memperpanjang waktu pembuatannya. Proses pemanggangan di dalam oven berlangsung sekitar 15 menit dengan tujuan memberikan tekstur yang lembut dan memastikan kelezatan kue ini bertahan lama.

Ciri Khas

Banyak orang yang kini mulai tertarik untuk mencoba membuat kue delapan jam ini dengan harapan bisa menikmati kekhasan rasanya. Namun, perlu diingat bahwa hasil yang mereka buat mungkin tidak selezat yang pernah mereka nikmati dari kue yang dibuat oleh masyarakat asli Palembang. Ada ciri khusus yang menjadi penanda bahwa kue tersebut "setara" dengan yang dibuat oleh masyarakat aslinya. Salah satunya adalah warnanya yang lebih coklat dan tampak sangat padat. Warna coklat dan padat ini merupakan hasil dari pengolahan kue yang memakan waktu lebih dari 8 jam. Pengolahan yang lama ini membuat kue benar-benar matang sempurna.

Harapannya, warna coklat ini bukan karena gosong, melainkan menjadi warna yang pas dan mencirikan kekhasan rasa dari kue yang legit. Oleh karena itu, jika kamu ingin membuat atau membeli kue delapan jam, pastikan untuk memperhatikan warnanya. Selain itu, kepadatannya juga perlu dipertimbangkan.

Jika kue tersebut tidak memiliki warna yang coklat dan teksturnya kurang padat, kemungkinan proses pembuatannya tidak berjalan dengan sempurna. Biasanya, ciri-ciri seperti itu menandakan bahwa kue dibuat selama kurang dari 8 jam. Hal ini dapat berdampak pada cita rasa kue yang kurang legit dan ketahanannya untuk disimpan.

Demikianlah informasi singkat mengenai Kue Delapan Jam, salah satu kuliner yang berasal dari Kota Palembang. Jika Anda ingin mencoba kue delapan jam, Anda bisa mengunjungi para penjualnya di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep kue delapan jam dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Masjid Agung Palembang: Landmark Bersejarah dan Arsitektur yang Megah

Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo Palembang. (sumber: bimas.com)

Masjid Agung Palembang, atau dikenal juga sebagai Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, adalah salah satu mercusuar budaya dan keagamaan yang ikonik di Palembang, Sumatera Selatan. Terletak di Jalan Jenderal Sudirman, 19 Ilir, Bukit Kecil, Kota Palembang, masjid ini telah menjadi penanda penting dalam sejarah dan perkembangan kota ini.

Landmark dan Lokasi yang Strategis

Masjid Agung Palembang adalah masjid terbesar di kota ini dan memiliki lokasi yang sangat strategis. Terletak hanya sekitar 400 meter dari Jembatan Ampera, masjid ini menjadi salah satu titik orientasi penting bagi penduduk Palembang. Kawasan sekitar masjid, 19 Ilir, adalah salah satu kawasan asli yang telah lama dihuni oleh masyarakat Palembang dan komunitas Arab.

Sejarah Panjang yang Terawetkan

Sejarah Masjid Agung Palembang melibatkan banyak fase pembangunan dan renovasi. Awalnya, masjid ini dikenal sebagai Masjid Sultan, dan pembangunannya diperintahkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo pada abad ke-18. Pembangunan masjid ini memakan waktu 10 tahun, dimulai pada tahun 1738 hingga 1748. Masjid ini pertama kali diresmikan untuk tempat ibadah pada tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748, sehingga saat ini, masjid telah berusia 274 tahun.

Menara masjid, yang terletak di sebelah barat, baru dibangun sekitar 10 tahun setelah pembangunan masjid pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774). Menara ini memiliki pola segi enam dengan tinggi mencapai 20 meter. Menara ini memiliki arsitektur yang mencirikan pengaruh Tiongkok dengan atap melengkung pada bagian ujungnya dan atap genteng.

Renovasi yang Berkesan

Seiring berjalannya waktu dan beberapa peristiwa sejarah, Masjid Agung Palembang mengalami berbagai perombakan dan perbaikan. Pada tahun 1970, Pertamina mensponsori pembangunan menara baru yang memiliki tinggi mencapai 45 meter. Menara ini berdampingan dengan menara asli dengan gaya arsitektur Cina yang mencolok.

Pada tahun 2003, masa Gubernur Sumatera Selatan H. Rosihan Arsyad (1998-2003), dilakukan renovasi besar-besaran di masjid ini. Renovasi tidak hanya memperbaiki bangunan yang rusak tetapi juga menambahkan tiga bangunan baru di bagian utara, selatan, dan timur masjid. Arsitektur hasil renovasi ini mencerminkan pengaruh dari tiga budaya yang berbeda, yaitu Indonesia, Tiongkok, dan Eropa. Pintu masuk besar dan tinggi mencerminkan arsitektur Eropa, sementara atap yang mirip kelenteng mencerminkan pengaruh Tiongkok.

Peran Masjid dalam Kehidupan Kota

Masjid Agung Palembang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan keagamaan dan budaya. Selain digunakan untuk shalat, masjid ini juga menjadi tempat utama untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha, serta berbagai kegiatan Islami, seperti kajian Islam dan majelis taklim.

Meskipun banyak masjid modern dan besar telah dibangun di daerah lain di Indonesia, Masjid Agung Palembang tetap menjadi penanda penting dalam sejarah dan perkembangan kota ini. Keindahan arsitektur dan nilai sejarah yang terkandung di dalamnya menjadikannya salah satu tempat yang patut dikunjungi di Palembang.

Share:

Sejarah dan Peran Penting Kantor Pos Palembang

Kantor Pos Besar Jl. Merdeka tahun 1935. (sumber: Pos Indonesia)

Kantor Pos Palembang yang terletak di Jalan Merdeka, Kota Palembang, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perkembangan wilayah ini selama berabad-abad. Bangunan ini didirikan pada tahun 1928 oleh pemerintah Kolonial Belanda yang pada saat itu berkuasa di Indonesia.

Gedung Kantor Pos Palembang memiliki ciri khas arsitektur yang khas, dengan atap bergaya kubah yang serupa dengan banyak kantor pos dan Telkom di kota-kota lainnya. Ketika pertama kali didirikan, kantor ini menjadi pusat layanan "satu atap" yang menyediakan berbagai layanan, termasuk pos, telegram, dan telekomunikasi. Ini adalah solusi efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam komunikasi dan pengiriman surat.

Pada tahun 1942, ketika tentara Jepang menduduki Sumatera, organisasi Pos Telegrap dan Telepon (PTT) dibentuk dengan pusat di Singapura dan diberi nama Shonan (Ghunseikanbu). PTT memiliki cabang pusat di beberapa kota, termasuk Medan, yang melayani daerah Aceh, Tapanuli, dan Sumatera Timur, serta cabang di Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan di Sumsel, yang mencakup Palembang, Bengkulu, Lampung, Bangka, dan Belitung di bawah Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal POS dan Telekomunikasi.

Namun, pasukan Belanda mencoba merebut kembali kendali atas organisasi PTT ini dengan menghancurkan semua peralatan di Kantor Pos. Namun, Jepang berhasil mempertahankan organisasi ini dan memperbaiki kembali semua peralatan PTT yang rusak.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan memasuki era Orde Baru, status Kementrian Pos dan Telekomunikasi berubah menjadi Departemen Pos dan Telekomunikasi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 1966. Pada awalnya, Kantor Pos Palembang menghadapi banyak tantangan, dengan fasilitas yang tidak memadai dan banyak ruangan yang digunakan untuk penyewaan.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah pada awal era Orde Baru meningkatkan sarana dan prasarana dengan menambah sarana transportasi, baik roda dua maupun roda empat.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan waktu, Kantor Pos Palembang terus berbenah diri. Fasilitas, sarana, dan prasarana ditingkatkan sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun persaingan dalam bisnis jasa pengiriman semakin ketat, Kantor Pos Palembang tetap kokoh berdiri dan tetap menjadi pilihan masyarakat untuk mengirim surat dan paket barang lainnya.

Sejarah panjang Kantor Pos Palembang mencerminkan peran pentingnya dalam mendukung komunikasi dan layanan pos di wilayah ini. Bangunan bersejarah ini adalah saksi perkembangan Palembang selama bertahun-tahun dan tetap menjadi aset berharga bagi masyarakat.

Share:

Pindang Patin: Kuliner Khas Palembang yang Lezat dan Bersejarah

Pindang patin adalah salah satu kuliner khas yang berasal dari Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang hidangan yang lezat ini serta bagaimana cara membuatnya di rumah. Mari kita simak informasinya!

Pindang patin, makanan khas Palembang. (sumber: www.kompas.com)

Pindang Patin adalah salah satu hidangan khas Palembang yang telah mendapatkan popularitas yang tinggi dan menjadi favorit banyak orang. Sejarah makanan ini juga menarik, salah satu versi menyebutkan bahwa asal-usulnya dapat ditelusuri hingga zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada masa itu, ikan patin merupakan salah satu komoditas perdagangan yang diperdagangkan oleh pedagang dari Cina dan India.

Untuk menjaga agar ikan patin tetap segar selama perjalanan perdagangan, para pedagang ini memasak ikan patin dengan menggunakan bumbu pindang yang mengandung asam dan garam. Dari sinilah muncul nama "Pindang Patin". Hidangan ini terbuat dari ikan patin yang dimasak dengan bumbu pindang yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, cabai, gula merah, garam, dan asam jawa.

Biasanya, pindang patin disajikan dengan nasi putih dan sambal terasi yang pedas. Namun, versi lain menyatakan bahwa pindang patin merupakan hasil kreasi para ibu rumah tangga di Palembang yang ingin memberikan sentuhan berbeda dan lebih lezat pada hidangan ikan patin. Mereka memadukan bumbu pindang dengan santan kelapa untuk memberikan rasa gurih dan aroma yang menggugah selera. Dengan demikian, Pindang Patin menjadi hidangan yang tidak hanya lezat tetapi juga kaya akan rasa dan nutrisi.

Demikianlah informasi singkat mengenai pindang patin, salah satu kuliner khas dari Kota Palembang. Jika Anda ingin mencicipi kelezatan pindang patin, Anda dapat mengunjungi para penjualnya di daerah Anda atau mencari berbagai resep pindang patin dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Becak Cina (Rikshaw): Kenangan Kendaraan Tradisional di Palembang

Becak Cina (Rikshaw) di kawasan Pasar 16. (sumber: Tropen Museum)

Becak Cina, atau sering disebut juga Rikshaw, adalah kendaraan roda dua dengan atap dari kain atau kanvas yang mudah dilipat. Kendaraan ini ditarik oleh manusia, khususnya dari etnis Cina yang sering memiliki kuncir rambut panjang. Becak Cina menjadi bagian dari sejarah transportasi di Palembang, Sumatra Selatan, dengan penariknya umumnya berasal dari etnis Cina.

Pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang, orang Cina dianggap sebagai pendatang, dan mereka tinggal dalam kelompok di rumah-rumah rakit. Sebagai akibatnya, penarik becak, atau yang sering disebut sebagai "rikshaw," pada saat itu sebagian besar adalah orang Cina yang mungkin masih susah berbahasa Palembang. Orang Palembang sendiri sering menyebut mereka sebagai "sengkek" yang berarti "Cina dusun."

Salah satu informasi menarik adalah mengenai tarif penarikan rikshaw pada masa tersebut. Sebagai contoh, tarif dari Pasar 16 Ilir ke Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde) adalah hanya seringgit sen, setara dengan 1/40 Rupiah. Uang hasil pembayaran dari penumpang biasanya ditempatkan dalam kotak di bawah pijakan kaki penumpang. Namun, seringkali ada pemuda preman, yang disebut "bujang juaro" pada masa itu, yang mencuri uang tersebut tanpa sepengetahuan penarik rikshaw.

Kendaraan ini menjadi populer sekitar tahun 1920 hingga 1940-an sebagai salah satu sarana transportasi yang umum digunakan oleh orang Belanda dan orang pribumi yang "berada" pada masa itu. Namun, seiring perkembangan zaman, jenis transportasi ini perlahan menghilang dan digantikan oleh kendaraan lain yang lebih modern. Selain itu, juga muncul pertimbangan kemanusiaan terkait dengan penarik becak, yang mendorong penggantian dengan moda transportasi yang lebih baik.

Meskipun telah lama menghilang dari jalanan Palembang, Becak Cina atau Rikshaw tetap menjadi kenangan sejarah yang berharga, mengingat perannya dalam menghubungkan orang dengan berbagai tempat di kota tersebut pada masa lalu.

Share:

Angkutan Kota Palembang: Jejak Sejarah Transportasi Kota

Mobil ketek, angkot di kota Palembang pada masa nya. (sumber: bungeko.com)

Angkutan Kota, atau yang sering disebut angkot, adalah salah satu alat transportasi darat yang ikonik di Indonesia. Ini adalah kendaraan umum berukuran kecil yang mengangkut penumpang di dalam kota dengan rute tertentu. Di Kota Palembang, Sumatera Selatan, angkot memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perkembangan transportasi perkotaan di kawasan ini.

Pada sebelum tahun 1990, warga Kota Palembang sangat bergantung pada angkot sebagai alat transportasi utama. Pada masa itu, angkutan umum dalam kota masih sangat terbatas, dan beberapa daerah bahkan belum dijangkau oleh moda transportasi umum ini. Rute utama angkot di Palembang saat itu mencakup Lemabang, Bukit Besak, Tanggo Buntung, Kertapati, Plaju, Pakjo, KM 5, dan Sekip.

Sebelum adanya angkot, masyarakat Palembang tempo dulu mengandalkan transportasi sungai, yang pada zaman itu merupakan moda transportasi yang paling populer. Namun, perubahan ke transportasi darat terjadi karena perkembangan geografis kota dan penimbunan sungai-sungai di Palembang, yang menyebabkan penyempitan transportasi sungai.

Sampai akhirnya, setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, muncul transportasi darat yang dikenal dengan sebutan "opelet." Opelet sendiri merupakan singkatan dari merk mobil Opel dan Chevrolet. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa "opelet" adalah istilah untuk mobil yang mengangkut penumpang.

Kemudian, pada awal tahun 1990-an, muncullah istilah "angkot," yang secara resmi digunakan pada tahun 1991 hingga 1992 di Palembang. Meskipun istilah "angkot" lebih akrab di telinga masyarakat saat ini, sebagian orang tua di Palembang masih menggunakan istilah "opelet" yang lebih dikenal dalam sejarah transportasi kota ini.

Pada masa sebelum tahun 1990, setiap angkot sering memiliki nama yang berbeda tergantung pada pemiliknya. Namun, setelah itu, sistem penamaan angkot diubah menjadi menggunakan nomor pada setiap mobil.

Menurut cerita orang tua di Palembang, rute opelet sudah ada sejak tahun 1960, dengan rute dari 16 Ilir ke Bukit, sebelum adanya Jembatan Ampera. Setelah Jembatan Ampera selesai dibangun pada tahun 1965, kawasan di bawahnya dijadikan sebagai terminal opelet dengan berbagai rute.

Mobil angkutan umum pertama kali yang digunakan disebut "mobil ketek" karena mesinnya mirip dengan perahu ketek. Mobil ini juga dihidupkan dengan cara diengkol seperti sepeda motor, bukan dengan starter mesin. Mobil ketek memiliki tiga pintu, dua di bagian depan dan satu di tengah. Penumpang opelet di masa itu duduk berhadapan. Kapasitas penumpangnya lebih dari enam orang, dengan empat orang di belakang dan dua hingga tiga orang di depan.

Rute opelet di Palembang ditetapkan setelah Kemerdekaan RI, dan sebagian besar berjarak sekitar 5 kilometer dari Jembatan Ampera, merujuk pada lokasi pasar seperti Pasar Sekip, Lemabang, Palimo, dan Tanggo Buntung.

Sejarah transportasi kota di Palembang mencerminkan evolusi perkembangan kota itu sendiri. Dari transportasi sungai ke darat, dari "opelet" ke "angkot," setiap tahap menggambarkan bagaimana masyarakat Palembang beradaptasi dengan perubahan dalam kehidupan perkotaan.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer