Menikmati Kelezatan Lapis Pati Bodin: Kuliner Tradisional dari Jepara, Jawa Tengah

Pada artikel kali ini, kami akan membahas kuliner tradisional yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Kuliner yang akan menjadi fokus pembahasan kami adalah lapis pati bodin Jepara. Mari kita eksplorasi lebih lanjut mengenai hidangan ini.

Kue lapis pati bodin, makanan khas Jepara. (sumber: www.sajiansedap.grid.id)

Lapis pati bodin, hidangan tradisional asli dari Jepara, Jawa Tengah, menjadi pusat perhatian dalam artikel ini. Kue ini memiliki karakteristik khusus yang harus diperhatikan saat disajikan. Potongan-potongan lapis pati bodin Jepara harus benar-benar dingin saat dipotong, karena jika tidak, kue ini dapat menjadi rusak.

Untuk membuat kue ini, Anda akan memerlukan santan, tepung kanji, tepung beras, gula pasir, garam, air daun suji, dan pewarna makanan merah. Proses pembuatan dimulai dengan merebus santan hingga mendidih, lalu menambahkan tepung kanji, tepung beras, gula, dan garam ke dalamnya. Campuran ini kemudian didiamkan hingga suhunya turun. Adonan kemudian dibagi menjadi tiga bagian: satu bagian diberi air daun suji untuk memberikan warna hijau, sementara adonan lainnya tetap putih. Adonan ketiga diberi pewarna merah.

Kemudian, adonan dikukus dalam loyang yang telah diolesi dengan minyak goreng dan dilapisi plastik. Pembentukan lapisan pada kue dilakukan secara bertahap dengan menuang adonan hijau dan putih secara bergantian. Adonan berwarna merah dituangkan paling akhir pada lapisan paling atas. Proses ini menghasilkan lapisan yang berwarna-warni dan khas dari lapis pati bodin Jepara.

Terima kasih telah membaca artikel ini mengenai kue lapis pati bodin, sebuah hidangan tradisional yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Jika Anda ingin mencicipi kue lapis pati bodin ini, Anda dapat mencarinya di penjual kue lapis di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda dapat mencari berbagai resep kue lapis pati bodin dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Monumen Nasional (Monas): Simbol Perjuangan dan Kemerdekaan Indonesia

Monumen Nasional. (sumber: iwarebatik.org)

Monumen Nasional (Monas), yang secara resmi dikenal sebagai Tugu Monas, adalah monumen peringatan yang tingginya mencapai 132 meter (433 kaki) dan terletak di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Indonesia. Monas didirikan untuk memperingati perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda. Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 atas perintah Presiden Soekarno dan diresmikan untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Rancangan Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi, yaitu Lingga dan Yoni. Obelisk yang menjulang tinggi adalah Lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan negatif serta melambangkan malam hari. Lingga dan Yoni adalah lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi dalam budaya Indonesia.

Monas terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17 meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia. Di sekitar Monas, terdapat taman, dua buah kolam, dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Di kompleks Monumen Nasional juga terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia yang berada di bagian dasar monumen. Museum ini menampilkan 51 diorama yang menggambarkan sejarah Indonesia mulai dari masa pra-sejarah hingga masa Orde Baru.

Di dalam monumen, terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater yang menyimpan simbol-simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ruangan ini digunakan sebagai tempat mengheningkan cipta dan meditasi mengenang kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia.

Pengunjung dapat naik ke pelataran puncak Monas menggunakan lift, di mana mereka dapat menikmati panorama Jakarta dari ketinggian 115 meter. Di puncak Monas, terdapat lidah api atau obor yang dilapisi dengan emas, yang melambangkan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Lidah api ini juga dikenal sebagai "Api Nan Tak Kunjung Padam" dan merupakan salah satu ikon Monas.

Monumen Nasional dapat dicapai dengan berbagai jenis transportasi umum, termasuk bus Transjakarta, kereta komuter KAI Stasiun Gambir, dan dalam waktu dekat, juga akan dapat dijangkau melalui MRT Jakarta Jalur Utara-Selatan Fase 2 yang masih dalam konstruksi.

Monumen Nasional merupakan salah satu tempat bersejarah yang penting di Indonesia dan menjadi simbol perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Share:

Kue Lapis: Eksplorasi Lezat Kuliner Tradisional Indonesia

Selamat datang, para pembaca setia Inkarnasi Kata! Artikel ini akan membawa Anda untuk menjelajahi sebuah hidangan kuliner tradisional yang berasal dari Indonesia, yaitu kue lapis. Mari kita lanjutkan untuk mengungkap lebih banyak tentang hidangan yang lezat ini.

Kue lapis, makanan khas Indonesia. (sumber: www.kompas.com)

Kue lapis adalah makanan khas Indonesia yang terkenal dengan penampilannya yang berlapis-lapis, sesuai dengan namanya. Hidangan ini terbuat dari campuran tepung beras, tepung kanji, santan, gula pasir, garam, dan pewarna, jika diperlukan. Proses pembuatannya melibatkan pengukusan setiap lapisan kue sebelum lapisan berikutnya ditambahkan. Kue lapis ini dapat dengan mudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di pasar tradisional dan toko jajanan tradisional. Kue khas Indonesia ini telah menjadi legenda dalam dunia camilan dan sering menjadi salah satu hidangan takjil yang populer.

Pewarna yang digunakan dalam kue lapis bisa berasal dari pewarna makanan buatan atau pewarna alami. Beberapa pewarna yang sering digunakan antara lain pandan (hijau) dan sirup bunga mawar (merah). Kue ini memiliki tekstur yang lembut dan kenyal, terutama karena adanya tepung kanji dalam komposisinya. Biasanya, kue ini dinikmati sebagai camilan santai.

Terdapat dua jenis kue lapis berdasarkan cara pembuatannya. Pertama, ada yang lapisannya dibuat langsung selama proses memasak dalam satu loyang, seperti kue pepe' dan kue lapis legit. Kedua, ada yang lapisannya disatukan di luar loyang, seperti kue lapis surabaya dan kue lapis moka vla.

Demikianlah ringkasan tentang kue lapis, hidangan tradisional Indonesia yang kaya akan lapisan dan rasa. Bagi yang ingin menikmati kue lapis ini, Anda dapat mencarinya pada pedagang kue lapis di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep kue lapis dan mencoba membuatnya sendiri. Terima kasih telah membaca artikel kuliner tradisional ini, sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Tugu Parameswara Jakabaring: Simbol Sejarah dan Keindahan Kota Palembang

Tugu Parameswara. (sumber: Instagram @yaman_bie)

Tugu Parameswara Jakabaring, yang menjulang kokoh di Jakabaring Sport City, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, adalah salah satu ikon kota ini. Tugu ini memiliki makna sejarah yang mendalam dan menjadi gerbang utama menuju kawasan Jakabaring Sport City. Berikut adalah beberapa informasi penting mengenai Tugu Parameswara:

Desain dan Pembangunan Tugu Parameswara

Tugu Parameswara dirancang oleh seorang seniman bernama Rita Widagdo. Tugu ini memiliki bentuk menyerupai pelepah daun pisang, yang umumnya banyak ditemui di Pulau Sumatera. Pembangunan tugu ini dimulai pada tahun 2004, seiring dengan pembangunan kawasan olahraga Jakabaring.

Makna Tugu Parameswara

Tugu Parameswara memiliki makna mendalam sebagai simbol pemersatu adat budaya Melayu, khususnya negara-negara di wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, hingga Brunei Darussalam. Konon, nenek moyang masyarakat Melayu berasal dari Kota Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan. Mereka berasal dari keturunan Raja Melayu pertama, yaitu Parameswara, seorang panglima perang dari Kerajaan Sriwijaya yang merupakan keturunan Bukit Siguntang. Setelah memeluk agama Islam dan meninggalkan Palembang, Parameswara mendirikan Kesultanan Malaka dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Pencapaiannya terkenal hingga ke seluruh negara di Asia Tenggara.

Lokasi dan Akses

Tugu Parameswara berada tidak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapainya dari daerah Ilir Kota Palembang, Anda dapat melintasi Jembatan Ampera dan terus berjalan lurus. Setelah melintasi satu jembatan flyover, sekitar 2 kilometer kemudian Anda akan sampai di Tugu Parameswara Jakabaring. Tugu ini juga berdekatan dengan beberapa universitas seperti Universitas Muhammadiyah Palembang dan Universitas PGRI Palembang.

Fungsi Tugu Parameswara

Tugu Parameswara Jakabaring memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan sehari-hari warga Kota Palembang. Pada pagi hari, tugu ini digunakan sebagai tempat berolahraga bagi masyarakat setempat. Sementara menjelang sore hingga malam hari, Tugu Parameswara menjadi tempat rekreasi dan berswafoto bersama keluarga. Di sekitarnya, Anda juga dapat menemukan pedagang makanan seperti jagung bakar.

Keindahan Malam dan Keamanan

Tugu Parameswara saat malam hari. (sumber: Wikimapia.org)

Tugu Parameswara Jakabaring telah diperindah dengan taman, air mancur, dan permainan lampu-lampu hias. Hal ini menghilangkan kesan angker dan meningkatkan keamanan di sekitar kawasan Jakabaring. Pada malam hari, tugu ini terlihat semakin memukau berkat lampu-lampu hias yang menghiasi area sekitarnya.

Tugu Parameswara Jakabaring bukan hanya sebuah monumen bersejarah, tetapi juga menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Kota Palembang. Keindahan dan makna historisnya membuatnya menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi saat berada di kota ini, baik oleh wisatawan lokal maupun internasional.

Share:

Asal Usul Nama Jakabaring: Jejak Sejarah Kota Palembang yang Jarang Diketahui

Tugu Parameswara yang terletak di kawasan Jakabaring. (sumber: Facebook KataKita)

Ketika kita mendengar kata "Jakabaring," pikiran kita mungkin segera terhubung dengan kompleks olahraga yang terkenal, Jakabaring Sport City, di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Namun, di balik nama yang terkenal ini, tersimpan sebuah cerita yang mungkin belum banyak diketahui oleh orang banyak. Bagaimana sebenarnya asal usul nama Jakabaring?

Awalnya, wilayah Jakabaring hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Seberang Ulu (SU) I dan SU II. Namun, setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut, ternyata nama Jakabaring tidak memiliki hubungan dengan seorang pahlawan atau toko setempat seperti yang mungkin kita kira.

Nama Jakabaring ternyata adalah singkatan dari empat suku, yaitu "Ja" yang berasal dari "Jawa," "Ka" yang merupakan sebutan untuk orang Semendo, "Ba" yang berasal dari "Batak," dan "Ring" yang mengacu pada sungai Komering. Pada saat itu, keempat suku ini merupakan kelompok yang paling banyak mendiami daerah Jakabaring.

Saat melihat Jakabaring seperti yang kita kenal sekarang, mungkin sulit membayangkan bahwa daerah ini dulunya adalah rawa yang luas. Namun, melalui pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur, kawasan Jakabaring telah berkembang menjadi area yang tertata dengan baik dan terkenal tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional.

Sejarah nama Jakabaring mengungkapkan jejak multikultural dan multietnis yang ada di Kota Palembang. Nama ini mencerminkan keberagaman budaya dan sejarah yang menjadi bagian integral dari identitas kota ini.

Share:

Jelajahi Kelezatan Wajik: Kuliner Tradisional dari Jawa Tengah dan Jawa Timur

Halo kepada semua pembaca Inkarnasi Kata, dalam artikel ini, kami akan membawa Anda untuk menjelajahi kuliner tradisional yang berakar dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kuliner yang akan kami bahas kali ini adalah wajik. Mari kita lanjutkan dan temukan lebih banyak tentang hidangan yang lezat ini.

Wajik, makanan khas Jawa Tengah dan Jawa Timur. (sumber: www.kompas.com)

Wajik adalah makanan tradisional yang sangat khas dalam upacara pernikahan adat Jawa, terbuat dari bahan dasar berupa beras ketan, santan kelapa, dan gula merah. Hidangan yang telah ada sejak zaman Majapahit ini menjadi salah satu jajanan klasik yang sangat terkenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun berbagai daerah memiliki sebutan berbeda untuk hidangan ini, nama "wajik" lebih dikenal di Pulau Jawa.

Di Sumatera, hidangan serupa dengan wajik disebut "pulut manis." Wajik yang dibuat dari ketan juga sering disebut sebagai "ketan wajik." Selain variasi sebutan, Indonesia memiliki berbagai jenis wajik. Salah satu yang paling terkenal adalah "wajik ketan," yang berasal dari beras ketan. Meskipun wajik ketan sangat populer di seluruh Indonesia, makanan ini juga mendapat pengakuan sebagai hidangan khas di negara-negara tetangga Indonesia.

Wajik Ketan

Wajik yang paling dikenal oleh masyarakat adalah jenis wajik ketan. Wajik ketan dibuat dari beras ketan yang pertama-tama dikukus, lalu dimasak bersama santan dan gula hingga mencapai tekstur yang berminyak dan lembut. Biasanya, wajik jenis ini menggunakan gula merah sebagai bahan pemanisnya. Penggunaan gula merah ini memberikan warna cokelat muda hingga cokelat tua pada wajik. Setelah proses pengolahan selesai, wajik dapat dibentuk atau diiris sesuai keinginan pembuatnya. Salah satu bentuk yang sering dibuat adalah belah ketupat atau jajar genjang. Istilah "wajik" sendiri merujuk pada bentuk ini, yang sering digunakan oleh orang Jawa.

Selain warna cokelat, wajik ketan juga bisa memiliki warna lain, seperti hijau dan merah muda. Warna hijau pada wajik berasal dari sari daun suji, yang merupakan pewarna alami. Sedangkan warna merah muda biasanya dihasilkan dengan menggunakan pewarna makanan, bukan gula merah seperti pada wajik berwarna cokelat. Dengan tambahan warna-warna ini, wajik menjadi lebih beragam dan menarik.

Wajik Kletik

Wajik kletik adalah variasi wajik yang secara khusus diakui sebagai hidangan khas dari Blitar. Meskipun bahan dasarnya sama dengan wajik ketan, yakni beras ketan, wajik kletik memiliki ciri khas tersendiri. Wajik kletik dibentuk menjadi potongan-potongan kecil dan dibungkus dengan kulit jagung atau klobot. Kulit jagung ini kemudian disetrika untuk menghilangkan bakteri, sehingga wajik kletik memiliki daya tahan yang lebih baik dan bisa bertahan lebih lama.

Wajik Bandung

Wajik Bandung, seperti namanya, berasal dari daerah Bandung. Ini juga terbuat dari beras ketan, namun dengan tambahan kelapa parut dan gula. Yang membedakan wajik Bandung adalah cara penyajiannya; potongan-potongan wajik Bandung dibungkus dalam kertas minyak berwarna-warni, memberikan tampilan yang lebih cerah. Perbedaan lainnya adalah dalam tekstur, di mana wajik ketan memiliki dominasi beras, sementara wajik Bandung lebih didominasi oleh parutan kelapa.

Cita Rasa

Kue wajik memiliki cita rasa manis yang khas, seringkali diperkaya dengan aroma seperti pandan dan vanili. Beberapa varian kue wajik juga memiliki rasa asli, seperti rasa gula merah dan bahkan rasa durian. Teksturnya mirip dengan beras yang belum matang, tetapi saat dimakan, kue ini menjadi lembut dan mudah digigit.

Kegunaan

Kue wajik seringkali digunakan sebagai hidangan untuk tamu dan sebagai oleh-oleh khas dari berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, Magelang terkenal dengan wajik ketan berwarna cokelat gula merah sebagai oleh-oleh khasnya, sementara Blitar dikenal dengan wajik kletik sebagai oleh-oleh khas dari daerah tersebut.

Selain itu, kue wajik juga memiliki peran penting dalam berbagai hajatan, terutama di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kue ini harus ada dalam hidangan pada berbagai upacara pernikahan, di mana wajik ketan seringkali digunakan sebagai hantaran dari mempelai lelaki kepada mempelai perempuan. Hal ini melambangkan harapan bahwa hubungan pernikahan mereka akan terus harmonis dan langgeng.

Demikianlah informasi singkat mengenai wajik, hidangan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika Anda ingin menikmati wajik, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencoba berbagai resep wajik untuk menciptakannya sendiri. Sampai jumpa pada artikel kuliner berikutnya!

Share:

Asal Usul Nama Lemabang di Kota Palembang

Pasar pagi lemabang. (sumber: zonabanten.com)

Bagi warga Palembang, khususnya yang tinggal di daerah Sekojo dan Kalidoni, daerah yang dikenal dengan nama Lemabang adalah sesuatu yang sangat familiar. Kata Lemabang sering dihubungkan dengan Pasar Lemabang, yang merupakan pusat aktivitas ekonomi bagi warga di sekitarnya. Namun, tahukah Anda dari mana asal kata "Lemabang" ini berasal?

Sejarawan Palembang, Kemas H. Andi Syarifuddin, memberikan penjelasan mengenai asal muasal kata "Lemabang." Ternyata, nama Lemabang memiliki kisah yang terkait dengan pemakaman seorang sultan pada masa lalu, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Sultan ini wafat pada malam Sabtu, tanggal 3 Muharram 1171 Hijriah, yang bersamaan dengan tanggal 17 September 1757 Masehi, dalam usianya yang mencapai 68 tahun.

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dimakamkan di Astana Gubah Kawah Tengkurep, yang terletak di Lemabang 3 Ilir, Palembang. Menariknya, tempat pemakaman sultan ini memiliki tanah yang tinggi dan miring. Kata "Lemabang" sebenarnya berasal dari kata "Lemah Abang," yang secara harfiah berarti "tanah merah." Nama ini muncul karena pada saat Sultan ingin membangun kompleks pemakamannya pada tahun 1728, daerah tersebut memiliki tanah yang tinggi dan miring atau tidak rata.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo kemudian melakukan penimbunan dengan menggunakan tanah merah. Inilah yang membuat daerah tersebut dikenal dengan nama "Lemabang" atau "tanah merah." Selain itu, sultan ini juga dikenal oleh masyarakat dengan sebutan "Sunan Lemabang" karena perannya dalam pemakaman tersebut.

Sejarah ini mengungkapkan bagaimana sebuah nama daerah bisa memiliki akar yang dalam dan berasal dari peristiwa sejarah yang penting. Lemabang di Palembang tidak hanya menjadi tempat pasar, tetapi juga mengandung makna sejarah yang menarik bagi masyarakat setempat.

Share:

Mengenal Dodol Susu: Kuliner Khas Pangalengan, Jawa Barat yang Menggoda Selera

Pada artikel ini, kami akan membahas kuliner tradisional dari Pangalengan, Jawa Barat yang tidak boleh Anda lewatkan, yaitu dodol susu. Mari kita eksplorasi lebih lanjut tentang kelezatan kuliner ini.

Dodol susu, makanan kgas Pangalengan, Jawa Barat. (sumber: www.wikipedia.com)

Secara dasar, dodol adalah hidangan semi-basah yang terbuat dari campuran tepung beras ketan, santan kelapa, dan gula, dengan kemungkinan penambahan bahan tambahan lain yang diperbolehkan. Namun, dodol susu memiliki sentuhan khusus, yakni tambahan susu cair, yang memberikan rasa istimewa. Biasanya, penambahan susu ini bertujuan untuk mengoptimalkan surplus produksi susu. Dodol susu merupakan hidangan khas Pangalengan, sebuah wilayah di Bandung, Jawa Barat.

Tradisi pembuatan dodol susu di Bandung sudah berlangsung sejak tahun 1970-an, dan dalam proses pembuatannya, jumlah gula yang cukup besar ditambahkan sebagai pengawet alami. Selain Bandung, di desa Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, produksi dodol susu dimulai sekitar tahun 2010, setelah erupsi Gunung Merapi menghancurkan ekonomi lokal. Di sini, susu dipilih sebagai bahan utama karena ketersediaannya yang melimpah, dan masyarakat berharap dodol susu dapat menjadi salah satu oleh-oleh khas Boyolali, yang dikenal sebagai "Kota Susu." Meskipun Kabupaten Boyolali bukan yang pertama kali memproduksi dodol susu, produk serupa sudah ada di daerah lain sebelumnya.

Dodol susu, hidangan lezat yang berasal dari Pangalengan, Jawa Barat, telah menjadi fokus utama dalam artikel ini. Jika Anda ingin mencicipi dodol susu, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencari berbagai resep dodol susu untuk mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa pada artikel kuliner berikutnya!

Share:

Masjid Besar Al-Mahmudiyah (Masjid Suro): Memelihara Tradisi dan Sejarah di Palembang

Masjid Besar Al-Mahmudiyah. (sumber: SumselPers)

Masjid Besar Al-Mahmudiyah, juga dikenal dengan nama Masjid Suro, adalah salah satu masjid tertua di kota Palembang, Sumatra Selatan. Sejarah panjang masjid ini dimulai pada tahun 1889 ketika seorang ulama besar, KH Abdurahman Delamat, yang akrab disapa Ki Delamat, memulai pembangunan masjid ini di atas tanah wakaf milik Kiai Kiagus H Khotib Mahmud. Pembangunan masjid ini selesai dua tahun kemudian, pada tahun 1891.

Nama asli masjid ini adalah Masjid Suro, tetapi kemudian diusulkan oleh Kiagus H. Matjik Rosad, cucu dari Kiagus H Khotib Mahmud, untuk menggantinya menjadi Al-Mahmudiyah. Nama ini kemudian diterima dan digunakan hingga sekarang.

Pada awalnya, masjid ini menjadi pusat penting bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat untuk menimba ilmu agama kepada Kiai Delamat. Namun, masa kolonial Belanda pada saat itu menimbulkan kendala besar. Pemerintah kolonial tidak ingin masjid ini digunakan sebagai tempat penyebaran dakwah Islam karena khawatir akan memicu perlawanan masyarakat Palembang terhadap pemerintah kolonial.

Akibatnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Tuan Residen Belanda dan diperintahkan untuk tidak lagi menyebarkan Islam. Bahkan, shalat Jumat pun dilarang diselenggarakan di masjid ini. Kiai Delamat akhirnya diusir dari kota Palembang dan menjalani kehidupan di Dusun Sarika hingga wafat. Ia dimakamkan di Masjid Babat Toman.

Namun, anak-anaknya, yaitu KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, bersama masyarakat setempat, berusaha untuk mengembalikan jenazah Kiai Delamat ke Palembang. Mereka berencana untuk menguburkannya di belakang mimbar khatib masjid. Namun, upaya ini tidak disetujui oleh Tuan Residen Belanda. Akhirnya, jenazah Kiai Delamat dipindahkan ke Pemakaman Jambangan, di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Selama masa penjajahan Belanda, Masjid Suro mengalami masa sulit. Masjid ini dibongkar dan dilarang digunakan sebagai tempat ibadah selama lebih dari tiga dekade, tepatnya 36 tahun. Setelah kepengurusan masjid diserahkan kepada Kiai Kgs. H. Mahmud Usman, atau lebih dikenal sebagai Kiai Khotib, nama masjid ini diubah menjadi Masjid Al-Mahmudiyah sesuai dengan nama pengurusnya.

Pada tahun 1919, pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir berkumpul untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru. Inisiatif ini datang dari Kiai Kiemas H. Syekh Zahri, yang memimpin pembentukan kepengurusan baru. Di bawah kepemimpinan Kgs H.M. Ali Mahmud, pada tahun 1920, masjid ini mulai dibongkar untuk direnovasi. Pada tahun 1925, sebuah menara masjid dibangun, dan yang lebih penting lagi, shalat Jumat diperbolehkan kembali oleh Tuan Residen Belanda. 

Salah satu tradisi yang dijaga di Masjid Besar Al-Mahmudiyah adalah membagikan bubur daging kepada orang yang berbuka puasa di masjid dan kepada warga sekitar. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan terus dilakukan hingga sekarang. Setiap bulan puasa, pengurus masjid membuat bubur daging yang disediakan untuk jamaah masjid dan masyarakat sekitar. Ini adalah salah satu cara bagaimana masjid ini menjaga warisan sejarah dan tradisi yang berharga bagi masyarakat Palembang.

Share:

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang: Perlawanan Indonesia Terhadap Tentara Belanda

Ilustrasi. (sumber: Wikipedia)

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang adalah sebuah peristiwa bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini terjadi selama lima hari berturut-turut, mulai dari tanggal 1 hingga 5 Januari 1947, dan merupakan perlawanan sengit tentara Indonesia (Tentara Republik Indonesia, TRI) terhadap serangan pasukan tentara Belanda (NICA/Nederland-Indië Civil Administration). Pertempuran ini bukan hanya sekadar konfrontasi militer, tetapi juga menjadi simbol perjuangan rakyat Palembang untuk mempertahankan tanah air mereka dari upaya penjajahan.

Latar Belakang

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tentara Sekutu menduduki berbagai wilayah bekas jajahan Jepang di Indonesia, termasuk Palembang, yang berhasil mereka capai pada tanggal 12 Oktober 1945 di bawah komando Letnan Jenderal Carmichael bersama pasukan Belanda. Sekutu juga mendukung kedatangan tentara Belanda, yang semakin banyak jumlahnya, di Palembang. Namun, pada Maret 1946, ketika Sekutu meninggalkan Palembang, mereka menyerahkan kendali kota ini kepada tentara Belanda.

Pada awal konflik, Belanda menginginkan agar kota Palembang dikosongkan segera, namun permintaan ini ditolak oleh seluruh penduduk Palembang. Ini akhirnya berujung pada baku tembak pada tanggal 1 Januari 1947 di daerah Palembang Ilir dan penyerangan terhadap markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Jalan Tengkuruk. Beberapa tokoh penting yang memimpin pertempuran dari pihak TRI dan pejuang Indonesia adalah Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Bambang Utoyo, Mayor Rasyad Nawawi, dan Kapten Alamsyah.

Pertempuran

Pusat pertahanan terkuat Belanda berada di Benteng Kuto Besak, Rumah Sakit Charitas, dan Bagus Kuning (Plaju), sementara kekuatan pejuang Palembang tersebar merata di berbagai tempat pertahanan Belanda. Pada hari pertama setelah insiden penembakan di Jalan Tengkuruk, para pejuang Palembang menyerbu dan mengepung pasukan Belanda yang bertahan di semua sektor yang telah mereka kuasai sebelumnya. Meskipun pertempuran berakhir pada sore hari, pasukan Belanda kembali menyerang menjelang malam dengan menggunakan senjata lapis baja, yang mengakibatkan beberapa tempat strategis jatuh ke tangan Belanda, termasuk kantor telegraf, kantor residen, kantor walikota, dan kantor pos.

Pada hari kedua dan ketiga, Belanda melakukan serangan lagi terhadap pusat pertahanan pejuang di area Masjid Agung Palembang, namun berhasil dihalau oleh Pasukan Batalyon Geni bersama sejumlah tokoh masyarakat. Di saat yang sama, dari arah Talang Betutu, pasukan bantuan Belanda yang hendak bergabung dengan pasukan di Masjid Agung berhasil disergap oleh pejuang Palembang yang dipimpin oleh Lettu Wahid Luddien. Pertempuran terus berlanjut dengan mengakibatkan sebagian besar kota Palembang mengalami kerusakan yang cukup parah.

Pada hari kelima pertempuran, dengan pasokan logistik dan amunisi yang semakin menipis, kedua belah pihak memutuskan untuk melakukan pertemuan antara pimpinan sipil dan militer mereka. Hasil perundingan menyepakati gencatan senjata, dengan pasukan TRI dan pejuang Indonesia mundur sejauh 20 km dari pusat kota, hanya menyisakan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia), polisi, dan pemerintahan sipil di Kota Palembang. Sementara itu, pasukan Belanda hanya diperbolehkan mendirikan pos sejauh 14 km dari pusat kota. Gencatan senjata ini mulai berlaku pada tanggal 6 Januari 1947.

Akhir dari Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang tidak hanya merupakan kisah heroik dari perlawanan pejuang Indonesia terhadap tentara Belanda, tetapi juga menjadi momen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun pasukan Indonesia dan pejuang Palembang harus menahan kerugian dan kerusakan yang besar, semangat perjuangan mereka tetap membara. Gencatan senjata akhirnya membuka jalan bagi perundingan dan mengakhiri pertempuran tersebut. Hal ini juga mengingatkan kita akan tekad kuat rakyat Palembang untuk mempertahankan tanah air mereka dari penjajahan yang ingin menguasai kembali Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan.

Share:

Rasa Sejarah dan Kelezatan Dodol: Kuliner Tradisional Jawa Timur

Dodol, hidangan tradisional yang berasal dari Jawa Timur, akan menjadi pusat perhatian dalam artikel ini. Mari kita eksplorasi lebih lanjut mengenai kuliner yang kaya akan rasa dan sejarahnya.

Dodol, makanan khas Jawa Timur. (sumber: www.harianhaluan.com)

Dodol adalah sebuah makanan tradisional yang terbuat dari campuran tepung ketan, santan kelapa, dan gula merah, seringkali dicampur dengan buah-buahan seperti durian atau sirsak, lalu dibungkus menggunakan daun jagung, kertas, atau wadah lainnya. Asal usul dodol ini dapat ditelusuri hingga Ponorogo, Jawa Timur, dan sering kali dikenal dengan sebutan jenang dodol atau jenang di beberapa tempat. Dodol termasuk dalam kelompok makanan padat yang biasanya dihidangkan sebagai pencuci mulut.

Variasi rasa dodol dapat dihasilkan dengan menambahkan bahan-bahan tambahan tertentu, dan di berbagai daerah, dodol dengan campuran buah-buahan tertentu mendapat nama khusus. Misalnya, dodol dengan campuran durian dikenal sebagai dodol durian atau populer dengan sebutan lempok, sementara dodol yang dicampur dengan sirsak disebut dodol sirsak. Selain itu, ada juga dodol dengan campuran nangka yang disebut dodol nangka, dan yang mengandung jahe dikenal sebagai dodol jahe.

Indonesia memiliki beberapa daerah yang terkenal dengan dodolnya, seperti Dodol Garut, Dodol Ponorogo, Dodol Semarang, Dodol Solo, Dodol Yogyakarta, dan Dodol Kandangan di Kalimantan Selatan.

Proses pembuatan dodol yang berkualitas tinggi memerlukan waktu yang cukup lama dan keahlian khusus. Di beberapa daerah, dodol hanya diproduksi atau dihidangkan pada waktu-waktu tertentu, seperti saat perayaan Lebaran di Betawi, perayaan Sekaten di Yogyakarta dan Solo, serta acara-acara khusus lainnya.

Tidak hanya populer di Indonesia, dodol saat ini juga mulai diminati oleh konsumen dari negara lain seperti Belanda, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.

Etimologi

Asal usul kata "dodol" dapat ditelusuri hingga bahasa Jawa, tepatnya dari kata "dodol" dalam bahasa Jawa yang berasal dari bahasa Jawa Kuno "dwadwal" yang dieja sebagai "dodol".

Sejarah

Dodol memiliki sejarah yang terdokumentasi dalam kitab sastra dan beberapa prasasti di Ponorogo, dating kembali ke periode Kerajaan Medang di Bumi Mataram (abad ke-9 dan ke-10). Dalam Kakawin Ramayana yang ditulis pada abad ke-9 pada masa pemerintahan Dyah Balitung, terdapat catatan pada bagian 17.112 dalam bahasa Jawa Kuno yang menyebutkan, "dwadwal anekawarṇa lakĕtan tape paṅisi len," yang artinya "dodol beraneka rupa, ketan, tapai, dan isian lainnya."

Selain itu, Prasasti Gemekan yang ditemukan pada tahun 2022 dan berasal dari tahun 930 M juga mencatat istilah "dodol" dalam bahasa Jawa Kuno. Prasasti ini menyebutkan makanan ringan seperti kurawu, kurima, asam, dan dodol.

Prasasti Sangguran dari periode yang hampir sama (bertanggal 2 Agustus 928) juga mengandung referensi tentang dodol sebagai makanan ringan.

Selanjutnya, dalam masa pasca-Majapahit, naskah Nawaruci (abad ke-17) dan Serat Centhini (ditulis pada abad ke-19 dalam bahasa Jawa Baru) juga menyebutkan dodol sebagai salah satu jenis "amik-amik" atau penganan kecil.

Selain itu, di Sri Lanka, terdapat varian dodol yang dikenal sebagai kalu dodol, yang diduga dibawa oleh masyarakat pedagang Melayu yang menetap di sana sejak masa pra-kolonial.

Cara Pembuatan

Dalam proses pembuatan dodol, bahan-bahan dicampur bersama dalam sebuah kuali besar dan dimasak dengan api sedang. Penting untuk mengawasi dodol selama proses memasak karena jika dibiarkan tanpa pengawasan, dodol dapat terbakar di bagian bawahnya dan membentuk lapisan keras. Oleh karena itu, selama proses pembuatan, campuran dodol harus diaduk secara terus menerus untuk mendapatkan hasil yang baik. Proses memasak dodol memerlukan waktu sekitar 4 jam, dan jika kurang dari itu, dodol mungkin tidak akan memiliki rasa yang optimal. Setelah sekitar 2 jam, campuran dodol biasanya akan berubah menjadi cokelat pekat, mendidih, dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.

Selanjutnya, dodol harus tetap diaduk agar gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali hingga dodol matang dan siap diangkat. Terakhir, dodol harus didinginkan dalam periuk besar. Dodol yang baik memiliki warna coklat tua, berkilat, dan konsistensi yang pekat. Setelah didinginkan, dodol dapat dipotong-potong dan siap untuk dinikmati. Ketika dijual, dodol sering dipotong menjadi bagian-bagian kecil dan dibungkus dengan kertas minyak atau plastik. Dodol biasanya disajikan kepada tamu pada hari-hari perayaan dan acara khusus.

Varian

Dodol memiliki berbagai varian yang menarik, di antaranya dodol durian, dodol susu, dodol kentang, dodol sirsak, dodol apel malang, dodol nangka, dodol jahe, dodol Garut, dodol Betawi, dodol Kandangan, dan dodol Bali. Setiap varian dodol ini memiliki cita rasa dan keunikan tersendiri yang memikat para pecinta kuliner tradisional.

Demikianlah rangkuman mengenai dodol, sebuah kuliner tradisional yang berasal dari Jawa Timur. Jika Anda ingin mencicipi dodol, Anda dapat mengunjungi penjual dodol di daerah Anda atau mencari berbagai resep dodol untuk mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa pada artikel kuliner berikutnya!

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer