Bagi warga Palembang, khususnya yang tinggal di daerah Sekojo dan Kalidoni, daerah yang dikenal dengan nama Lemabang adalah sesuatu yang sangat familiar. Kata Lemabang sering dihubungkan dengan Pasar Lemabang, yang merupakan pusat aktivitas ekonomi bagi warga di sekitarnya. Namun, tahukah Anda dari mana asal kata "Lemabang" ini berasal?
Sejarawan Palembang, Kemas H. Andi Syarifuddin, memberikan penjelasan mengenai asal muasal kata "Lemabang." Ternyata, nama Lemabang memiliki kisah yang terkait dengan pemakaman seorang sultan pada masa lalu, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Sultan ini wafat pada malam Sabtu, tanggal 3 Muharram 1171 Hijriah, yang bersamaan dengan tanggal 17 September 1757 Masehi, dalam usianya yang mencapai 68 tahun.
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dimakamkan di Astana Gubah Kawah Tengkurep, yang terletak di Lemabang 3 Ilir, Palembang. Menariknya, tempat pemakaman sultan ini memiliki tanah yang tinggi dan miring. Kata "Lemabang" sebenarnya berasal dari kata "Lemah Abang," yang secara harfiah berarti "tanah merah." Nama ini muncul karena pada saat Sultan ingin membangun kompleks pemakamannya pada tahun 1728, daerah tersebut memiliki tanah yang tinggi dan miring atau tidak rata.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo kemudian melakukan penimbunan dengan menggunakan tanah merah. Inilah yang membuat daerah tersebut dikenal dengan nama "Lemabang" atau "tanah merah." Selain itu, sultan ini juga dikenal oleh masyarakat dengan sebutan "Sunan Lemabang" karena perannya dalam pemakaman tersebut.
Sejarah ini mengungkapkan bagaimana sebuah nama daerah bisa memiliki akar yang dalam dan berasal dari peristiwa sejarah yang penting. Lemabang di Palembang tidak hanya menjadi tempat pasar, tetapi juga mengandung makna sejarah yang menarik bagi masyarakat setempat.