Keraton Kuto Gawang: Benteng Sejarah Kota Palembang yang Dulu Megah

Sketsa Keraton Kuto Gawang. (sumber: arkenas.kemdikbud.go.id

Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Palembang memiliki sejarah panjang yang menjadi saksi bisu perkembangan sistem pemerintahan dan kekuasaan dari zaman ke zaman. Dalam perjalanan sejarahnya, Palembang telah menjadi tempat berdirinya berbagai pemerintahan, termasuk Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam, hingga masa kolonialisme oleh Belanda, Inggris, dan kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia yang merdeka.

Hal ini menjadikan Palembang sebagai kota yang penuh dengan peninggalan sejarah yang berharga. Salah satu peninggalan bersejarah yang mencuri perhatian adalah bekas Keraton Kuto Gawang.

Keraton Kuto Gawang adalah pusat pemerintahan Kerajaan Palembang pada abad ke-16 dan 17. Ia bisa diibaratkan sebagai ibu kota Kerajaan Palembang, yang juga menjadi tempat tinggal bagi beragam masyarakat dari berbagai suku dan bangsa yang datang dari berbagai penjuru nusantara dan dunia. Dengan demikian, Palembang menjadi kota kosmopolitan dengan penduduk yang beragam, dengan berbagai latar belakang budaya, bangsa, tingkat ekonomi, dan gaya hidup.

Lokasi Keraton Kuto Gawang terletak di sekitar Kelurahan Sungai Buah dan Kelurahan 1 Ilir, Palembang, yang sekarang ini merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), produsen pupuk terbesar di Indonesia. Pada masa Kerajaan Palembang, ibu kota ini memiliki bentuk persegi panjang yang dibentengi dengan dinding-dinding kayu tebal, terbuat dari kayu Unglen dan Kayu Besi dengan ketebalan sekitar 30x30 cm setiap batangnya.

Benteng tersebut mengelilingi kota berbentuk persegi panjang dengan ukuran 290 Rijnlandsche roede (sekitar 1.093 meter) baik dari segi panjang maupun lebar. Tinggi dinding sekitar 24 kaki (7,25 meter) dengan pemandangan ke arah selatan, menghadap Sungai Musi. Pintu masuk utama kota ini terletak di Sungai Rengas. Di sebelah timur, kota ini berbatasan dengan Sungai Tali Gawe, sedangkan di sebelah barat, dibatasi oleh Sungai Buah.

Selain dinding utama yang mengelilingi kota, ada juga sistem perbentengan yang meliputi kubu-kubu di Pulau Kemaro, Plaju, Baguskuning (Sungai Gerong), dan cerucuk yang memagari Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju. Dengan jaringan sungai yang dimanfaatkan secara strategis, kota ini memiliki pertahanan yang kuat terhadap serangan musuh dan tindakan curang pedagang.

Pada masa itu, keraton ini memegang peranan penting sebagai pusat pemerintahan dan kubu pertahanan Kerajaan Palembang. Benteng Tambak Bayo di muara Sungai Komering, Benteng Martapura di sebelah barat, serta Benteng Manguntama dan Bamangagan di Pulau Kemaro berfungsi sebagai pelindung ibu kota dan keraton.

Namun, pada tahun 1659 Masehi, dengan armada yang kuat, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) berhasil menaklukkan dan membakar habis ibu kota dan Keraton Kuto Gawang di bawah komando Joan Van Der Laen. Sebelum melancarkan serangan, Van der Laen membuat sketsa peta Kota Palembang, yang sekarang menjadi sumber berharga dalam penulisan sejarah Keraton Kuto Gawang. Meskipun menjadi saksi bisu peristiwa pembakaran tersebut, Keraton Kuto Gawang tetap menjadi bagian penting dalam sejarah Kota Palembang hingga saat ini.

Share:

Masjid Sultan Agung Palembang: Menyimpan Sejarah dan Nilai Religius

Masjid Sultan Agung Palembang. (sumber: sriwijayaradio.com)

Masjid Sultan Agung di Palembang adalah salah satu peninggalan bersejarah yang mungkin belum begitu dikenal oleh banyak masyarakat. Terletak di Jalan Sultan Agung, Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur 2, masjid ini masih kalah populer dibandingkan dengan masjid-masjid besar lainnya di kota Palembang seperti Masjid Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) Jaya Wikrama dan masjid Taqwa.

Pendirian Masjid Sultan Agung dimulai pada tahun 1940 dengan kesepakatan dari para ulama, terutama di kampung 1 Ilir Palembang. Pada saat itu, area yang akan menjadi lokasi masjid masih berupa hutan dengan banyak pohon besar. Persiapan pembangunan membutuhkan waktu sekitar 10 tahun.

Pendiri utama Masjid Sultan Agung adalah KH Abdullah Zawawi Izhom, yang juga merupakan ayah dari Ustaz Fauzie Dzakkiyan, Ketua Pengurus Masjid Sultan Agung saat ini. KH Abdullah Zawawi Izhom didampingi oleh pamannya, Kiai Abu Nawar bin KH Abdurrahim, serta masyarakat 1 Ilir dalam membangun masjid ini. Selama proses pembangunan, banyak ulama, alim ulama, dan tokoh masyarakat turut serta dalam upaya ini.

Sebelum Masjid Sultan Agung didirikan, para ulama di kota Palembang berkumpul dalam sebuah majelis yang disebut Majelis 'Ilmi Walmuzakarah. Selain sebagai tempat untuk memperdalam ilmu agama, majelis ini juga digunakan untuk musyawarah dan penyelesaian masalah umat.

Ustaz Fauzie menceritakan bahwa sebelum masjid ini berdiri, ada sebuah musala yang digunakan sebagai tempat musyawarah. Namun, setelah Masjid Sultan Agung selesai dibangun, kegiatan majelis "Ilmi Walmuzakarah" dipindahkan ke dalam masjid.

Setelah hampir 70 tahun berdiri, Masjid Sultan Agung tetap kokoh dan dirawat dengan baik oleh pengurus masjid. Di kompleks masjid ini terdapat beberapa makam penting, termasuk makam pendiri masjid, KH Abdullah Zawawi Izhom, istrinya Hj Nyuimas Bunaya, putranya Muhammad Silahuddin Buya Fathoni, serta makam Kesultanan Palembang, Sultan Agung Komaruddin Sri Truno.

Meskipun belum begitu dikenal oleh masyarakat umum, Masjid Sultan Agung kini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Palembang. Banyak wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang datang untuk berziarah dan mengagumi nilai sejarah yang tinggi di tempat ini. Masjid Sultan Agung juga memiliki agenda tahunan yang disebut haul, yaitu peringatan ulang tahun pendiri masjid, KH Abdullah Zawawi Izhom. Agenda ini menjadi daya tarik wisata religi di kota Palembang dan dihadiri oleh puluhan ribu jamaah setiap tahunnya.

Dengan sejarah dan nilai religius yang dimilikinya, Masjid Sultan Agung tetap menjadi salah satu aset berharga Palembang, yang menandakan pentingnya menjaga dan merawat warisan budaya dan sejarah bagi generasi mendatang.

Share:

Menyelami Kelezatan Mie Celor: Kuliner Tradisional Palembang yang Menggugah Selera

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Dalam artikel kali ini, kami akan membagikan informasi menarik tentang kuliner tradisional asal Palembang, yaitu mie celor. Mari kita selami lebih dalam mengenai kelezatan kuliner yang satu ini bersama-sama.

Mie celor, makanan khas Palembang. (sumber: www.food.detik.com)

Mi celor merupakan hidangan mi yang berakar dari kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Dalam bahasa Melayu Palembang, kata "celor" memiliki arti merendam mi dalam air panas (seduh), setelah itu mi ini dicampur dengan kuah santan yang kental dan gurih yang beraroma udang, dan biasanya disajikan bersama telur rebus, tauge, dan kucai sebagai pelengkap. Yang membedakan mi celor dari hidangan mi lainnya adalah ukuran mi yang digunakan, yang lebih besar dibandingkan dengan mi umum seperti mi aceh atau udon Jepang.

Asal Usul

Asal usul mie celor masih belum dapat dipastikan dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa mie ini memiliki akar dari kuliner Tionghoa, dan kemungkinan besar merupakan hasil perpaduan antara pengaruh Melayu dan Tionghoa. Kata "celor" dalam dialek Palembang memiliki arti merendam mie dalam air panas, yang merujuk pada metode penyajian mie ini di mana mie dicelupkan ke dalam air panas sebelum disajikan kepada pelanggan.

Penyajian

Mie celor menggunakan mie kuning atau mie telur dengan ukuran yang besar dan lebar, serupa dengan mie aceh atau udon. Mie ini dicelup sebentar ke dalam air panas untuk memastikan teksturnya lembut sebelum disajikan dengan kuah kental. Kuah ini memiliki kemiripan dengan lo mie dari Tiongkok. Kuah mie celor dibuat dengan menggunakan kaldu dari udang atau ebi, yang dicampur dengan santan, susu, tepung terigu, serta berbagai bumbu seperti merica, garam, gula, dan penyedap rasa lainnya. Hasilnya adalah kuah berwarna putih kekuningan dengan tekstur yang kental.

Mie celor biasanya disajikan dengan tambahan telur rebus, udang, ayam, kucai, dan tauge sebagai pelengkap. Hidangan ini disajikan dalam keadaan panas dan sering dilengkapi dengan sambal, bawang goreng, dan irisan daun bawang. Masyarakat Palembang cenderung mengonsumsi mie celor sebagai sarapan pagi. Meskipun dapat dengan mudah ditemui di kota Palembang, hidangan ini masih sulit ditemukan di kota-kota besar lainnya.

Kandungan Gizi

Mie celor mengandung beragam nutrisi, termasuk karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Hidangan ini bisa menjadi alternatif sumber karbohidrat selain nasi. Sumber protein dalam mie celor berasal dari berbagai pelengkap seperti udang, ayam, dan telur. Sementara vitamin dan mineral diperoleh dari berbagai sayuran pelengkap yang digunakan dalam hidangan ini.

Demikianlah ringkasan tentang mie celor, salah satu kuliner khas dari Palembang. Bagi yang ingin mencicipi mie celor, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep mie celor dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Makam Sabokingking: Peninggalan Bersejarah di Palembang

Makam Sabokingking. (sumber: tribunsumselwiki.tribunnews.com)

Makam Sabokingking, juga dikenal sebagai Situs Telaga Batu, adalah salah satu peninggalan bersejarah yang sangat penting di Palembang. Terletak sekitar 500 meter sebelah utara dari makam Gede ing Suro, kompleks makam ini memiliki sejarah yang kaya dan penting bagi kota Palembang. Berdasarkan koordinat astronomisnya, makam ini terletak pada titik S 02º58’24.1” dan E 104º47’24.3”.

Keberadaan Makam Sabokingking sudah tercatat sejak masa sebelum Islam tiba di Palembang, yaitu pada masa Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Hal ini didukung oleh temuan Prasasti Telaga Batu, yang berasal dari periode Sriwijaya, dan yang ditemukan di lokasi ini. Prasasti ini menunjukkan adanya aktivitas makam dan keberadaan struktur sosial masyarakat pada masa itu.

Kompleks makam Sabokingking memiliki denah berbentuk empat persegi panjang dengan beberapa teras. Kompleks ini dikelilingi oleh air yang menyerupai pulau di tengah danau, dan dapat diakses melalui jalan semen yang menghubungkan bangunan utama dengan daratan. Bangunan utama makam ini memiliki atap berbentuk limasan dan terdiri dari beberapa teras dengan lantai bertingkat.

Teras Pertama:

Teras pertama di kompleks makam Sabokingking adalah tempat makam seorang panglima besar bernama Ki Mas Agus Bodrowongso atau Ki Abdurahman. Makam ini terletak di bagian paling bawah sebelah barat bangunan. Selain itu, terdapat makam para panglima lain yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan panglima yang dimakamkan di teras kedua.

Teras Kedua:

Pada teras kedua, terdapat empat makam yang penting.

Teras Ketiga:

Teras ketiga adalah teras tertinggi dalam kompleks makam Sabokingking dan merupakan tempat makam tokoh-tokoh penting. Terdapat 21 makam di teras ini yang disusun dari barat ke timur, dengan arah hadap utara-selatan. Beberapa tokoh yang dimakamkan di teras ini adalah Pangeran yang meninggal di Kenayan, Raden Ayu Ratu Sinuhun, dan Tuan Sayid (Moh. Umar Al Idrus).

Makam ketiga tokoh tersebut ditempatkan dalam satu cungkup berdenah segi empat dengan konstruksi tiang kayu. Konstruksi cungkup ini memiliki hiasan seperti gerigi pada bagian pelipitnya dan pola sulur gelung, mencerminkan nilai-nilai estetika klasik.

Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat juga makam-makam lain di teras ketiga, seperti Raden Usman (Purbaya), Putri Sloko, Fatimah Tussadiah, Panglima Moh. Akil, Raden Dendik, Jangsari, Raden Wancik (Kuncung mas), Nyi Mas Ayu Rokiah Khasanah, Putri Perak, Tu Bagus, Jiro Sentiko, Pangeran Ratu Pasarean, Pangeran Antasari (adik Sinuhun), Putri Ayu, Putra Adi Kusuma, Ki Mas Gede Marta, Putri Cilik, dan Putri Menur.

Makam Sabokingking bukan hanya sebagai situs bersejarah tetapi juga sebagai tempat peziarah yang datang untuk mengenang dan mendoakan para tokoh yang dimakamkan di sana. Keberadaan makam ini mencerminkan pentingnya menjaga warisan budaya dan sejarah, serta memahami peran tokoh-tokoh tersebut dalam perkembangan Palembang dan sekitarnya selama berabad-abad. Semoga makam Sabokingking terus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.

Share:

Pemakaman Gede ing Suro: Situs Bersejarah Penyebaran Islam di Palembang

Komplek situs Makam Gede Ing Suro. (sumber: nasional.okezone.com)

Pemakaman Gede ing Suro adalah salah satu situs bersejarah yang mengungkapkan warisan sejarah penyebaran Islam di Palembang. Situs ini berlokasi di kompleks pemakaman Ki Gede Ing Suro dan para pengikut serta keturunannya. Ki Gede Ing Suro adalah putra dari Ki Gede Ing Lautan, yang merupakan salah satu dari 24 bangsawan Kerajaan Demak di Pulau Jawa. Mereka berpindah ke Palembang pada abad ke-16 M, mengikuti perpindahan orang-orang muslim dari Demak, Pajang, dan Mataram yang dipicu oleh situasi politik yang tidak stabil.

Struktur Makam

Makam ini memiliki struktur bangunan berbentuk persegi panjang yang mirip dengan bentuk bangunan bujur sangkar. Bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalan antara 9-10 lapis bata. Pada sisi selatan bangunan, terdapat tangga bata dengan 5 anak tangga dan hiasan lengkung yang menambah keindahan makam ini. Di dinding struktur bangunan ini, terdapat panel dengan hiasan silang dan motif hias medalion yang memberikan sentuhan estetika yang khas.

Makam Pertama: Makam Tan Pualang Cian Cing

Makam pertama di dalam kompleks ini adalah Makam Tan Pualang Cian Cing yang terletak di sebelah barat. Makam ini memiliki ukuran panjang 3,50 meter, lebar 1,14 meter, dan tebal 3 lapis bata. Di dalam makam ini, terdapat dua buah nisan yang terbuat dari kayu. Nisan pertama memiliki inskripsi yang menyebutkan tokoh Tan Poo Toulang, sementara nisan kedua memiliki inskripsi yang menyebutkan Panglima Ngadireja Mangkubumi.

Makam Kedua: Makam Gede ing Suro

Makam kedua adalah Makam Gede ing Suro yang terletak di sebelah timur. Makam ini memiliki ukuran yang serupa dengan makam pertama, yaitu panjang 3,50 meter, lebar 1,14 meter, dan tebal 3 lapis bata. Di dalam makam ini, terdapat dua buah nisan di sebelah utara dan selatan. Nisan di sebelah utara memiliki inskripsi yang menyebutkan nama Ki Gede ing Suro, sementara nisan di sebelah selatan memiliki inskripsi yang, sayangnya, sudah tidak dapat terbaca.

Latar Belakang Sejarah

Kompleks pemakaman Gede ing Suro memiliki latar belakang sejarah yang kaya. Ki Gede Ing Suro dan ayahnya, Ki Gede Ing Lautan, adalah bagian dari bangsawan Kerajaan Demak di Pulau Jawa yang mencari perlindungan di Palembang pada abad ke-16 M akibat kekacauan situasi politik di Jawa. Ki Gede Ing Suro kemudian mendirikan Kerajaan Palembang pada tahun 1552. Meskipun Ki Gede Ing Suro sendiri tidak memiliki keturunan, ia mengangkat keponakannya, Ki Mas Anom, untuk menggantikannya sebagai penguasa Kerajaan Palembang.

Pada tahun 1565-1567 M, Ki Gede Ing Suro Mudo, pengganti Ki Gede Ing Suro, meninggal dunia dan dikebumikan di kompleks pemakaman ini bersama dengan pengikutnya.

Penemuan Kembali oleh Orang Belanda

Makam Gede ing Suro baru dikenal kembali oleh orang Belanda pada sekitar tahun 1930. Sebelumnya, situs ini kurang dikenal atau bahkan tidak diketahui oleh masyarakat setempat karena daerah makam Gede ing Suro merupakan hutan Keraton Palembang Darussalam. Selain itu, bangunan-bangunan makam pendahulu Kesultanan Palembang Darussalam yang terbuat dari kayu telah dibakar oleh Belanda pada abad ke-17 M, sehingga mengakibatkan kehancuran bangunan makam dan menghilangkan jejak-jejak sejarah. Sejak saat itu, keberadaan makam Gede ing Suro dan sekitarnya hampir terlupakan oleh masyarakat Palembang.

Pemakaman Gede ing Suro adalah saksi bisu dari perjalanan panjang Islam di Palembang dan menunjukkan pentingnya pelestarian sejarah dan warisan budaya bagi masyarakat setempat dan negara secara keseluruhan.

Share:

Menyelami Kelezatan Laksan: Kuliner Tradisional Palembang yang Memikat

Selamat datang, para pembaca Inkarnasi Kata! Dalam artikel kali ini, kami akan mempersembahkan informasi menarik mengenai kuliner tradisional asli Palembang, yaitu laksan. Mari kita eksplorasi lebih lanjut mengenai kelezatan kuliner ini bersama-sama.

Laksan, makanan khas Palembang. (sumber: www.keluyuran.com)

Laksan merupakan hidangan khas Palembang yang dibuat dari campuran bahan baku sagu dan ikan. Hidangan ini umumnya memiliki bentuk oval dan cita rasa yang hampir serupa dengan pempek, namun disajikan dengan kuah santan.

Demikianlah rangkuman singkat tentang laksan, sebuah hidangan tradisional asal Palembang. Jika Anda ingin mencicipi laksan, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencoba berbagai resep laksan untuk menciptakannya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Kawah Tekurep: Situs Bersejarah dan Peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Palembang

Kawah Tekurep, tempat pemakaman para tokoh Palembang Darussalam. (sumber: indonesiakaya.com)

Kawah Tekurep, sebuah tempat suci dan makam bersejarah di Palembang, menyimpan kisah yang kaya akan sejarah dan budaya. Terletak di kecamatan Ilir Timur II, Palembang, situs ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi raja, abdi dalem, dan keturunannya. Nama "Kawah Tekurep" sendiri memiliki makna yang dalam, menggambarkan peran penting tempat ini dalam sejarah dan budaya Palembang.

Asal Usul Nama "Kawah Tekurep"

Etimologi nama "Kawah Tekurep" mengandung makna yang mendalam. "Kawah" merujuk pada suatu alat atau wadah yang menyerupai alat untuk menanak nasi, sedangkan "Tekurep" memiliki padanan makna terbalik. Jadi, secara harfiah, "Kawah Tekurep" dapat dimaknai sebagai "wadah terbalik," yang digunakan sebagai makam dan tempat pertemuan para wali dan sunan.

Pembangunan Makam Kawah Tekurep

Makam Kawah Tekurep dibangun pada tahun 1728, bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Palembang. Bangunan ini dibuat menggunakan campuran kapur, pasir, putih telur, dan batu, yang telah memungkinkan makam ini bertahan hingga saat ini. Kawah Tekurep menjadi tempat peristirahatan abadi bagi beberapa sosok penting dalam sejarah Palembang.

Makam Sultan Mahmud Badaruddin dan Ratu-Ratu

Di dalam kawasan makam Kawah Tekurep, terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin, salah satu tokoh penting dalam sejarah Palembang. Makam Sultan Mahmud Badaruddin ditemani oleh empat istrinya, yaitu Ratu Sepuh dari Demak, Ratu Gading dari Malaysia, Ratu Mas Ayu dari Cina, dan Nyai Mas Naimah dari Palembang. Keberadaan makam-makam ini memperkuat hubungan historis Palembang dengan berbagai budaya dan wilayah.

Imam Sayid Al Idrus dan Para Pejuang Agama

Selain makam Sultan Mahmud Badaruddin, di dalam Kawah Tekurep juga terdapat makam Imam Sayid Al Idrus, yang merupakan guru besar bagi Sultan Mahmud Badaruddin. Imam Sayid Al Idrus adalah salah satu tokoh agama yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di Palembang.

Fungsi Sosial dan Keagamaan

Kawah Tekurep bukan hanya sebuah situs bersejarah tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Palembang. Setiap hari, makam ini dikunjungi oleh para peziarah dari dalam dan luar Palembang. Mereka datang untuk mendoakan para sultan dan tokoh agama yang telah berjuang demi agama dan negara mereka.

Perayaan Ziarah Kubro

Setiap tahun, pada bulan Syaban dalam penanggalan Islam, Palembang menggelar perayaan besar yang dikenal sebagai Ziarah Kubro di Kawah Tekurep. Acara ini dihadiri oleh para ulama dari seluruh Indonesia dan bahkan dari luar negeri. Tujuannya adalah untuk bersama-sama mendoakan para alim ulama dan pejuang nasional yang telah wafat dan dimakamkan di situs bersejarah ini.

Perlindungan dan Pelestarian

Sebagai juru kunci Kawah Tekurep yang telah bekerja selama puluhan tahun, Ichsan berharap agar pemerintah dan masyarakat Palembang memberikan perhatian penuh terhadap pelestarian situs bersejarah ini. Kawah Tekurep bukan hanya menjadi warisan budaya bagi Palembang, tetapi juga mengingatkan kita akan perjuangan pejuang agama dan nasional yang harus dihargai dan dijaga agar tidak terlupakan oleh sejarah bangsa.

Share:

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang: Pusat Pelayanan Kesehatan di Kota Palembang

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang. (sumber: halodoc.com)

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang, yang juga dikenal sebagai "Rumah Sakit Boom Baru," adalah lembaga kesehatan terkemuka di Sumatra Selatan, Indonesia. Terletak di Jalan Mayor Memet Sastrawirya, Palembang, rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit tipe C dengan kapasitas sebanyak 77 tempat tidur. Rumah Sakit Pelabuhan Palembang menyediakan berbagai fasilitas kesehatan yang mencakup layanan rawat jalan, rawat inap, fasilitas medis, fasilitas kesehatan tingkat 1, dan fasilitas umum.

Layanan Unggulan

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang menawarkan sejumlah layanan unggulan kepada pasiennya. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Phacoemulsifikasi: Layanan ini berkaitan dengan prosedur bedah mata modern yang digunakan untuk mengobati katarak. Phacoemulsifikasi merupakan metode yang efektif untuk menghilangkan katarak dan memulihkan penglihatan pasien.
  2. Medical Check-Up: Rumah Sakit Pelabuhan Palembang menyediakan program medical check-up khusus bagi tenaga kerja di bidang pelayaran. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa para pekerja pelayaran menjaga kesehatan mereka dengan baik.
  3. One Day Care: Layanan One Day Care adalah solusi bagi pasien yang membutuhkan perawatan medis tetapi tidak memerlukan rawat inap. Pasien dapat menjalani prosedur medis dan pulang pada hari yang sama.
  4. Vaksinasi: Rumah Sakit ini juga menyediakan layanan vaksinasi untuk melindungi pasien dari berbagai penyakit menular. Vaksinasi adalah cara yang efektif untuk mencegah penyakit-penyakit tertentu.

Tenaga Medis dan Spesialisasi

Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, Rumah Sakit Pelabuhan Palembang memiliki tim tenaga medis yang terdiri dari berbagai spesialis. Tim ini terdiri dari:

  • Dokter Umum: 12 dokter umum siap memberikan layanan medis umum kepada pasien.
  • Dokter Gigi: Ada 5 dokter gigi yang berfokus pada perawatan kesehatan gigi dan mulut.
  • Dokter Spesialis: Sebanyak 35 dokter spesialis dengan berbagai bidang, termasuk obstetri dan ginekologi, THT, penyakit dalam, bedah, bedah plastik, bedah tulang, klinik dan kelamin, anak, mata, syaraf, dan patologi, tersedia untuk memberikan diagnosis dan perawatan yang sesuai.

Visi dan Misi

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang memiliki visi dan misi yang kuat untuk mengarahkan penyediaan layanan kesehatannya. Visi mereka adalah "Menjadi rumah sakit yang memberikan layanan profesional dengan standar kelas dunia." Sementara misi mereka adalah "Menjalankan usaha layanan kesehatan berkualitas, berorientasi pada sinergi sumber daya serta pertumbuhan yang berkelanjutan."

Rumah Sakit Pelabuhan Palembang berkomitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat Sumatra Selatan dan sekitarnya. Dengan fasilitas modern, tim medis yang berpengalaman, dan beragam layanan kesehatan, rumah sakit ini terus menjadi salah satu pilihan utama bagi mereka yang mencari perawatan medis yang berkualitas di daerah tersebut.

Share:

Menyelami Kelezatan Tekwan: Kuliner Tradisional Palembang yang Menggugah Selera

Halo para pembaca Inkarnasi Kata! Dalam artikel kali ini, kami akan menghadirkan informasi menarik tentang kuliner tradisional dari Palembang, yaitu tekwan. Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai kuliner yang menggugah selera ini.

Tekwan, makanan khas Palembang. (sumber: Shutterstock/tyasindayanti)

Tekwan, hidangan khas Palembang ini terbuat dari campuran daging ikan dan tapioka yang diformat menjadi bulatan kecil-kecil, kemudian disajikan dalam kuah udang dengan citarasa yang khas. Biasanya, tekwan dilengkapi dengan sohun, potongan bengkoang, jamur, dan diberi sentuhan daun bawang, seledri, serta bawang goreng. Asal usul nama "tekwan" sendiri berasal dari istilah "Berkotek Samo Kawan" dalam bahasa Palembang, yang artinya duduk bersama teman untuk berbincang-bincang, atau juga bisa terkait dengan bahasa Hokkien, tâi-oân (台丸), yang bunyinya mirip dengan "Taiwan" (Hanzi: 台灣; Pe̍h-ōe-jī: Tâi-oân).

Demikianlah rangkuman singkat mengenai tekwan, sebuah hidangan khas dari Palembang. Jika Anda ingin mencicipi tekwan, Anda dapat mencari penjualnya di daerah Anda atau mencoba berbagai resep tekwan untuk menciptakannya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner berikutnya!

Share:

Pelabuhan Boom Baru Palembang: Sejarah, Lokasi, dan Perkembangan Terkini

Pelabuhan Boom Baru Palembang. (sumber: netralnews.com)

Pelabuhan Boom Baru adalah salah satu pelabuhan penting di Palembang, Sumatera Selatan. Pelabuhan ini memiliki peran vital dalam mendukung aktivitas logistik dan penumpang di wilayah tersebut. Berikut adalah informasi penting mengenai Pelabuhan Boom Baru:

Lokasi dan Pengelolaan Pelabuhan Boom Baru

Pelabuhan Boom Baru terletak di tepian Sungai Musi, sekitar 108 kilometer dari muara sungai. Secara administratif, pelabuhan ini masuk dalam wilayah Kota Palembang. Pengelolaan Pelabuhan Boom Baru dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero), atau yang dikenal sebagai Pelindo, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bisnis kepelabuhanan.

Sejarah Pelabuhan Boom Baru

Sejarah pelabuhan di Palembang sudah ada sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 Masehi, terutama pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Pelabuhan ini merupakan pusat perdagangan antar-bangsa dan pusat kebudayaan agama Budha di Asia Tenggara. Lokasi pelabuhan pada masa Sriwijaya tidak sama dengan Pelabuhan Boom Baru saat ini, melainkan lebih ke arah hulu, tepatnya di tepi Sungai Tangga Buntung.

Pada era Kolonial Belanda, sekitar tahun 1821, lokasi pelabuhan pindah ke Boom Jati, depan Benteng (dekat Rumah Sakit AK. GANI saat ini). Kemudian, pada tahun 1914, pelabuhan dipindahkan ke arah hilir, yang sekarang dikenal sebagai Gudang Garam. Baru pada tahun 1924, lokasi Pelabuhan Boom Baru seperti yang kita kenal saat ini ditetapkan secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam Staatblad Nomor 545 tahun 1924.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan Pelabuhan Boom Baru beralih ke ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan selanjutnya diserahterimakan ke PN Pelabuhan, yang kemudian menjadi cikal bakal PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo.

Perkembangan Terkini dan Pelabuhan Tanjung Carat

Dalam perkembangannya, Pelabuhan Boom Baru mengalami kendala akibat naiknya lalu lintas kapal dan pendangkalan sungai. Hal ini membuat pelabuhan ini tidak lagi cocok untuk bongkar muat kapal-kapal besar. Terlebih lagi, banyak komoditas yang dikapalkan dari Sumatera Selatan, seperti batu bara, curah cair, karet, pupuk, dan lainnya.

Sebagai alternatif, pemerintah terus mengembangkan Pelabuhan Tanjung Carat di Banyuasin. Hal ini dikarenakan lokasi Pelabuhan Boom Baru yang terletak di tengah-tengah kota Palembang. Pelabuhan Tanjung Carat dirancang untuk menangani kapal-kapal logistik yang lebih besar dan lebih modern.

Jadwal Kapal di Pelabuhan Boom Baru

Selain melayani kapal logistik, Pelabuhan Boom Baru juga melayani kapal penumpang dengan beberapa rute. Salah satu rute yang paling rutin adalah tujuan Muntok, Belitung. Kapal yang melayani rute ini, seperti Kapal Cepat Bahari EB3B, beroperasi pada setiap pukul 7.30 pagi pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.

Demikianlah gambaran mengenai Pelabuhan Boom Baru di Palembang, termasuk sejarahnya, lokasinya, dan perkembangan terkini. Pelabuhan ini memainkan peran penting dalam konektivitas dan transportasi di wilayah tersebut serta berperan sebagai salah satu infrastruktur vital dalam perekonomian Indonesia.

Share:

Masjid Lawang Kidul: Keindahan Arsitektur dan Sejarah Perjuangan

Masjid Lawang Kidul. (sumber: www.sumsel24.com)

Masjid Lawang Kidul, salah satu masjid tertua di Palembang, Sumatra Selatan, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan pentingnya peran agama Islam dalam perkembangan kota ini. Dibangun pada tahun 1881, masjid ini telah menjadi salah satu simbol bersejarah di Palembang. Artikel ini akan menjelaskan sejarah masjid Lawang Kidul serta mencermati aspek arsitektur dan perjuangan seputar masjid ini.

Sejarah Masjid Lawang Kidul

Pada abad ke-19, pertumbuhan komunitas Muslim di Palembang sangat pesat, tetapi sarana peribadatan (masjid) yang ada tidak memadai untuk menampung jumlah yang semakin meningkat. Masjid Agung Palembang adalah satu-satunya masjid jami' di kota ini yang memenuhi syarat untuk melaksanakan shalat Jumat. Untuk mengatasi masalah ini, Mgs. H. Abdul Hamid (Ki Marogan), seorang ulama dan pengusaha sukses, memutuskan untuk membangun dua masjid baru di Palembang.

Pada tahun 1871 dan 1881, Ki Marogan membangun dua masjid penting: Masjid Muara Ogan (Masjid Ki Marogan) di Kampung Karang Berahi atau muara Sungai Ogan, dan Masjid Lawang Kidul di Kampung Lawang Kidul (5 Ilir). Masjid Muara Ogan melayani warga dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 ulu serta kampung Karang Berahi, sementara Masjid Lawang Kidul melayani warga dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 Ilir dan Kampung Tuan Kapar 14 Ulu. Semua masjid yang dibangun oleh Ki Marogan dilengkapi dengan perlengkapan seperti lampu, lampu kandil, lampu satron, dan peralatan lainnya yang berkaitan dengan masjid.

Sepuluh tahun setelah pembangunan Masjid Lawang Kidul, kedua masjid yang dibiayai sendiri oleh Ki Marogan ini diwakafkan menjadi milik umat Muslim di kota Palembang.

Arsitektur Masjid Lawang Kidul

Masjid Lawang Kidul memiliki arsitektur yang mirip dengan Masjid Agung Palembang, meskipun lebih kecil dalam ukuran. Salah satu ciri khasnya adalah menara masjid yang mempertahankan bentuk yang unik. Atap menara ini berbentuk limas segi empat yang bertingkat dua. Pada atapnya, terdapat tanduk-tanduk yang mengingatkan pada atap Masjid Agung Palembang yang terinspirasi oleh arsitektur masjid Hunan di Cina.

Interior Masjid Lawang Kidul didukung oleh empat tiang kayu utama yang besar, serta dua belas tiang lain yang lebih ramping. Keunikan lain dari interior masjid ini terlihat pada mimbar, yang dihiasi dengan bendera hijau bertuliskan kalimat-kalimat Islam seperti syahadat dan asma'ul husna. Mimbar ini juga diukir dengan gaya khas Palembang, dengan ukiran yang mencantumkan tanggal wakaf, yaitu 26 Sya'ban 1310 Hijriyah atau 17 September 1892 Masehi.

Perjuangan dan Kontroversi

Selama sekitar 21 tahun, Masjid Lawang Kidul menjadi pusat kontroversi terkait pelaksanaan shalat Jumat. Konflik ini melibatkan dua kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang sahnya pelaksanaan shalat Jumat di masjid ini. Perselisihan ini berakhir pada tahun 1914, ketika salah satu kelompok pengurus masjid meminta fatwa dari ulama Betawi, Syech Yusuf Ha’yat, yang membolehkan pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Lawang Kidul. Fatwa ini, yang turut didukung oleh Syarikat Indonesia cabang Palembang, mengizinkan shalat Jumat dengan catatan pelaksanaannya harus 30 menit setelah shalat Jumat di Masjid Agung.

Kontroversi ini telah menjadi bagian dari sejarah masjid ini dan mencerminkan perjuangan masyarakat setempat dalam menjaga hak mereka untuk beribadah di masjid ini.

Masjid Lawang Kidul adalah contoh nyata arsitektur yang memukau dan sejarah yang kaya. Sebagai salah satu masjid tertua di Palembang, masjid ini terus menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya bagi warga setempat, serta menarik perhatian para pengunjung yang ingin menjelajahi warisan sejarah kota Palembang.

Share:

Kue Rambut: Camilan Khas Nusa Tenggara Timur yang Menggoda Selera

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan keindahan alam, budaya, dan kuliner tradisional. Selain dikenal dengan keindahan pantainya yang memukau, daerah ini juga menyimpan sejumlah camilan khas yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah Kue Rambut, camilan yang memiliki bentuk unik dan cita rasa yang menggoda selera.

Kue Jawada atau Kue Rambut, salah satu kuliner khas Nusa Tenggara Timu (NTT).
(sumber: www.ticmpu.id)

Kue Rambut adalah camilan khas pulau Flores dan Alor di NTT. Dalam bahasa setempat, kue ini juga dikenal dengan sebutan "Jawada". Uniknya, kue ini memiliki bentuk yang menyerupai rambut keriting, sehingga dinamakan Kue Rambut. Bentuknya bergelombang seperti bihun yang digoreng kering dan berwarna cokelat keemasan yang menggoda selera.

Kue Rambut bukan hanya sekedar camilan, tetapi juga memiliki nilai historis dan budaya bagi masyarakat setempat. Camilan ini sering dihidangkan pada acara-acara istimewa, upacara adat, atau perayaan penting lainnya. Seiring berjalannya waktu, Kue Rambut juga telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak diminati oleh para wisatawan yang datang ke NTT.

Proses Pembuatan Kue Rambut

Membuat Kue Rambut sebenarnya tidak terlalu sulit, namun dibutuhkan ketelitian dan ketrampilan dalam proses pembuatannya. Adonan Kue Rambut terbuat dari campuran tepung beras, gula aren, santan, air nira, garam, dan minyak. Campuran bahan-bahan tersebut harus memiliki konsistensi yang tepat, tidak terlalu kental maupun terlalu encer.

Setelah adonan siap, langkah selanjutnya adalah memberikan bentuk pada kue agar menyerupai rambut keriting. Masyarakat setempat biasanya menggunakan batok kelapa yang diberi lubang kecil-kecil atau kaleng yang dilubangi. Adonan dituangkan ke atas permukaan minyak panas dan digoyangkan hingga membentuk bentuk seperti rambut dengan lapisan yang tipis. Proses ini memerlukan ketelitian agar bentuk kue tetap cantik dan menarik.

Agar Kue Rambut tetap renyah dan enak, kue ini digoreng dengan menggunakan minyak yang banyak dan panas. Metode deep frying juga sering digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Setelah digoreng hingga kecokelatan, Kue Rambut siap disajikan.

Citra Rasa Kue Rambut

Kue Rambut memiliki cita rasa yang unik dan khas. Aroma campuran antara tepung yang digoreng dengan wangi gula merah memberikan sensasi yang menggoda selera. Camilan ini memiliki rasa manis dengan sentuhan gurih yang membuatnya begitu disukai oleh banyak orang.

Bentuk unik dan cita rasa yang menggoda membuat Kue Rambut menjadi camilan khas yang sulit ditemukan di daerah lain. Kue ini memiliki daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang mencobanya. Dalam menyimpan Kue Rambut agar tetap segar dan renyah, biasanya masyarakat setempat menyimpannya dalam stoples yang kering dan kedap udara.

Kue Rambut dalam Budaya dan Tradisi Lokal

Selain sebagai camilan lezat, Kue Rambut juga memiliki peran penting dalam budaya dan tradisi lokal di NTT. Camilan ini sering dihidangkan pada berbagai acara adat atau perayaan penting, seperti acara perkawinan, khitanan, atau upacara adat lainnya. Di tengah kemajuan zaman dan perkembangan makanan modern, Kue Rambut tetap mempertahankan keasliannya sebagai camilan khas tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kue Rambut juga memiliki nilai sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat. Banyak perajin kue tradisional yang mengandalkan produksi Kue Rambut sebagai sumber pendapatan mereka. Camilan ini menjadi salah satu potensi wisata kuliner di NTT, sehingga para wisatawan yang datang ke daerah ini juga ikut berkontribusi dalam mendukung perekonomian lokal.

Keunikan Kue Rambut menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin mencicipi kuliner khas NTT. Kini, Kue Rambut telah menjadi salah satu ikon kuliner dari pulau Flores dan Alor. Para pengusaha kuliner juga semakin kreatif dalam mengembangkan dan menyajikan camilan ini dengan berbagai variasi rasa dan bentuk.

Bukan hanya bagi masyarakat setempat, tetapi bagi siapa pun yang mencicipi Kue Rambut, camilan ini akan meninggalkan kenangan kuliner yang tak terlupakan. Rasakan sendiri kelezatan Kue Rambut dan nikmati pesona kuliner tradisional Nusa Tenggara Timur yang memikat!

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer