Masjid Lawang Kidul, salah satu masjid tertua di Palembang, Sumatra Selatan, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan pentingnya peran agama Islam dalam perkembangan kota ini. Dibangun pada tahun 1881, masjid ini telah menjadi salah satu simbol bersejarah di Palembang. Artikel ini akan menjelaskan sejarah masjid Lawang Kidul serta mencermati aspek arsitektur dan perjuangan seputar masjid ini.
Sejarah Masjid Lawang Kidul
Pada abad ke-19, pertumbuhan komunitas Muslim di Palembang sangat pesat, tetapi sarana peribadatan (masjid) yang ada tidak memadai untuk menampung jumlah yang semakin meningkat. Masjid Agung Palembang adalah satu-satunya masjid jami' di kota ini yang memenuhi syarat untuk melaksanakan shalat Jumat. Untuk mengatasi masalah ini, Mgs. H. Abdul Hamid (Ki Marogan), seorang ulama dan pengusaha sukses, memutuskan untuk membangun dua masjid baru di Palembang.
Pada tahun 1871 dan 1881, Ki Marogan membangun dua masjid penting: Masjid Muara Ogan (Masjid Ki Marogan) di Kampung Karang Berahi atau muara Sungai Ogan, dan Masjid Lawang Kidul di Kampung Lawang Kidul (5 Ilir). Masjid Muara Ogan melayani warga dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 ulu serta kampung Karang Berahi, sementara Masjid Lawang Kidul melayani warga dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 Ilir dan Kampung Tuan Kapar 14 Ulu. Semua masjid yang dibangun oleh Ki Marogan dilengkapi dengan perlengkapan seperti lampu, lampu kandil, lampu satron, dan peralatan lainnya yang berkaitan dengan masjid.
Sepuluh tahun setelah pembangunan Masjid Lawang Kidul, kedua masjid yang dibiayai sendiri oleh Ki Marogan ini diwakafkan menjadi milik umat Muslim di kota Palembang.
Arsitektur Masjid Lawang Kidul
Masjid Lawang Kidul memiliki arsitektur yang mirip dengan Masjid Agung Palembang, meskipun lebih kecil dalam ukuran. Salah satu ciri khasnya adalah menara masjid yang mempertahankan bentuk yang unik. Atap menara ini berbentuk limas segi empat yang bertingkat dua. Pada atapnya, terdapat tanduk-tanduk yang mengingatkan pada atap Masjid Agung Palembang yang terinspirasi oleh arsitektur masjid Hunan di Cina.
Interior Masjid Lawang Kidul didukung oleh empat tiang kayu utama yang besar, serta dua belas tiang lain yang lebih ramping. Keunikan lain dari interior masjid ini terlihat pada mimbar, yang dihiasi dengan bendera hijau bertuliskan kalimat-kalimat Islam seperti syahadat dan asma'ul husna. Mimbar ini juga diukir dengan gaya khas Palembang, dengan ukiran yang mencantumkan tanggal wakaf, yaitu 26 Sya'ban 1310 Hijriyah atau 17 September 1892 Masehi.
Perjuangan dan Kontroversi
Selama sekitar 21 tahun, Masjid Lawang Kidul menjadi pusat kontroversi terkait pelaksanaan shalat Jumat. Konflik ini melibatkan dua kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang sahnya pelaksanaan shalat Jumat di masjid ini. Perselisihan ini berakhir pada tahun 1914, ketika salah satu kelompok pengurus masjid meminta fatwa dari ulama Betawi, Syech Yusuf Ha’yat, yang membolehkan pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Lawang Kidul. Fatwa ini, yang turut didukung oleh Syarikat Indonesia cabang Palembang, mengizinkan shalat Jumat dengan catatan pelaksanaannya harus 30 menit setelah shalat Jumat di Masjid Agung.
Kontroversi ini telah menjadi bagian dari sejarah masjid ini dan mencerminkan perjuangan masyarakat setempat dalam menjaga hak mereka untuk beribadah di masjid ini.
Masjid Lawang Kidul adalah contoh nyata arsitektur yang memukau dan sejarah yang kaya. Sebagai salah satu masjid tertua di Palembang, masjid ini terus menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya bagi warga setempat, serta menarik perhatian para pengunjung yang ingin menjelajahi warisan sejarah kota Palembang.