Menjelajahi Kelezatan Lontong Sayur, Kuliner Tradisional dari Sumatera Barat

Halo para pembaca Inkarnasi Kata, dalam artikel ini kami akan memberikan informasi tentang kuliner tradisional yang berasal dari Sumatera Barat. Kuliner yang akan kami bahas kali ini adalah lontong sayur. Ayo kita jelajahi lebih dalam tentang hidangan yang satu ini.

Lontong sayur, makanan khas Sumatera Barat. (sumber: Instagram/Norita Foods)

Lontong gulai atau lontong sayur adalah makanan khas Indonesia yang berasal dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Salah satu ciri khas lontong ini adalah kuah santan yang kaya akan bumbu rempah, yang merupakan salah satu ciri khas masakan Minang. Beberapa variasi lontong gulai yang populer meliputi lontong gulai paku, lontong gulai tauco, dan lontong gulai cubadak. Hidangan ini sering disajikan bersama telur bulat, mie goreng, dan kerupuk merah. Bahkan saat ini, dalam hidangan lontong sayur, juga ditambahkan tunjang sebagai pelengkap. Biasanya, lontong sayur menjadi pilihan sarapan pagi bagi penduduk Sumatera Barat.

Halo para pembaca Inkarnasi Kata, dalam artikel ini kami telah membagikan informasi tentang kuliner tradisional dari Sumatera Barat, yaitu lontong sayur. Jika Anda tertarik mencicipi lontong sayur, Anda bisa mengunjungi penjual lontong sayur di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda dapat mencari berbagai resep lontong sayur dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner selanjutnya.

Share:

Mengungkap Harta Karun Sejarah Komunikasi di Museum Penerangan: Bagian 2

Selamat datang kembali pada Bagian 2 dari petualangan kita dalam menggali harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan. Setelah mengupas sejumlah koleksi menarik pada bagian sebelumnya, kita akan melanjutkan perjalanan menarik ini dengan lebih dalam lagi. Museum ini memang menjadi jendela yang membuka cakrawala sejarah komunikasi, memaparkan ragam artefak yang memukau dan menceritakan perjalanan panjang evolusi komunikasi manusia. Mari kita bersama-sama menjelajahi warisan berharga ini dan memahami bagaimana alat-alat sederhana dari masa lampau menjadi landasan bagi dunia komunikasi yang canggih seperti yang kita nikmati saat ini.

Presiden Soeharto pada Peringatan Hari Pangan Sedunia

Koleksi 11. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang menarik ini menggambarkan momen istimewa dalam Peringatan Hari Pangan Sedunia, yang dihadiri oleh Presiden Soeharto secara langsung di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Melalui peringatan ini, Indonesia merayakan pencapaian gemilang sebagai negara swasembada beras. Keberhasilan ini tak terlepas dari semangat kuat swasembada yang digaungkan oleh pemerintah, khususnya kepada para petani. Lebih dari sekadar persoalan pangan, Presiden Soeharto kerap mengajak masyarakat untuk mandiri dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, termasuk kesehatan, kemiskinan, dan populasi. 

Dengan nomor registrasi 2.67 dan tahun registrasi 1993, diorama ini menjadi bukti berharga dari perjuangan dan semangat Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan vital. Dengan bahan terbuat dari serat, kayu, dan karet, diorama ini memberikan wujud konkret dari sejarah yang tak ternilai.

Set Film Si Unyil

Koleksi 12. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

“Si Unyil” adalah salah satu acara televisi yang meraih popularitas besar di kalangan anak-anak pada masa lalu. Pertama kali mengudara pada tanggal 5 April 1981, acara ini menceritakan keseharian seorang anak petani bernama Unyil, yang selalu dikenali dengan ciri khasnya mengenakan sarung dan peci. Dalam set film “Si Unyil”, terdapat 17 karakter yang memeriahkan cerita. Serangkaian episode “Si Unyil” mengandung berbagai pesan moral yang mendalam, seperti pentingnya menabung, kejujuran, menjaga kebersihan demi kesehatan, dan banyak lainnya. 

Dengan nomor registrasi 3.47 dan tahun registrasi 1993, acara ini menjadi bagian penting dalam warisan budaya yang tak tergantikan. Meski detail mengenai kontributor, bahan, dan ukuran belum tertera, “Si Unyil” tetap diingat sebagai sajian inspiratif yang menyemai nilai-nilai positif dalam benak generasi muda.

Studio RRI

Koleksi 13. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Dalam diorama ini, ditampilkan studio Radio Republik Indonesia (RRI) yang merepresentasikan suasana studio pada era 1990-an. Diorama ini memberikan gambaran tentang bagaimana studio RRI beroperasi dengan perangkat manual pada masa tersebut. Terdiri dari dua ruangan, diorama ini mencakup studio rekaman dan ruangan teknisi. Tiga patung yang terdapat dalam diorama ini menggambarkan personel yang terlibat dalam sebuah siaran, termasuk teknisi dan penyiar. 

Dengan nomor inventaris MP.PC/RAD0131 dan kontributor Kasman K.S., diorama ini dibuat dari bahan serat, kayu, dan karet. Meskipun detail nomor registrasi, tahun registrasi, dan ukuran belum tertera, diorama ini memberikan wawasan visual mengenai tata letak dan peralatan yang digunakan dalam studio RRI pada era tersebut.

Fernseh GmbH Electronic Stadium Camera

Koleksi 14. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera ini merupakan salah satu model kamera canggih dengan resolusi tinggi yang populer pada tahun 1970-an. Dikenal dengan kemampuannya yang luar biasa dalam merekam gambar dengan luas yang luas, kamera ini sering digunakan untuk merekam berbagai pertandingan di stadion. 

Dengan nomor registrasi 5.4 dan tahun registrasi 1993, kamera ini terdaftar dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0078. Dikontribusikan oleh Robert Bosch GmbH, kamera ini dibuat dari logam campuran, kaca, kayu, dan plastik, dan memiliki dimensi sekitar p: 97 cm, l: 97 cm, t: 145 cm. Kamera ini merupakan contoh nyata dari perkembangan teknologi kamera pada masanya, menghasilkan gambar berkualitas tinggi dan luas dalam situasi seperti pertandingan olahraga di stadion.

Gendang Tradisional Sulawesi

Koleksi 15. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Gendang yang saat ini menjadi bagian dari koleksi menghadirkan jejak seremonial Departemen Penerangan yang bersejarah. Gendang ini memiliki peran penting dalam acara Penerangan Pedesaan Tingkat Nasional ke-5, yang diadakan pada tahun 1992 di Sumpang Binangae, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Nomor registrasi 2.49 dan tahun registrasi 1993 mengidentifikasi gendang ini dalam inventaris dengan nomor MP.PC/PEU0026. Terbuat dari kulit, kayu, dan kain, gendang ini memiliki dimensi p: 68 cm, l: 35 cm, t: 62 cm. Selain sebagai alat musik tradisional di Sulawesi, gendang juga memiliki nilai signifikan sebagai alat komunikasi tradisional dalam budaya masyarakat setempat. Gendang ini menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah dan budaya yang tercermin dalam seremoni Penerangan Pedesaan Tingkat Nasional yang berlangsung lebih dari tiga dekade lalu.

Gramofon

Koleksi 16. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Gramofon yang terpajang dalam koleksi ini membawa kita kembali ke zaman lampau di mana ia adalah alat yang berharga di rumah-rumah penduduk. Pada masa itu, Gramofon digunakan untuk memutar piringan hitam tunggal dengan kecepatan 78 rpm, seperti yang diproduksi oleh Lokananta. Dengan nomor registrasi 4.11 dan tahun registrasi 1993, gramofon ini tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0078. Terdiri dari bahan kuningan dan kayu, gramofon ini memiliki dimensi p: 80 cm, l: 41 cm, t: 84 cm. Gramofon ini dirancang dalam bentuk kotak kayu yang dilengkapi dengan alat engkol manual untuk menggerakkan putaran, serta alat logam berbentuk paku yang dipasang pada piringan hitam yang sedang diputar untuk membaca guratan dalam piringan hitam tersebut. Di bagian atasnya, terdapat pengeras suara yang berbentuk seperti terompet corong besar, terbuat dari kuningan dengan nuansa warna kuning keemasan yang menciptakan nuansa nostalgia akan masa lalu yang kaya akan kenangan musik.

Infografik Proses Produksi Film di Indonesia

Koleksi 17. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Papan informasi yang tersaji di sini memberikan gambaran menyeluruh tentang tahapan-tahapan pembuatan film di Indonesia. Dengan nomor registrasi 3.51 dan tahun registrasi 1993, papan informasi ini tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0084. Dibuat dari bahan kertas dan kayu, papan informasi ini memiliki dimensi ukuran display p: 176 cm, l: 50 cm, t: 165 cm. Melalui papan informasi ini, pengunjung dapat memahami langkah-langkah kompleks yang terlibat dalam proses kreatif produksi film di Indonesia, yang melibatkan berbagai elemen mulai dari ide perencanaan, produksi, hingga penyutradaraan. Informasi yang disajikan pada papan ini memperkaya pemahaman akan dunia perfilman Indonesia dan proses di balik layar yang membentuk karya-karya sinematik yang kita nikmati.

Interkom TVRI

Koleksi 18. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Interkom memiliki peran penting dalam mendukung komunikasi antara seluruh personil produksi dan produksi teknik, memungkinkan kolaborasi yang efisien dalam dunia produksi. Alat interkom ini memiliki nomor registrasi 5.93 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/TV0318. Dibuat dari bahan kayu dan plastik, alat interkom ini memiliki dimensi p: 46 cm, l: 27 cm, t: 15.5 cm. Menariknya, interkom ini memiliki nilai sejarah yang signifikan, karena merupakan interkom pertama yang dimiliki oleh TVRI sejak berdirinya pada tahun 1962. Penggunaan alat interkom ini memberikan wawasan lebih dalam tentang perkembangan teknologi komunikasi dalam industri penyiaran di Indonesia, memfasilitasi koordinasi dan komunikasi yang lebih baik di dalam lingkungan produksi televisi.

Kamera Film “Darah dan Doa”

Koleksi 19. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera ini memiliki peran bersejarah yang sangat penting dalam industri perfilman Indonesia. Kamera ini digunakan dalam pembuatan film pertama Indonesia yang sepenuhnya diproduksi oleh orang Indonesia, yaitu film "Darah dan Doa." Film ini menjadi karya nasional yang mencatat sejarah sebagai tonggak awal munculnya perfilman Indonesia, dengan semua aspek produksi, mulai dari sutradara, kru, hingga pemain, dilakukan oleh orang Indonesia. Sutradara Usmar Ismail adalah sosok di balik film ini yang menjadi landasan bagi kemunculan produksi film nasional berikutnya.

Pengambilan gambar pertama film "Darah dan Doa" terjadi pada tanggal 30 Maret 1959, dan peristiwa ini menjadi momen penting yang bahkan diperingati sebagai Hari Film Nasional setiap tahunnya. Kamera ini memiliki nomor registrasi 3.37 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0012. Kamera ini terbuat dari logam dan kaca, memiliki dimensi p: 44 cm, l: 25,5 cm, t: 35 cm.

Kamera ini bukan hanya alat teknis, melainkan juga simbol perjuangan dan semangat di balik perkembangan industri perfilman nasional Indonesia. Kehadirannya membawa nilai historis yang menginspirasi dan mengingatkan akan pentingnya berkarya dalam mendukung perkembangan budaya dan seni di tanah air.

Kamera Film Mitchell

Koleksi 20. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Kamera film berukuran 35 mm ini memiliki nilai historis yang signifikan dalam industri perfilman Indonesia. Kamera ini aktif digunakan di Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, membawa perubahan besar dalam cara produksi dan penyutradaraan film. Kamera ini memiliki nomor registrasi 2.41 dan tahun registrasi 1993, serta tercatat dalam inventaris dengan nomor MP.PC/FIL0128. Dibuat dari logam dan kaca, kamera ini memiliki dimensi p: 24 cm, l: 26 cm, t: 22.5 cm.

Dalam sejarah perfilman Indonesia, penggunaan kamera film 35 mm ini memungkinkan pembuatan film dengan kualitas gambar yang lebih baik dan profesional. Ukuran 35 mm menjadi standar umum dalam dunia perfilman pada masa itu, dan kamera ini menjadi alat yang sangat penting dalam merekam karya-karya visual yang berdampak besar bagi perkembangan industri perfilman nasional. Kamera ini tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi, tetapi juga nilai seni dan budaya yang diabadikan melalui medium film.

Tidak dapat disangkal bahwa petualangan ini telah membuka mata kita lebih lebar terhadap kaya dan beragamnya harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan. Melalui setiap koleksi yang dipamerkan, kita telah memasuki lorong waktu yang membawa kita kembali ke era-era yang berbeda, merasakan semangat dan inovasi yang mendasari perjalanan komunikasi manusia. Dari gendang tradisional Sulawesi hingga alat interkom pertama TVRI, dari studio RRI era 1990-an hingga kamera film yang merekam peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, setiap koleksi memberikan lapisan baru dalam pemahaman kita tentang peran komunikasi dalam membentuk perjalanan budaya, teknologi, dan masyarakat.

Namun, cerita kita belum selesai. Kami mengundang Anda untuk melanjutkan perjalanan menarik ini pada Bagian 3, di mana kita akan menjelajahi koleksi-koleksi lainnya yang akan mengungkapkan lebih banyak lagi tentang perjalanan komunikasi yang telah membentang sepanjang waktu. Sampai jumpa di Bagian 3, di mana kisah harta karun sejarah komunikasi akan terus menghidupkan semangat pengetahuan dan apresiasi kita.

Share:

Mengungkap Harta Karun Sejarah Komunikasi di Museum Penerangan: Bagian 1

Dalam gelapnya malam zaman, cahaya pengetahuan dan informasi menjadi pelita yang membimbing peradaban manusia. Dari kata-kata yang diucapkan hingga gambar-gambar yang merambah pikiran, media penerangan telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah manusia. Di tengah gemuruh zaman modern, terdapat sebuah tempat yang memelihara harta karun bersejarah ini, sebuah tempat di mana koleksi-koleksi yang membawa jejak-jejak perjalanan komunikasi dari masa ke masa ditempatkan dengan hormat dan kecermatan.

Selamat datang di Museum Penerangan, tempat di mana cahaya sejarah komunikasi Indonesia bersinar terang. Melalui artikel blog ini, kami akan membawa Anda dalam perjalanan menggali daftar koleksi menarik dari Museum Penerangan yang menggambarkan evolusi komunikasi dan penerangan dari masa ke masa. Sebuah perjalanan yang mengungkap makna mendalam di balik setiap benda dan artefak yang disimpan di balik dinding-dinding museum ini.

Dari benda-benda yang menceritakan kisah radio pertama hingga peralatan modern yang membawa pesan-pesan kilat di era digital, koleksi-koleksi Museum Penerangan akan mengajak Anda untuk merenungi betapa pentingnya peran komunikasi dalam membentuk jati diri bangsa dan membangun hubungan yang lebih baik antara manusia. Mari kita mulai perjalanan kita untuk mengungkap sebagian dari harta karun sejarah komunikasi di Museum Penerangan dalam bagian pertama artikel ini.

Untuk itu, mari kita simak Bagian 1 dari benda koleksi yang ada di Museum Penerangan.

Alat Perekam untuk Blanks Fonograf

Koleksi 1. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Pada tahun 1958, Radio Republik Indonesia (RRI) memulai penggunaan alat perekam blank yang berperan penting dalam dunia siaran. Alat ini difungsikan untuk mencetak blank, yang merujuk pada piringan alumunium yang dilapisi bahan film lunak. Blank tersebut memiliki peran sentral dalam proses siaran, di mana bahan siaran yang telah direkam pada pita suara tape recorder dapat dijejalkan ke dalam blank. Hal ini memungkinkan operasional siaran melalui meja putar piringan hitam menjadi lebih efisien dan lancar.

Nomor Registrasi: 4.3, serta Tahun Registrasi: 1993, menandakan pentingnya alat ini sebagai bagian dari koleksi Museum Penerangan. Dengan nomor inventaris MP.PC/RAD0039, kontribusi dari pihak Presto dalam mempersembahkan alat ini juga diabadikan. Terbuat dari bahan besi campuran dan plastik, alat perekam blank memiliki dimensi yang mengesankan, dengan ukuran panjang 91 cm, lebar 61 cm, dan tinggi 140 cm.

Melalui alat perekam blank ini, kita dapat melihat bagaimana teknologi telah memainkan peran krusial dalam pengembangan dan kemajuan dunia siaran. Dari penggunaan bahan film lunak hingga integrasi dengan meja putar piringan hitam, alat ini merepresentasikan tonggak sejarah yang memberi warna pada perjalanan komunikasi dan penerangan di Indonesia.

Arloji Roskopf Juru Penerangan

Koleksi 2. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Arloji yang berada di hadapan kita memiliki sejarah yang tak ternilai sebagai milik salah satu Juru Penerangan pada masa awal kemerdekaan. Dalam era di mana akses media seperti televisi dan radio belum merata, peran Juru Penerangan menjadi sangat penting. Mereka adalah pahlawan yang membawa pesan-pesan dan program pemerintah ke daerah-daerah pedalaman, tempat di mana informasi sulit dijangkau. Melalui medan sulit, mereka berjuang untuk memberikan penerangan kepada masyarakat Indonesia.

Dengan nomor registrasi 2.22 dan tahun registrasi 1993, arloji ini menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi Museum Penerangan. Dengan nomor inventaris MP.PC/PEU0089, kontribusi dari Roskopf Watches dalam mewujudkan arloji ini juga diabadikan. Terbuat dari bahan besi campuran, arloji ini mengesankan dengan ukuran diameter 5 cm dan tebal 2.3 cm.

Sebuah arloji yang tampaknya sederhana ini mengingatkan kita pada peran luar biasa yang dimainkan oleh Juru Penerangan pada masa lalu. Mereka adalah penjelajah dan pembawa cahaya informasi di tengah keterbatasan sarana komunikasi. Arloji ini bukan sekadar benda, melainkan simbol dari semangat dedikasi yang luar biasa, mengingatkan kita akan pentingnya memberikan penerangan pada setiap sudut negeri.

Audio Mixer untuk Studio Pertama TVRI

Koleksi 3. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Audio Mixer yang Anda lihat memiliki sejarah yang menghubungkannya dengan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta serta acara-acara kenegaraan lainnya. Dalam konteks ini, peran Audio Mixer menjadi sangat krusial. Fungsi utamanya adalah untuk mengatur suara di studio sehingga suara yang dipancarkan dapat dinikmati oleh pemirsa televisi dengan jelas dan tanpa gangguan.

Dengan nomor registrasi 4.3 dan tahun registrasi 1993, Audio Mixer ini menjadi bagian yang tak ternilai dari koleksi Museum Penerangan. Nomor inventaris MP.PC/TV0070a menandakan kontribusi dari Philips dalam menciptakan perangkat ini. Terbuat dari bahan kayu, plastik, dan besi, Audio Mixer ini mengesankan dengan ukuran panjang 42.5 cm, lebar 27.5 cm, dan tinggi 42 cm.

Sebuah perangkat yang mungkin terlihat sederhana, Audio Mixer ini memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan pengalaman visual dan auditori yang berkualitas dalam setiap acara. Ia membawa kita kembali ke masa di mana penyiaran acara-acara besar adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Audio Mixer ini, selain menjadi benda koleksi, juga merupakan simbol perjalanan teknologi dan komunikasi yang telah membentuk bentuk hiburan dan informasi yang kita nikmati saat ini.

Buku Catatan Adinegoro

Koleksi 4. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Buku catatan yang ada di hadapan kita memiliki nilai historis yang tak ternilai, menjadi milik seorang tokoh pers yang diakui, Adinegoro. Beliau, dengan nama asli Djamaluddin, adalah seorang jurnalis berpengaruh yang telah meninggalkan jejak signifikan dalam dunia pers. Kegigihannya dalam mencatat gagasan dan pemikiran tampak dalam buku catatan ini, yang menjadi saksi bisu atas dedikasinya sebagai seorang jurnalis.

Dalam dunia di mana pena dan kertas adalah senjata utama jurnalis, Adinegoro dikenal sangat rajin mencatat setiap gagasan dan pandangannya dalam buku catatan ini. Buku catatan ini kemudian menjadi sumber inspirasi untuk naskah-naskah serta artikel-artikel yang ditulisnya di berbagai surat kabar. Isinya beragam, mengandung tulisan tangan pribadi serta kliping dari berbagai nota seminar dan konferensi yang menjadi referensinya.

Dengan nomor registrasi 1.133 dan tahun registrasi 1993, buku catatan ini menjadi salah satu harta berharga dalam koleksi Museum Penerangan. Nomor inventaris MP.PC/PER0322c menunjukkan pentingnya kontribusi dari berbagai pihak yang menjaga kelestarian dan sejarah buku catatan ini. Terbuat dari kertas, buku catatan ini memiliki dimensi yang mengesankan, dengan panjang 18.5 cm, lebar 2.5 cm, dan tinggi 22 cm.

Buku catatan ini bukan hanya sekadar benda fisik, melainkan jendela ke dalam dunia seorang Adinegoro dan proses kreatifnya dalam menciptakan tulisan yang mempengaruhi banyak orang. Ia mengingatkan kita tentang pentingnya catatan sebagai wadah untuk merekam pemikiran dan ide-ide berharga yang dapat membentuk arah perjalanan sejarah pers dan komunikasi di Indonesia.

Cetakan Alat Pres Piringan Hitam Lokananta

Koleksi 5. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Alat Pres Piringan Hitam yang hadir di depan kita memiliki jejak sejarah yang tak terhingga, menjadi bagian penting dari perusahaan pencetak piringan hitam legendaris, Lokananta. Pada tahun 1956, di kota Solo, Jawa Tengah, Lokananta berdiri sebagai pelopor dalam dunia produksi musik di Indonesia. Dengan perjalanan waktu, studio ini pun berkembang menjadi yang tertua di tanah air, menjadi saksi bisu perubahan dan perkembangan dalam industri musik kita.

Dengan nomor registrasi 4.5 dan tahun registrasi 1993, Alat Pres Piringan Hitam ini menjadi jendela yang menghubungkan kita dengan warisan Lokananta. Nomor inventaris MP.PC/RAD0038 menunjukkan pentingnya kontribusi berbagai pihak dalam melestarikan artefak berharga ini. Terbuat dari logam, alat pres ini memiliki dimensi yang mengesankan, dengan diameter 32 cm dan ketebalan 6 cm.

Alat Pres Piringan Hitam ini bukan hanya sekadar benda fisik, melainkan cerminan dari perjalanan panjang Lokananta dalam menghasilkan karya-karya musik yang telah memengaruhi banyak generasi. Ia mengingatkan kita akan peranan penting studio musik ini dalam membentuk identitas musik Indonesia, serta perubahan teknologi yang telah mengubah cara kita mendengarkan musik dari zaman ke zaman. Dengan melihat artefak bersejarah ini, kita dapat merenung tentang bagaimana musik tidak hanya beresonansi dengan hati, tetapi juga dengan perjalanan sejarah kita.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo Memimpin Kantor Koran Retnodhoemilah

Koleksi 6. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Surat kabar yang muncul pada tanggal 18 Agustus 1945 di wilayah Jawa Timur ini menjadi saksi bisu dari momen penting dalam sejarah, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Koran ini membawa bukti nyata tentang kecepatan dan tekad dari berbagai pihak untuk menyebarkan berita yang vital. Koran ini membuktikan bahwa upaya penyebaran informasi yang signifikan, seperti Proklamasi Kemerdekaan, telah melibatkan para angkasawan radio dan media massa. Dalam hal ini, koran ini memiliki peran berarti dalam menyebarkan berita penting ini.

Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dicetak dalam bahasa Jawa, sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam koran ini. Di samping itu, koran ini juga memuat laporan mengenai perkembangan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Melalui koran ini, kita dapat menyaksikan bagaimana berbagai peristiwa penting pada masa itu diabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Dengan nomor registrasi 1.128 dan tahun registrasi 1993, koran ini menjadi bagian yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam memelihara dan mendokumentasikan koran ini turut diakui. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, koran ini menghadirkan sejarah dalam bentuk fisik. Detail ukuran koran ini sayangnya tidak disertakan dalam data yang diberikan.

Koran ini adalah bukti yang menghubungkan kita dengan masa lalu, mengingatkan kita akan pentingnya media massa sebagai alat penyebaran informasi dan penghubung antara peristiwa bersejarah dengan masyarakat luas. Ia mengilustrasikan komitmen kolektif untuk menyebarkan nilai-nilai penting dalam sejarah kita dan melibatkan masyarakat dalam perjalanan menuju kemerdekaan.

Lahirnya TVRI

Koleksi 7. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang terpajang di hadapan kita menjadi jendela ke dalam peristiwa bersejarah yang tak terlupakan, yaitu liputan acara ASIAN GAMES IV yang diadakan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1962. Ajang ASIAN GAMES IV ini memiliki makna yang lebih mendalam karena menjadi peristiwa pertama yang dicover oleh TVRI, sebuah tonggak penting dalam sejarah penyiaran di Indonesia. Meski sebelumnya TVRI telah merekam gambar pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI, tanggal 23 Agustus 1962 dipilih sebagai hari kelahiran resmi TVRI, mengantisipasi pelaksanaan ASIAN GAMES IV yang berlangsung hanya satu hari setelahnya.

Lebih dari sekadar gambaran visual, diorama ini mengabadikan saat-saat penting dalam perkembangan televisi di Indonesia. ASIAN GAMES IV menjadi momentum yang memperlihatkan kemampuan dan potensi TVRI dalam meliput peristiwa besar. TVRI, sebagai lembaga penyiaran resmi, telah memainkan peran yang vital dalam membangun kesadaran nasional dan menghubungkan seluruh negeri melalui layar televisi. Hingga hari ini, TVRI terus menjalankan fungsinya dan memiliki kantor yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

Dengan nomor registrasi 5.76 dan tahun registrasi 1993, diorama ini memasukkan kita ke dalam peristiwa bersejarah dengan cara yang penuh keterlibatan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini juga turut diakui. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, diorama ini menghidupkan kembali masa lalu. Meskipun detail ukuran diorama tidak tercantum dalam data, namun ia tetap menjadi jendela penting yang menghubungkan kita dengan warisan penyiaran dan olahraga di Indonesia.

Studio TVRI Tahun 1990-an

Koleksi 8. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Ruang ini menghadirkan gambaran hidup dari suasana studio TVRI pada era 1990-an. Terbagi menjadi dua ruangan, kita dapat melihat ruang kendali (monitoring) serta ruang studio siaran dalam konteks yang mendalam. Di tengahnya, terdapat patung yang menggambarkan kelengkapan personel yang tak terpisahkan dalam sebuah produksi siaran televisi. Dari pembawa acara hingga bintang tamu, kameramen, dan produser, patung ini menjadi potret hidup yang merepresentasikan berbagai peran di balik layar.

Lebih dari sekadar visual, ruangan ini membawa kita kembali ke zaman ketika produksi televisi masih dipengaruhi oleh teknologi dan keadaan pada masa itu. Sebuah refleksi dari waktu di mana TVRI telah berperan sebagai jembatan utama antara pemerintah dan masyarakat. Seiring dengan proses siaran yang terus berkembang, ruangan ini menjadi tempat di mana kelengkapan perangkat yang diperlukan dalam menunjang siaran televisi tersusun dengan rapi.

Dengan nomor registrasi 5.89 dan tahun registrasi 1993, ruangan ini menjadi potret yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Meski detail bahan dan ukuran ruangan tidak dijelaskan dalam data yang diberikan, kontribusi dari berbagai pihak dalam menjaga dan melestarikan ruangan ini patut diakui. Ruangan ini melambangkan semangat kerja kolektif yang terlibat dalam produksi siaran televisi, mengingatkan kita pada evolusi teknologi dan pengaruh media yang telah membentuk cara kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia.

Penyerbuan G30S di Studio RRI

Koleksi 9. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang kita hadapi merupakan cerminan masa lalu yang penuh tantangan dan risiko, terutama pada periode sebelum reformasi. Menyampaikan fakta di tengah konteks tersebut tidaklah mudah, dan dalam beberapa kasus, nyawa pun menjadi taruhannya. Dalam diorama ini, kita memasuki dunia yang membayangkan risiko yang dihadapi oleh seorang penyiar dari Radio Republik Indonesia (RRI) pada masa G30S PKI.

Pada masa yang penuh ketidakpastian tersebut, penyiar dan operator RRI Jakarta diperhadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka untuk menyiarkan berita yang tidak sesuai dengan hati nurani dan menyalahi prosedur yang seharusnya diikuti. Diorama ini menjadi gambaran dari tekanan psikologis dan moral yang harus mereka hadapi, di mana tuntutan untuk menyampaikan pesan yang tidak benar bisa mengancam integritas mereka sebagai penyampai informasi.

Dengan nomor registrasi 1.102 dan tahun registrasi 1993, diorama ini adalah jendela yang menghubungkan kita dengan masa lalu yang penuh warna dan kompleksitas. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini merupakan bagian tak terpisahkan dari melestarikan sejarah yang tak boleh dilupakan. Terbuat dari serat fiber, kayu, dan karet, diorama ini menghadirkan gambaran fisik tentang momen krusial dalam sejarah komunikasi di Indonesia. Meskipun tidak ada informasi yang diberikan mengenai detail ukuran diorama, tetapi ia tetap menjadi gambaran yang kuat tentang peran dan pengaruh media dalam situasi yang penuh risiko dan tekanan.

Presiden Soeharto Memberikan Trofi Kelompencapir

Koleksi 10. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Diorama yang kita saksikan merefleksikan sebuah momen bersejarah, yaitu penyerahan piala Kelompencapir terbaik tingkat Nasional oleh Presiden Soeharto, yang berlangsung di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Kelompencapir merupakan singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa. Di masa lalu, pertukaran informasi antar individu dilakukan melalui diskusi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari berbagai kalangan. Di dalam lingkup ini, informasi dari radio, televisi, dan surat kabar menjadi bahan pembicaraan yang saling dipertukarkan.

Diorama ini mengingatkan kita tentang cara berbagi informasi pada masa lampau, di mana berdiskusi secara langsung di dalam kelompok menjadi sebuah sarana vital dalam mendapatkan dan menyebarkan informasi. Piala Kelompencapir terbaik tingkat Nasional yang diberikan oleh Presiden Soeharto mengakui kontribusi signifikan dari para anggota kelompok ini dalam penyebaran informasi.

Nomor registrasi 2.26 dan tahun registrasi 1993 menjadikan diorama ini sebagai benda bersejarah yang tak ternilai dalam koleksi Museum Penerangan. Kontribusi dari Kasman K.S. dalam merawat dan mendokumentasikan diorama ini merupakan bagian penting dalam menjaga sejarah yang berharga. Meskipun informasi tentang bahan dan ukuran diorama tidak tersedia dalam data yang diberikan, diorama ini tetap menjadi jendela yang menghubungkan kita dengan praktik komunikasi masa lalu yang berperan penting dalam membentuk komunitas dan penyebaran informasi di Indonesia.

Sejarah komunikasi adalah perjalanan yang menghubungkan kita dengan jejak-jejak penuh makna dari masa ke masa. Setiap artefak, buku catatan, alat, dan diorama yang ada dalam koleksi Museum Penerangan menjadi jendela yang membawa kita menyelami nilai-nilai, perjuangan, dan evolusi komunikasi di Indonesia. Dalam Bagian 1 artikel ini, kita telah menjelajahi sebagian dari harta karun sejarah komunikasi, dari alat perekam blank yang merekam pesan di balik siaran radio, hingga buku catatan yang menyimpan pemikiran jurnalis berpengaruh seperti Adinegoro, dan diorama yang menghidupkan kembali momen-momen penting dalam perjalanan televisi dan pers di negeri ini.

Jadilah saksi dari perjalanan bersejarah yang tak ternilai ini dan ikuti Bagian 2 artikel kami untuk melanjutkan penjelajahan melintasi koleksi Museum Penerangan. Bersama-sama, kita akan merenungi nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap artefak dan melihat bagaimana komunikasi telah membentuk identitas dan perjalanan bangsa. Sampai jumpa di Bagian 2!

Share:

Perbedaan Antara Tour Leader dan Tour Guide dalam Industri Pariwisata

Ilustrasi tour guide. (sumber: magentaldcc.com)

Dalam dunia pariwisata, terdapat dua istilah yang seringkali membingungkan banyak orang, yaitu Tour Leader dan Tour Guide. Meskipun keduanya memiliki tugas yang tampak serupa, namun sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Dalam artikel ini, kita akan membahas perbedaan mendasar antara Tour Leader dan Tour Guide, serta tanggung jawab dan tugas yang melekat pada kedua jenis pekerjaan ini.

Secara sekilas, Tour Leader dan Tour Guide memang tampak serupa karena keduanya mengiringi dan memberikan pengalaman kepada wisatawan selama perjalanan wisata. Namun, sebenarnya perbedaan di antara keduanya melibatkan aspek-aspek yang lebih mendalam.

Pertama-tama, perbedaan yang paling mencolok adalah dalam hal jadwal dan durasi perjalanan. Seorang Tour Leader memiliki tanggung jawab untuk mengikuti jadwal dan durasi perjalanan yang sama dengan para wisatawan yang dipimpinnya. Dengan kata lain, Tour Leader harus senantiasa hadir dan mengawal rombongan wisatawan dari awal hingga akhir perjalanan. Di sisi lain, seorang Tour Guide bertanggung jawab hanya untuk memberikan penjelasan mendetail tentang destinasi yang menjadi wilayah tanggung jawabnya. Sebagai contoh, seorang Tour Guide untuk kota Yogyakarta hanya akan memberikan informasi seputar pariwisata di kota tersebut.

Kedua, tanggung jawab yang diemban oleh keduanya berbeda. Seorang Tour Leader tidak hanya bertugas memandu wisatawan, tetapi juga memiliki peran dalam mengatur dan memastikan kelancaran perjalanan wisata. Ini meliputi aspek-aspek seperti mengatur jadwal harian, memastikan rombongan tepat waktu, dan memeriksa kehadiran wisatawan. Di samping itu, Tour Leader juga bertanggung jawab untuk memastikan kenyamanan dan keselamatan wisatawan, serta mengatasi masalah yang mungkin muncul selama perjalanan. Namun, jika ada wisatawan yang memilih untuk berpisah dari rombongan tanpa izin, Tour Leader tidak memiliki tanggung jawab atas mereka.

Sebaliknya, seorang Tour Guide memiliki tanggung jawab yang lebih fokus pada memberikan penjelasan yang detail dan menyenangkan tentang destinasi yang menjadi wilayah kerjanya. Penjelasan yang diberikan oleh Tour Guide memiliki dampak besar terhadap persepsi dan pengalaman wisatawan terhadap destinasi yang mereka kunjungi. Karena itu, seorang Tour Guide harus memiliki lisensi resmi dari dinas pariwisata setempat, dan pengetahuannya tentang sejarah dan budaya destinasi tersebut harus sangat mendalam. Tour Guide juga harus mampu menyajikan informasi dengan cara yang menarik dan menghibur agar wisatawan tidak merasa bosan.

Terakhir, terdapat perbedaan dalam pengetahuan tentang sejarah dan budaya. Seorang Tour Leader memiliki tanggung jawab yang lebih luas dalam mengelola seluruh perjalanan wisata, sehingga pengetahuannya tentang sejarah dan budaya masing-masing destinasi mungkin tidak sekomprehensif seorang Tour Guide. Meskipun begitu, seorang Tour Leader sebaiknya memiliki pengetahuan umum tentang destinasi yang dikunjungi serta kemampuan berkomunikasi dalam bahasa daerah jika diperlukan.

Secara kontras, seorang Tour Guide harus memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang sejarah dan budaya destinasi yang menjadi tanggung jawabnya. Pengetahuan ini menjadi kunci dalam memberikan penjelasan yang detail dan memuaskan kepada wisatawan. Biasanya, seorang Tour Guide juga merupakan penduduk lokal yang memiliki hubungan erat dengan destinasi yang mereka pandu.

Dalam kesimpulannya, perbedaan antara Tour Leader dan Tour Guide melibatkan aspek-aspek seperti jadwal, tanggung jawab, dan pengetahuan tentang destinasi. Seorang Tour Leader bertanggung jawab memandu rombongan wisatawan dengan kelancaran, sementara seorang Tour Guide memiliki tugas utama memberikan penjelasan yang detail dan menyenangkan tentang destinasi yang mereka pandu. Kedua peran ini memiliki peran penting dalam memberikan pengalaman yang tak terlupakan kepada para wisatawan.

Share:

Tape Uli: Kuliner Tradisional Manis dari DKI Jakarta

Halo para pembaca Inkarnasi Kata, dalam artikel ini kami akan menghadirkan informasi tentang kuliner tradisional yang berasal dari DKI Jakarta. Kuliner yang akan kami bahas kali ini adalah tape uli. Mari kita simak lebih lanjut mengenai hidangan yang satu ini.

Tape uli, makanan khas DKI Jakarta. (sumber: www.endeus.tv)

Kuliner Betawi memiliki reputasi yang kaya akan keragaman dan sejarah panjangnya. Ini dikarenakan oleh proses akulturasi budaya antara suku Betawi dengan berbagai etnis dari Indonesia, Asia, dan Eropa, yang berkontribusi dalam pembentukan berbagai hidangan khas Betawi, termasuk tape uli atau yang biasa dikenal sebagai tape uli oleh orang Betawi.

Tape uli adalah salah satu makanan tradisional asli Betawi yang telah memiliki sejarah panjang. Hidangan ini, yang terbuat dari fermentasi singkong, sudah dikenal sejak tahun 1957 silam, bahkan mungkin lebih lama. Salah satu variasinya dikenal dengan nama tape uli Cisalak.

Hingga saat ini, tape uli masih sering dihidangkan dalam berbagai acara besar yang melambangkan kebersamaan, seperti perayaan Idulfitri, Iduladha, dan Maulid. Makanan manis ini juga sering dianggap setara dengan berbagai jenis kudapan manis lainnya, seperti madu mongso, tape ketan, dan lain sebagainya.

Sisi Romantis

Penyajian tape uli tidak hanya tentang hasil akhirnya, melainkan juga mencakup unsur kebersamaan dan romantisme dalam proses pembuatannya. Aspek ini terlihat dari tahapan pembuatan tape uli yang melibatkan peran perempuan dan laki-laki.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alim Molana, seorang tokoh masyarakat di Warung Buncit, Jakarta Selatan, dalam proses pembuatan tape uli, tugas kaum pria adalah untuk menumbuk ketan, sementara perempuan memiliki peran penting dalam proses memasak tape uli. 

Proses pembuatan yang sangat romantis ini, demikian yang ditegaskan oleh Alim, telah ada sejak masa kejayaan Majapahit. Tingginya kandungan gluten dalam ketan menjadikan tape uli memiliki sifat lengket, yang pada gilirannya mencerminkan kedekatan antara para pembuat dan para konsumennya dalam berbagai perayaan besar.

Membuat tape uli memerlukan sentuhan lembut, dan aspek kebersihan baik pada bahan maupun tempat penyimpanannya menjadi sangat penting. Menurut Alim, ini termasuk dalam aturan-aturan khusus dalam proses pembuatan tape uli, dan jika diabaikan, dapat mengakibatkan kegagalan total ketika hidangan ini disajikan.

Proses Pembuatan

Bahan utama dari tape uli adalah tape ketan, ragi tape, kelapa parut segar, beras ketan putih, dan garam. Seperti yang disebutkan oleh Alim, pembuatan tape uli adalah sebuah proses yang tidak mudah. Diperlukan tingkat ketelatenan dan kesabaran yang tinggi, terutama dalam proses mengukus ketan.

Pertama-tama, langkah awal adalah merendam beras ketan yang sudah dibersihkan selama 2 hingga 6 jam. Setelah direndam, beras ketan ditiriskan dan kemudian dikukus sampai matang. Setelah itu, ketan yang sudah matang langsung dipindahkan ke dalam sebuah wadah dan ditabur dengan kelapa parut segar dan garam. Lalu, aduk-aduk hingga merata.

Tak lupa, persiapkan juga ragi dan tumbuk hingga halus. Tingkat kelembutan dari tape uli bisa diatur dengan cara mengatur tingkat kehalusan ragi yang digunakan dalam proses ini.

Selanjutnya, ragi yang sudah dihaluskan ditaburkan pada ketan yang sudah dingin. Ketan kemudian dimasukkan secara perlahan ke dalam wadah sambil ditaburi ragi. Proses pembuatan ketan diakhiri dengan membungkus tape uli.

Jika Anda ingin menciptakan tape uli dengan rasa yang begitu lezat dan memikat lidah, ada baiknya mencoba menggunakan jenis ketan yang berbeda untuk tape dan uli. Untuk tape, gunakan ketan solos, sementara untuk uli, ketan paris adalah pilihannya yang tepat.

Selain itu, perhatikan juga perpaduan rasa asam, manis, dan gurih. Pastikan bahwa takaran ketiga elemen ini seimbang dan sesuai satu sama lain. Kecil atau besarnya perbedaan takaran dapat berakibat pada kegagalan rasa tape uli yang dihasilkan.

Demikianlah ringkasan tentang tape uli, salah satu kuliner yang berasal dari DKI Jakarta. Jika Anda ingin mencoba tape uli, Anda dapat mengunjungi penjual tape uli di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep tape uli dan mencoba membuatnya sendiri. Sampai jumpa di artikel kuliner selanjutnya.

Share:

Memaknai Tonggak Sejarah: 61 Tahun Perjalanan TVRI dalam Layar Kaca Indonesia

Logo TVRI saat ini. (sumber: wikipedia.com)

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan jaringan televisi publik nasional di Indonesia yang memiliki status sebagai Lembaga Penyiaran Publik bersama dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Pendiriannya telah diatur dalam Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran. Sebagai jaringan televisi pertama di Indonesia, TVRI pertama kali mengudara pada tanggal 24 Agustus 1962. Dalam sejarahnya, TVRI sempat menjadi satu-satunya penyedia siaran televisi di Indonesia hingga tahun 1989, ketika televisi swasta pertama, RCTI, didirikan.

TVRI saat ini memiliki cakupan siaran yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, dengan tiga saluran televisi nasional dan 32 stasiun televisi daerah, serta didukung oleh 361 stasiun transmisi (termasuk 129 stasiun transmisi digital) di setiap provinsi di Indonesia. Selain siaran konvensional, TVRI juga dapat diakses melalui layanan streaming di situs resmi, aplikasi TVRI Klik, dan berbagai platform layanan Over-The-Top (OTT).

Dalam laporan dari Reuters Institute for the Study of Journalism dan Universitas Oxford pada tahun 2021, TVRI terbukti sebagai salah satu media yang paling dipercaya oleh masyarakat, dengan tingkat kepercayaan mencapai 66%. Ini menggarisbawahi peran penting TVRI sebagai penyedia informasi yang diandalkan dan berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Sejarah

1961-1962: Ide, gagasan, dan siaran percobaan

Tokoh yang tak dapat dilepaskan dari sejarah TVRI adalah Maladi, seorang mantan penyiar RRI yang memiliki peran signifikan dalam mewujudkan gagasan berdirinya stasiun televisi di Indonesia. Pada tahun 1955, Maladi pertama kali mengusulkan konsep ini, dengan tujuan mendukung sosialisasi pemerintah dalam pemilihan umum pertama yang akan datang. Meskipun Presiden Soekarno (saat itu sistem parlementer) tertarik dengan ide tersebut, kabinet saat itu menolaknya karena dianggap terlalu mahal. Setelah menjadi Menteri Penerangan pada tahun 1959, Maladi kembali memajukan gagasan tersebut kepada Presiden Soekarno, yang saat itu memegang kekuasaan dalam era Demokrasi Terpimpin. Maladi percaya bahwa televisi dapat mengembangkan persatuan nasional melalui penyiaran olahraga yang dapat merajut kesatuan, terutama karena Indonesia dipilih sebagai tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962. Gagasan ini mulai diterima oleh berbagai pihak, termasuk Presiden, dan pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan keputusan yang mendorong pendirian stasiun televisi.

Pada tahun 1961, proyek televisi mulai terwujud sebagai bagian dari pembangunan Asian Games IV, di bawah Komando Urusan Proyek Asian Games IV (KUPAG). Menteri Penerangan kemudian membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2TV) yang dipimpin oleh R.M. Soetarto untuk mempersiapkan siaran televisi. R.M. Soetarto dikirim ke Amerika Serikat untuk mempelajari lebih lanjut tentang pertelevisian. Proyek ini terus berkembang, dan pada tanggal 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno mengirimkan instruksi kepada Maladi untuk mempersiapkan proyek televisi, termasuk pembangunan studio di bekas Akademi Penerangan (AKPEN) di Senayan dan pembuatan pemancar. TVRI akhirnya memulai siaran percobaan pada tanggal 17 Agustus 1962, dan kompleks siarannya diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1962. Maladi telah meninggalkan jejak berharga dalam perjalanan panjang TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang penting di Indonesia.

1962-1975: Siaran awal, status yayasan

Pada 24 Agustus 1962, TVRI resmi mengudara dengan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Dengan berdirinya TVRI, Indonesia bergabung dalam daftar negara Asia yang memiliki stasiun televisi, meskipun saat itu jumlah televisi di Indonesia masih terbatas, hanya sekitar 10.000-15.000 unit, dan hanya sekitar 2% penduduk yang dapat menikmati siaran TVRI. TVRI pun terlibat dalam struktur Organizing Committee Asian Games 1962 sebagai "Seksi Biro Radio dan Televisi Organizing Committee Asian Games IV", mengingat hubungannya yang erat dengan penyelenggaraan Asian Games. Setelah pembubaran komite tersebut, TVRI berada di bawah Yayasan Bung Karno melalui Keputusan Presiden No. 318/1962.

Kendati demikian, status dan kepemimpinan TVRI sempat menjadi bahan perdebatan di antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Penerangan, sementara masalah pengelolaan keuangan juga muncul. Penyelesaian akhirnya datang dengan Keputusan Presiden No. 215/1963 yang membentuk Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI. Status yayasan ini berlangsung hingga 1975. Meskipun demikian, TVRI pada periode ini memiliki karakteristik yang tidak sepenuhnya independen, karena mengikuti arahan pemerintah dalam program-programnya.

Selama Orde Baru, TVRI menjadi alat penyebarluasan program pemerintah dan pembangunan nasional, dan meskipun ada usulan untuk lebih mengarahkan TVRI pada hiburan, hal ini tidak terlaksana. Jumlah karyawan TVRI pada tahun 1963 adalah sekitar 100 orang, dan Divisi Pemberitaan didirikan dengan hanya 5 staf pada pertengahan tahun yang sama. Selain tenaga dalam negeri, 23 orang dari Jepang juga terlibat dalam pengembangan TVRI.

Pendanaan TVRI berasal dari anggaran negara, iklan, iuran televisi, dan sponsor. Dalam rangka memperluas jangkauan siaran, dibangunlah Stasiun Penyiaran Daerah di berbagai kota, meskipun pada akhirnya stasiun-stasiun ini diintegrasikan lebih terpusat dalam pemrograman setelah berbagai proses penggabungan dengan Stasiun Pusat Jakarta.

1975-1998: Perubahan status, pelebaran sayap dan penurunan

Pada tahun 1975, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55B/Kep/Menpen/1975 (kemudian diubah oleh SK Menpen No. 230A/Kep/Menpen/1984), TVRI mengalami perubahan status menjadi bagian dari organisasi dan struktur Departemen Penerangan RI dengan status direktorat. Status ini mencerminkan dualitas TVRI sebagai Yayasan Televisi RI dan juga Direktorat Televisi di bawah Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF). Meskipun demikian, hal ini menyebabkan manajemen TVRI mengadopsi manajemen birokrasi yang kurang efisien.

Pada tahun 1981, Presiden Soeharto mengambil keputusan untuk menghapus iklan di TVRI, yang mulai berlaku pada 1 April 1981. Keputusan ini memiliki tujuan untuk memusatkan siaran televisi guna mendukung program pembangunan pemerintah dan mencegah dampak negatif akibat perilaku konsumtif. Meskipun kontroversial, larangan iklan ini berdampak pada pendapatan TVRI, namun pemerintah mengkompensasinya dengan memperkenalkan "iklan terselubung" berupa acara yang disponsori.

Pada tahun 1983, TVRI meluncurkan Programa 2 TVRI (sekarang TVRI Jakarta) dengan acara berita dalam bahasa Inggris. Saluran ini mulai diperluas untuk menyesuaikan selera penduduk ibukota. TVRI terus berusaha memperluas jangkauan siaran dan mengembangkan stasiun-stasiun produksi keliling (SPK) di berbagai kota.

Selama periode tersebut, TVRI memainkan peran sebagai alat komunikasi pemerintah, mengkomunikasikan kebijakan dan program pemerintah kepada rakyat serta mendukung konsep pembangunan nasional Orde Baru. Namun, perubahan politik dan sosial di akhir 1990-an, termasuk berdirinya televisi swasta pertama, mengubah dinamika televisi di Indonesia dan meruntuhkan monopoli TVRI. Meskipun demikian, TVRI tetap berusaha mempertahankan perannya dalam dunia penyiaran nasional.

1998-2006: Restrukturisasi

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, TVRI mengalami peluang dan tantangan signifikan. Di satu sisi, TVRI memiliki kesempatan untuk mengubah dirinya dari agen propaganda pemerintah menjadi penyiaran publik yang lebih mandiri. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga membawa ketidakpastian yang berlangsung selama hampir 7 tahun. Masalah keuangan semakin diperparah oleh dampak krisis moneter. Penghapusan Departemen Penerangan pada tahun 1999 oleh Presiden Abdurrahman Wahid juga memicu ketidakpastian mengenai status TVRI karena sebelumnya TVRI berada di bawah departemen tersebut.

Perubahan tersebut menyebabkan TVRI beralih menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) pada tahun 1999 sebagai langkah transisi, namun tetap menghadapi tantangan dalam mengatur keuangan dan aset-asetnya. Pada tahun 2002, melalui Peraturan Pemerintah No. 9/2002, TVRI resmi menjadi PT TVRI (Persero), dengan tujuan untuk memperbaiki manajemen, struktur organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan. Meskipun kembali diizinkan menayangkan iklan, TVRI masih menghadapi kesulitan finansial karena acara-acaranya kurang menarik pengiklan.

Selama transisi ini, TVRI juga mengalami konflik internal dan perubahan kepemimpinan yang mempengaruhi kondisinya. Namun, pada tanggal 15 April 2003, TVRI resmi menjadi PT Persero dan mulai berusaha memperbaiki masalah-masalahnya. Selain itu, TVRI juga meningkatkan siarannya dengan menggunakan kanal UHF dan mengoperasikan kembali seluruh pemancar stasiun transmisinya.

Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran menetapkan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang terpisah dari kementerian mana pun. TVRI diberi masa transisi selama 3 tahun untuk belajar mandiri dalam menggali dana dan meningkatkan profesionalisme. Pada 24 Agustus 2006, TVRI secara resmi menyandang status sebagai Lembaga Penyiaran Publik sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2005, mengakhiri polemik tentang statusnya sejak 1999.

2006-kini: Modernisasi dan penyempurnaan siaran

Pada tahun 2010, TVRI memulai siaran digital dengan peluncuran cakupan awal di Jakarta, Surabaya, dan Batam. Selain itu, TVRI juga meluncurkan dua saluran terestrial digital pertama di Indonesia: TVRI 3 (kini TVRI World) dan TVRI 4 (kini TVRI Sport). Namun, TVRI masih mengalami tantangan dan kontroversi dalam periode ini. Berganti-ganti kepemimpinan dan masalah internal seperti konflik, tuduhan korupsi, dan kontroversi penayangan acara partai politik menjadi faktor yang mempengaruhi citra TVRI.

Pada tahun 2017, Helmy Yahya diangkat menjadi Direktur Utama TVRI, dan dengan bantuannya, TVRI melakukan perombakan besar-besaran terhadap acara dan siaran. Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemirsa muda dan menciptakan citra modern. Helmy Yahya dan timnya mengusahakan perubahan yang mencolok, meskipun beberapa tindakan ini kontroversial dan berakhir dengan pemberhentian Helmy Yahya karena dianggap tidak sesuai dengan peran penyiaran publik.

Pada Agustus 2019, TVRI bersama dengan beberapa televisi swasta nasional dan Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan siaran televisi digital di wilayah perbatasan Indonesia, sebagai persiapan untuk migrasi dari siaran analog ke digital.

Selama periode ini, usulan untuk menggabungkan TVRI dengan RRI sebagai LPP Radio Televisi Republik Indonesia juga muncul sebagai langkah untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi lembaga penyiaran publik.

Tantangan dan perubahan ini mencerminkan usaha TVRI untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat, serta untuk memperbaiki citra dan kualitas layanan sebagai penyiaran publik.

Pada peringatan ulang tahun yang ke-61 pada tanggal 24 Agustus 2023, TVRI memasuki fase baru dalam perjalanan panjangnya. Meskipun telah mengalami berbagai perubahan dan tantangan selama bertahun-tahun, TVRI tetap teguh dalam upaya menjadi lembaga penyiaran publik yang mampu menjaga integritas, memberikan informasi berkualitas, dan mengedepankan kepentingan masyarakat. Harapan besar terpancar untuk TVRI dapat terus menjadi penyeimbang dalam dunia penyiaran nasional, menjadi tempat bagi berbagai pandangan, mempromosikan budaya Indonesia, dan membantu memajukan pembangunan nasional.

Dalam usianya yang ke-61, TVRI diharapkan dapat terus berinovasi dalam menghadapi perubahan teknologi dan preferensi pemirsa. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, TVRI diharapkan mampu menjaga independensinya dan kualitas programnya, serta tetap menjadi rujukan utama bagi masyarakat dalam mencari informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan semangat yang baru dan komitmen yang tak tergoyahkan, TVRI diharapkan mampu memainkan peran penting sebagai pilar penyiaran publik yang mendukung persatuan, edukasi, dan hiburan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Dalam mengakhiri catatan perjalanan TVRI, kesungguhan untuk terus memajukan kualitas penyiaran, menghadirkan konten yang relevan dan mendidik, serta mempromosikan nilai-nilai positif di tengah tantangan era modern, akan menjadi landasan yang kuat bagi TVRI untuk terus bersinar sebagai lembaga penyiaran publik yang dicintai dan diandalkan oleh masyarakat Indonesia.

Share:

Museum Penerangan: Memelihara Warisan Sejarah Komunikasi dan Penerangan Indonesia

Museum Penerangan. (sumber: Wikipedia)

Museum Penerangan adalah suatu tempat yang tidak hanya menyimpan, tetapi juga mempelajari, memamerkan, serta merawat benda-benda bersejarah terkait penerangan dan komunikasi. Melalui konsep uniknya, museum ini bukan hanya menjadi penjaga kekayaan masa lalu, tetapi juga menjadi media komunikasi masa keenam setelah tatap muka, radio, TV, film, dan pers. Museum ini menciptakan jembatan antara masa lampau, masa kini, dan masa mendatang, memungkinkan masyarakat untuk memahami peran penting penerangan dalam membangun kesatuan dan persatuan bangsa.

Berlokasi di lahan seluas 10.850 m2 dengan bangunan seluas 3.980 m2, Museum Penerangan adalah wujud nyata dari prakarsa Ibu Tien Soeharto, yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1993. Bangunan museum yang berbentuk bintang bersudut lima melambangkan nilai-nilai Pancasila serta lima unsur penerangan. Di taman depan, tugu dengan lambang penerangan "Api nan Tak Kunjung Padam" dikelilingi oleh lima patung juru penerang, mengilustrasikan hubungan dinamis antara pemerintah, masyarakat, dan media massa.

Bangunan ini memiliki tiga lantai yang masing-masing mewakili masa lampau, masa kini, dan masa depan. Puncak bangunan berbentuk silinder menggambarkan simbol kenthongan, yang mengingatkan kita pada unsur penerangan tradisional. Fungsi modern penerangan juga diwakili oleh Menara Antena yang menopang silinder tersebut.

Mobil OB van TVRI, salah satu koleksi yang dimiliki Museum Penerangan. (sumber: muspen.kominfo.go.id)

Pameran di Museum Penerangan terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam dan di luar gedung. Koleksi di luar termasuk berbagai kendaraan bersejarah seperti mobil siaran dari Televisi Republik Indonesia (TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI), serta mobil siaran TVRI pertama yang digunakan saat Asian Games IV tahun 1962. Pameran ini memberikan gambaran awal perkembangan media di Indonesia.

Lantai satu menampilkan sejarah komunikasi melalui berbagai media seperti film, radio, televisi, tatap muka, dan media tradisional. Terdapat juga diorama yang menggambarkan operasional penerangan dalam berbagai konteks seperti pelayanan masyarakat desa, pencerdasan nasional, dan penanggulangan bencana alam. Koleksi langka seperti mesin ketik huruf Jawa dari Keraton Surakarta, kamera perekam rapat pertama dari Kabinet RI, dan Radio Oemoem tahun 1940 juga disajikan di sini.

Salah satu sisi bagian yang berada dalam Museum Penerangan. (sumber: https://lh3.googleusercontent.com/p/AF1QipP91MnGW6YfoJu3_TgddAyuVAtRy0ZfnULphwLV=s680-w680-h510)

Lantai dua memamerkan relief sepanjang 100 m yang menggambarkan perjalanan penerbangan Indonesia dalam lima periode serta peran penerangan dalam memperkuat identitas bangsa. Di sini juga terdapat diorama yang mengilustrasikan peran penting penerangan dalam membangkitkan nasionalisme, menyatukan bangsa, dan mendorong pembangunan. Salah satu sorotan utama adalah lukisan raksasa wajah Dr. Wahidin Soedirohusodo, karya Sumidjo, yang menjadi lukisan terbesar di Indonesia.

Lantai tiga menyajikan tiga studio mini dari PFN, RRI, dan TVRI, serta display foto transparan. Museum Penerangan juga mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan museum ini, seperti yang tercermin dalam koleksi sumbangan dari tokoh seperti Djamaludin Adinegoro, Ismail Marzuki, dan Adam Malik, yang ditempatkan dalam ruang istimewa.

Melalui Museum Penerangan, warisan sejarah komunikasi dan penerangan Indonesia dijaga, dipelajari, dan dihargai. Museum ini bukan hanya mengenang perjalanan komunikasi di masa lalu, tetapi juga memberikan wawasan bagi generasi masa kini dan masa depan tentang bagaimana media memainkan peran krusial dalam membangun bangsa. Dengan peran serta masyarakat yang berkelanjutan, Museum Penerangan akan terus menjadi tempat yang menginspirasi dan mendidik tentang nilai-nilai komunikasi dan penerangan yang mendasar bagi kemajuan bangsa.

Share:

Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI): Perjalanan Panjang Menuju Pemimpin Industri Pariwisata

Logo Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). (sumber: website Universitas Teknologi Yogyakarta)

Sebagai bagian tak terpisahkan dari industri pariwisata Indonesia, Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) telah menjalani perjalanan yang penuh prestasi sejak berdirinya pada tahun 1969. Dengan awalnya dikenal sebagai Bali Guide Association (BGA), organisasi ini telah bertransformasi menjadi entitas yang kuat dan berpengaruh dalam mengembangkan sektor pariwisata di tanah air.

Awal mula perjalanan HPI berasal dari pendirian Bali Guide Association (BGA) pada tahun 1969. Organisasi ini, yang berbasis di Bali, bertujuan untuk menyatukan pramuwisata di pulau tersebut dalam upaya untuk memajukan industri pariwisata dan memberikan pengalaman yang lebih baik kepada para wisatawan. Dengan semakin berkembangnya sektor pariwisata, BGA mengalami perubahan yang signifikan dalam perjalanannya.

Pada tahun 1988, BGA melakukan perubahan penting dengan merubah namanya menjadi Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Langkah ini menandai perluasan cakupan organisasi dari sekadar asosiasi di Bali menjadi entitas nasional yang berfokus pada mengumpulkan dan mewadahi pramuwisata dari seluruh penjuru Indonesia. Transformasi ini juga mencerminkan peran HPI yang semakin penting dalam membentuk arah dan pengembangan industri pariwisata di negara ini.

HPI tidak hanya menjadi wadah bagi pramuwisata yang beroperasi di daratan, tetapi juga memberikan pelayanan dalam kegiatan pramuwisata di kapal pesiar. Dalam era di mana wisata bahari semakin populer, peran HPI dalam mendukung dan mengembangkan kompetensi pramuwisata di kapal pesiar menjadi sangat relevan. Hal ini tidak hanya berdampak pada pengalaman para wisatawan yang menggunakan kapal pesiar, tetapi juga pada citra dan daya tarik pariwisata Indonesia secara keseluruhan.

Perjalanan panjang HPI merupakan bukti nyata komitmen dan dedikasi dalam memajukan industri pariwisata Indonesia. Dengan menyediakan pelatihan, pengembangan kompetensi, dan standar profesionalisme yang tinggi bagi pramuwisata, HPI telah berperan penting dalam meningkatkan kualitas layanan kepada para wisatawan. Organisasi ini juga turut ambil bagian dalam menghubungkan para pelaku pariwisata, memfasilitasi pertukaran pengalaman dan pengetahuan, serta mempromosikan Indonesia sebagai tujuan wisata unggulan.

Dengan sejarah perubahan dan inovasi yang telah ditempuh, HPI telah menjadi pemimpin dalam industri pariwisata Indonesia. Dari awalnya sebagai BGA di Bali hingga menjadi HPI yang berpengaruh di seluruh negeri, organisasi ini terus mengambil peran aktif dalam membentuk masa depan pariwisata Indonesia. Melalui pengembangan pramuwisata yang profesional dan berkualitas, serta keterlibatan dalam berbagai sektor termasuk kapal pesiar, HPI membawa harapan cerah bagi pertumbuhan pariwisata Indonesia yang berkelanjutan.

Share:

Lokananta: Dari Studio Rekaman Hingga Destinasi Wisata Budaya Musik

Lokananta adalah entitas yang bersejarah sebagai bekas badan usaha milik negara Indonesia yang fokus pada kegiatan perekaman musik. Berbasis di Kota Surakarta, Jawa Tengah, perusahaan ini saat ini berperan sebagai salah satu cabang dari Percetakan Negara Republik Indonesia. Di balik sejarahnya yang kaya, Lokananta juga memiliki keunikan dengan menyimpan arsip file betamax yang berisi rekaman versi "Seberkas Sinar 2M-D" oleh Nike Ardilla, sebuah karya yang telah melampaui waktu dan melibatkan Dian Nitami, pada tahun 1990 dengan label MEDIA MASA DEPAN (2M-D).

Sejarah

Studio rekaman Lokananta. (sumber: Arsip digital Pemerintah Kota Surakarta)

Perusahaan Lokananta pertama kali didirikan berkat inisiatif R. Maladi pada tanggal 29 Oktober 1956 dengan nama "Perusahaan Piringan Hitam Lokananta," yang merupakan bagian dari Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Nama "Lokananta" memiliki arti yang mendalam, yakni "seperangkat gamelan surgawi dalam pewayangan Jawa yang dapat berbunyi sendiri dengan merdu." Fokus utama Lokananta saat itu adalah menduplikasi materi siaran dari RRI. Meskipun sempat diusulkan untuk diberi nama "Indra Vox" (singkatan dari Indonesia Raya Vox), usulan tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1958, perusahaan ini mulai mencoba memasarkan piringan hitamnya ke masyarakat melalui RRI.

Kemudian, pada tahun 1961, status Lokananta diubah menjadi perusahaan negara dengan nama "PN Lokananta." Perusahaan mulai mengembangkan bidang usahanya menjadi label rekaman dengan spesialisasi pada lagu daerah dan pertunjukan kesenian, serta penerbitan buku dan majalah. Pada tahun 1972, produksi audio Lokananta berpindah dari piringan hitam ke kaset. Pada tahun 1983, Lokananta membentuk unit penggadaan film dalam format pita magnetik seperti Betamax dan VHS. Pada tahun 2004, pemerintah menggabungkan Lokananta ke dalam Perum Percetakan Negara RI (PNRI), menjadikannya sebagai cabang dari perusahaan tersebut. Sebagai cabang PNRI, bisnis Lokananta meliputi perekaman musik, duplikasi audio (kaset & CD), penyiaran, percetakan, dan penerbitan.

Pada tanggal 21 Februari 2017, Lokananta menjalin kerja sama dengan Langit Musik, memungkinkan lagu-lagu dari artis seperti Waldjinah dan lainnya yang tersimpan di Lokananta dapat dinikmati melalui platform tersebut. Sejumlah lagu yang ada di Lokananta juga dapat diakses melalui berbagai platform streaming seperti Joox, Spotify, dan Deezer.

Pustaka Rekaman

Lokananta memiliki koleksi yang kaya dan beragam, termasuk ribuan lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia serta lagu-lagu pop lama, termasuk keroncong. Selain itu, perusahaan ini memiliki lebih dari 53.000 keping piringan hitam dan 5.670 master rekaman daerah. Bahkan, koleksinya mencakup rekaman pidato-pidato Presiden Soekarno dan master Proklamasi, menghadirkan sepotong sejarah yang berharga.

Koleksi Lokananta mencakup berbagai jenis musik tradisional Indonesia, seperti gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan Sumatra Utara (Batak), serta musik daerah lainnya dan lagu-lagu folklore atau rakyat yang penciptanya tidak diketahui. Rekaman gending karawitan gubahan dalang terkenal Ki Nartosabdo, serta karawitan Jawa dari Surakarta dan Yogyakarta, menjadi bagian dari harta koleksi Lokananta. Tersimpan juga master lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Buby Chen, dan Sam Saimun. Lokananta juga memiliki kontribusi penting dalam melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia.

Selain itu, Lokananta terlibat dalam produksi berbagai karya yang memperkaya industri musik Indonesia. Sebagai contoh, mereka memproduksi lagu "Rasa Sayange" bersama dengan lagu-lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan hitam ini dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962. Pada tahun 2018, piringan hitam "Souvenir From Indonesia" (Asian Games 1962) dicetak ulang dalam bentuk Boxset CD, dan dibagikan kepada setiap atlet yang berpartisipasi dalam Asian Games & Asian Para Games 2018.

Lokananta juga mempunyai kehormatan memproduksi rekaman resmi pertama dari lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dalam versi 3 stanza dengan aransemen oleh Josef Cleber. Pada tanggal 18 hingga 20 Mei 2017, lagu kebangsaan ini direkam ulang oleh Gita Bahana Nusantara di bawah asuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menunjukkan peran penting Lokananta dalam melestarikan warisan budaya Indonesia.

Studio

Salah satu ruangan dan mixer yang ada di studio Lokananta. (sumber: ensiklopediajawatengah.com)

Pada tahun 1985, Studio Lokananta diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko. Studio ini memiliki luas 14 x 31 meter, memberikan ruang yang luas untuk pelaksanaan rekaman dengan akustik ruangan yang sangat baik. Dengan fasilitas ini, Studio Lokananta menjadi studio terbesar di Indonesia hingga saat ini.

Studio Lokananta bukan hanya sekadar sebuah fasilitas, tetapi juga telah menjadi tempat bersejarah bagi banyak musisi dan acara penting. Salah satunya adalah Didi Kempot, seorang musisi legendaris, yang menggunakan studio ini dalam konser bertajuk "Konser Amal Dari Rumah" yang diadakan oleh Kompas TV pada tahun 2020. Konser ini tidak hanya memberikan hiburan kepada masyarakat, tetapi juga berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 7,6 miliar untuk membantu menanggulangi pandemi Covid-19. Sayangnya, konser ini juga menjadi konser terakhir bagi Didi Kempot sebelum beliau wafat. Studio Lokananta, dengan segala sejarah dan peran pentingnya, terus menerus menjadi bagian yang signifikan dalam industri musik dan budaya Indonesia.

Info Terkini

Pada tanggal 18 April, sebuah tonggak penting tercapai dengan penandatanganan ringkasan utama kerjasama pengelolaan Lokananta antara PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), yang diwakili oleh Rizwan Rizal Abidin (Direktur Investasi 1 & Restrukturisasi), dan PT Ruang Riang Lokananta sebagai operator, yang diwakili oleh Wendi Putranto (CEO Lokanantabloc).

Melalui inisiatif ini, Lokananta akan diubah menjadi destinasi wisata cagar budaya yang juga menawarkan ruang kreatif publik komersial dengan fokus pada musik. Di kawasan ini, rencananya akan didirikan studio rekaman baru, galeri seni, ruang musik, dan ruang pameran sejarah. Selain itu, pengunjung akan dapat menemukan toko cinderamata, ruang konser, ampiteater, berbagai gerai makanan dan minuman (F&B), serta gerai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang terkurasi.

Dengan transformasi ini, para pengunjung di masa depan akan dapat merasakan berbagai aktivitas seru di dalam kawasan Lokananta yang baru. Mereka bisa menikmati pertunjukan konser, menyaksikan atraksi seni budaya, berpartisipasi dalam proses rekaman musik, mengunjungi pameran musik, berbelanja vinyl dan cinderamata musik, terlibat dalam kegiatan komunitas, menikmati suasana di kafe, atau bahkan sekadar bersantai menikmati sore di ampiteater Lokananta yang indah. Semua ini menunjukkan komitmen untuk memajukan industri musik dan budaya di Indonesia melalui ruang yang kreatif dan inspiratif seperti Lokananta.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer