Memaknai Tonggak Sejarah: 61 Tahun Perjalanan TVRI dalam Layar Kaca Indonesia

Logo TVRI saat ini. (sumber: wikipedia.com)

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan jaringan televisi publik nasional di Indonesia yang memiliki status sebagai Lembaga Penyiaran Publik bersama dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Pendiriannya telah diatur dalam Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran. Sebagai jaringan televisi pertama di Indonesia, TVRI pertama kali mengudara pada tanggal 24 Agustus 1962. Dalam sejarahnya, TVRI sempat menjadi satu-satunya penyedia siaran televisi di Indonesia hingga tahun 1989, ketika televisi swasta pertama, RCTI, didirikan.

TVRI saat ini memiliki cakupan siaran yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, dengan tiga saluran televisi nasional dan 32 stasiun televisi daerah, serta didukung oleh 361 stasiun transmisi (termasuk 129 stasiun transmisi digital) di setiap provinsi di Indonesia. Selain siaran konvensional, TVRI juga dapat diakses melalui layanan streaming di situs resmi, aplikasi TVRI Klik, dan berbagai platform layanan Over-The-Top (OTT).

Dalam laporan dari Reuters Institute for the Study of Journalism dan Universitas Oxford pada tahun 2021, TVRI terbukti sebagai salah satu media yang paling dipercaya oleh masyarakat, dengan tingkat kepercayaan mencapai 66%. Ini menggarisbawahi peran penting TVRI sebagai penyedia informasi yang diandalkan dan berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Sejarah

1961-1962: Ide, gagasan, dan siaran percobaan

Tokoh yang tak dapat dilepaskan dari sejarah TVRI adalah Maladi, seorang mantan penyiar RRI yang memiliki peran signifikan dalam mewujudkan gagasan berdirinya stasiun televisi di Indonesia. Pada tahun 1955, Maladi pertama kali mengusulkan konsep ini, dengan tujuan mendukung sosialisasi pemerintah dalam pemilihan umum pertama yang akan datang. Meskipun Presiden Soekarno (saat itu sistem parlementer) tertarik dengan ide tersebut, kabinet saat itu menolaknya karena dianggap terlalu mahal. Setelah menjadi Menteri Penerangan pada tahun 1959, Maladi kembali memajukan gagasan tersebut kepada Presiden Soekarno, yang saat itu memegang kekuasaan dalam era Demokrasi Terpimpin. Maladi percaya bahwa televisi dapat mengembangkan persatuan nasional melalui penyiaran olahraga yang dapat merajut kesatuan, terutama karena Indonesia dipilih sebagai tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962. Gagasan ini mulai diterima oleh berbagai pihak, termasuk Presiden, dan pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan keputusan yang mendorong pendirian stasiun televisi.

Pada tahun 1961, proyek televisi mulai terwujud sebagai bagian dari pembangunan Asian Games IV, di bawah Komando Urusan Proyek Asian Games IV (KUPAG). Menteri Penerangan kemudian membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2TV) yang dipimpin oleh R.M. Soetarto untuk mempersiapkan siaran televisi. R.M. Soetarto dikirim ke Amerika Serikat untuk mempelajari lebih lanjut tentang pertelevisian. Proyek ini terus berkembang, dan pada tanggal 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno mengirimkan instruksi kepada Maladi untuk mempersiapkan proyek televisi, termasuk pembangunan studio di bekas Akademi Penerangan (AKPEN) di Senayan dan pembuatan pemancar. TVRI akhirnya memulai siaran percobaan pada tanggal 17 Agustus 1962, dan kompleks siarannya diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1962. Maladi telah meninggalkan jejak berharga dalam perjalanan panjang TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang penting di Indonesia.

1962-1975: Siaran awal, status yayasan

Pada 24 Agustus 1962, TVRI resmi mengudara dengan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Dengan berdirinya TVRI, Indonesia bergabung dalam daftar negara Asia yang memiliki stasiun televisi, meskipun saat itu jumlah televisi di Indonesia masih terbatas, hanya sekitar 10.000-15.000 unit, dan hanya sekitar 2% penduduk yang dapat menikmati siaran TVRI. TVRI pun terlibat dalam struktur Organizing Committee Asian Games 1962 sebagai "Seksi Biro Radio dan Televisi Organizing Committee Asian Games IV", mengingat hubungannya yang erat dengan penyelenggaraan Asian Games. Setelah pembubaran komite tersebut, TVRI berada di bawah Yayasan Bung Karno melalui Keputusan Presiden No. 318/1962.

Kendati demikian, status dan kepemimpinan TVRI sempat menjadi bahan perdebatan di antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Penerangan, sementara masalah pengelolaan keuangan juga muncul. Penyelesaian akhirnya datang dengan Keputusan Presiden No. 215/1963 yang membentuk Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI. Status yayasan ini berlangsung hingga 1975. Meskipun demikian, TVRI pada periode ini memiliki karakteristik yang tidak sepenuhnya independen, karena mengikuti arahan pemerintah dalam program-programnya.

Selama Orde Baru, TVRI menjadi alat penyebarluasan program pemerintah dan pembangunan nasional, dan meskipun ada usulan untuk lebih mengarahkan TVRI pada hiburan, hal ini tidak terlaksana. Jumlah karyawan TVRI pada tahun 1963 adalah sekitar 100 orang, dan Divisi Pemberitaan didirikan dengan hanya 5 staf pada pertengahan tahun yang sama. Selain tenaga dalam negeri, 23 orang dari Jepang juga terlibat dalam pengembangan TVRI.

Pendanaan TVRI berasal dari anggaran negara, iklan, iuran televisi, dan sponsor. Dalam rangka memperluas jangkauan siaran, dibangunlah Stasiun Penyiaran Daerah di berbagai kota, meskipun pada akhirnya stasiun-stasiun ini diintegrasikan lebih terpusat dalam pemrograman setelah berbagai proses penggabungan dengan Stasiun Pusat Jakarta.

1975-1998: Perubahan status, pelebaran sayap dan penurunan

Pada tahun 1975, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55B/Kep/Menpen/1975 (kemudian diubah oleh SK Menpen No. 230A/Kep/Menpen/1984), TVRI mengalami perubahan status menjadi bagian dari organisasi dan struktur Departemen Penerangan RI dengan status direktorat. Status ini mencerminkan dualitas TVRI sebagai Yayasan Televisi RI dan juga Direktorat Televisi di bawah Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF). Meskipun demikian, hal ini menyebabkan manajemen TVRI mengadopsi manajemen birokrasi yang kurang efisien.

Pada tahun 1981, Presiden Soeharto mengambil keputusan untuk menghapus iklan di TVRI, yang mulai berlaku pada 1 April 1981. Keputusan ini memiliki tujuan untuk memusatkan siaran televisi guna mendukung program pembangunan pemerintah dan mencegah dampak negatif akibat perilaku konsumtif. Meskipun kontroversial, larangan iklan ini berdampak pada pendapatan TVRI, namun pemerintah mengkompensasinya dengan memperkenalkan "iklan terselubung" berupa acara yang disponsori.

Pada tahun 1983, TVRI meluncurkan Programa 2 TVRI (sekarang TVRI Jakarta) dengan acara berita dalam bahasa Inggris. Saluran ini mulai diperluas untuk menyesuaikan selera penduduk ibukota. TVRI terus berusaha memperluas jangkauan siaran dan mengembangkan stasiun-stasiun produksi keliling (SPK) di berbagai kota.

Selama periode tersebut, TVRI memainkan peran sebagai alat komunikasi pemerintah, mengkomunikasikan kebijakan dan program pemerintah kepada rakyat serta mendukung konsep pembangunan nasional Orde Baru. Namun, perubahan politik dan sosial di akhir 1990-an, termasuk berdirinya televisi swasta pertama, mengubah dinamika televisi di Indonesia dan meruntuhkan monopoli TVRI. Meskipun demikian, TVRI tetap berusaha mempertahankan perannya dalam dunia penyiaran nasional.

1998-2006: Restrukturisasi

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, TVRI mengalami peluang dan tantangan signifikan. Di satu sisi, TVRI memiliki kesempatan untuk mengubah dirinya dari agen propaganda pemerintah menjadi penyiaran publik yang lebih mandiri. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga membawa ketidakpastian yang berlangsung selama hampir 7 tahun. Masalah keuangan semakin diperparah oleh dampak krisis moneter. Penghapusan Departemen Penerangan pada tahun 1999 oleh Presiden Abdurrahman Wahid juga memicu ketidakpastian mengenai status TVRI karena sebelumnya TVRI berada di bawah departemen tersebut.

Perubahan tersebut menyebabkan TVRI beralih menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) pada tahun 1999 sebagai langkah transisi, namun tetap menghadapi tantangan dalam mengatur keuangan dan aset-asetnya. Pada tahun 2002, melalui Peraturan Pemerintah No. 9/2002, TVRI resmi menjadi PT TVRI (Persero), dengan tujuan untuk memperbaiki manajemen, struktur organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan. Meskipun kembali diizinkan menayangkan iklan, TVRI masih menghadapi kesulitan finansial karena acara-acaranya kurang menarik pengiklan.

Selama transisi ini, TVRI juga mengalami konflik internal dan perubahan kepemimpinan yang mempengaruhi kondisinya. Namun, pada tanggal 15 April 2003, TVRI resmi menjadi PT Persero dan mulai berusaha memperbaiki masalah-masalahnya. Selain itu, TVRI juga meningkatkan siarannya dengan menggunakan kanal UHF dan mengoperasikan kembali seluruh pemancar stasiun transmisinya.

Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran menetapkan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang terpisah dari kementerian mana pun. TVRI diberi masa transisi selama 3 tahun untuk belajar mandiri dalam menggali dana dan meningkatkan profesionalisme. Pada 24 Agustus 2006, TVRI secara resmi menyandang status sebagai Lembaga Penyiaran Publik sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2005, mengakhiri polemik tentang statusnya sejak 1999.

2006-kini: Modernisasi dan penyempurnaan siaran

Pada tahun 2010, TVRI memulai siaran digital dengan peluncuran cakupan awal di Jakarta, Surabaya, dan Batam. Selain itu, TVRI juga meluncurkan dua saluran terestrial digital pertama di Indonesia: TVRI 3 (kini TVRI World) dan TVRI 4 (kini TVRI Sport). Namun, TVRI masih mengalami tantangan dan kontroversi dalam periode ini. Berganti-ganti kepemimpinan dan masalah internal seperti konflik, tuduhan korupsi, dan kontroversi penayangan acara partai politik menjadi faktor yang mempengaruhi citra TVRI.

Pada tahun 2017, Helmy Yahya diangkat menjadi Direktur Utama TVRI, dan dengan bantuannya, TVRI melakukan perombakan besar-besaran terhadap acara dan siaran. Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemirsa muda dan menciptakan citra modern. Helmy Yahya dan timnya mengusahakan perubahan yang mencolok, meskipun beberapa tindakan ini kontroversial dan berakhir dengan pemberhentian Helmy Yahya karena dianggap tidak sesuai dengan peran penyiaran publik.

Pada Agustus 2019, TVRI bersama dengan beberapa televisi swasta nasional dan Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan siaran televisi digital di wilayah perbatasan Indonesia, sebagai persiapan untuk migrasi dari siaran analog ke digital.

Selama periode ini, usulan untuk menggabungkan TVRI dengan RRI sebagai LPP Radio Televisi Republik Indonesia juga muncul sebagai langkah untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi lembaga penyiaran publik.

Tantangan dan perubahan ini mencerminkan usaha TVRI untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat, serta untuk memperbaiki citra dan kualitas layanan sebagai penyiaran publik.

Pada peringatan ulang tahun yang ke-61 pada tanggal 24 Agustus 2023, TVRI memasuki fase baru dalam perjalanan panjangnya. Meskipun telah mengalami berbagai perubahan dan tantangan selama bertahun-tahun, TVRI tetap teguh dalam upaya menjadi lembaga penyiaran publik yang mampu menjaga integritas, memberikan informasi berkualitas, dan mengedepankan kepentingan masyarakat. Harapan besar terpancar untuk TVRI dapat terus menjadi penyeimbang dalam dunia penyiaran nasional, menjadi tempat bagi berbagai pandangan, mempromosikan budaya Indonesia, dan membantu memajukan pembangunan nasional.

Dalam usianya yang ke-61, TVRI diharapkan dapat terus berinovasi dalam menghadapi perubahan teknologi dan preferensi pemirsa. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, TVRI diharapkan mampu menjaga independensinya dan kualitas programnya, serta tetap menjadi rujukan utama bagi masyarakat dalam mencari informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan semangat yang baru dan komitmen yang tak tergoyahkan, TVRI diharapkan mampu memainkan peran penting sebagai pilar penyiaran publik yang mendukung persatuan, edukasi, dan hiburan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Dalam mengakhiri catatan perjalanan TVRI, kesungguhan untuk terus memajukan kualitas penyiaran, menghadirkan konten yang relevan dan mendidik, serta mempromosikan nilai-nilai positif di tengah tantangan era modern, akan menjadi landasan yang kuat bagi TVRI untuk terus bersinar sebagai lembaga penyiaran publik yang dicintai dan diandalkan oleh masyarakat Indonesia.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer