KH. Hasan Besari: Biografi "Walisongo" Periodesasi ke-10 (1751-1897)

KH. Hasan Besari. (sumber: www.akucintanusantaraku.blogspot.com)

Kelahiran

KH. Hasan Besari, yang lahir pada tahun 1729 M, merupakan putra kedua dari Kiai Muhammad Ilyas bin Kiai Ageng Muhammad Besari dari istri pertamanya. Latar belakang pondok pesantren sangat memengaruhi pendidikan dan karakter Hasan Besari, menjadikannya pribadi yang alim, sabar, cerdas, dan ahli dalam tirakat.

Selain sifat-sifat tersebut, Hasan Besari juga dikenal karena penampilannya yang gagah, dengan wajah menarik dan postur tubuh yang tegap. Hal ini menarik perhatian Bra. Murtosyah, putri dari Pakubuwono III, yang kemudian meminta ayahandanya untuk melamar Hasan Besari. Pernikahan tersebut terjadi ketika Hasan Besari berumur 36 tahun, dan mereka dikaruniai 6 orang putra: R.M. Martopoero, R.A. Saribanon, R.A. Martorejo, R.M. Cokronegoro, R.M. Bawadi, dan R.A. Andawiyah.

Dalam masyarakat Jawa, ulama atau Kiai memiliki posisi sosial yang sangat tinggi. Masa kolonial saat itu menyebabkan pemimpin politik seperti sultan dan raja lebih fokus pada urusan politik, sehingga urusan agama dan sosial dikelola oleh para Kiai. Kiai Hasan Besari sangat berpengaruh dalam masyarakat Ponorogo dan Kasunanan Surakarta. Bahkan hingga saat ini, namanya masih dikenal luas, terutama di masyarakat Ponorogo. Makamnya sering dikunjungi oleh peziarah dari dalam dan luar Ponorogo.

Hasan Besari adalah bagian dari trah Kiai, sebagai cucu dari pendiri pondok pesantren Gebang Tinatar, yaitu Kiai Ageng Muhammad Besari. Daerah Tegalsari, tempat Hasan Besari tinggal, sangat subur dan makmur, dan menjadi pusat perhatian desa-desa sekitarnya. Masyarakatnya menjunjung tinggi Hasan Besari.

Peran ulama dan Kiai di masyarakat pedesaan sangat penting sebagai pemersatu. Para ulama juga memainkan peran dalam mempertahankan solidaritas dan keharmonisan masyarakat desa. Sebagai hasil dari pengaruh sosial dan agama yang kuat, Hasan Besari ditunjuk sebagai lurah yang mengatur kepemimpinan di desa Tegalsari oleh Sunan Pakubuwono IV dari Surakarta.

Pendidikan

Kiai, dalam dunia pesantren, adalah tokoh yang memiliki peranan sangat penting. Mereka dianggap sebagai public figure bagi masyarakat pesantren dan hampir semua perkataan mereka dianggap sebagai nasihat yang harus ditaati sepenuh hati. Seorang Kiai adalah seorang pemimpin pondok pesantren yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mendalam, mampu membaca, menafsirkan, dan mengajarkan Al-Qur'an, serta memberikan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab.

Untuk menjadi seorang Kiai, seseorang biasanya melalui berbagai tahapan. Biasanya, mereka berasal dari keluarga dekat seorang Kiai dan setelah menyelesaikan studi di berbagai pesantren, mereka dilatih oleh Kiai yang lebih tua untuk membangun pesantren mereka sendiri. Hal ini serupa dengan perjalanan KH. Hasan Besari, yang awalnya adalah pengganti ayahnya, Kiai Hasan Ilyas. Kiai Hasan Ilyas dipecat oleh Pakubuwono IV karena dianggap hanya memperkaya dirinya sendiri dan tidak memberikan pendidikan yang memadai kepada santrinya.

Ketika Ronggowarsito datang ke Tegalsari, dia membawa surat dari kakeknya, Raden Yosodipuro I. Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa Kiai Hasan Besari adalah salah satu dari beberapa orang yang ingin mengabdikan diri kepada raja, yang dipilih untuk belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar.

Sebagai Putra Kiai, Hasan Besari merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan tradisi keluarga Kiai dan mempersiapkan diri untuk memimpin pesantren. Dia tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sederhana, yang memengaruhi pandangan dan sikapnya terhadap kehidupan.

Pendidikan sufisme juga menjadi bagian penting dari pendidikan Hasan Besari. Dia mempraktikkan berbagai ibadah, seperti sholat sunah, dzikir, wirid, rotib, tirakat, puasa sunah, dan lainnya. Pendidikan semacam ini memberikan pengalaman mendalam bagi Hasan Besari, dan dia kemudian mentransfer pengetahuan ini kepada santrinya, termasuk R. Ng. Ronggowarsito.

Selain belajar di pesantren, para santri biasanya menjadi pengurus pesantren setelah menyelesaikan tahap pendidikan dasar. Mereka mengambil alih tugas mengajar santri yang lebih muda dan beberapa di antaranya akan menjadi Lurah Pondok. Pergi ke Mekkah juga menjadi bagian penting dari pendidikan pesantren dan sebagai syariat Islam. Hal ini memberikan kesempatan para ulama untuk belajar lebih banyak tentang ilmu agama.

Pendidikan KH. Hasan Besari lebih banyak diperoleh dari kakeknya, para guru di pesantren, dan guru-gurunya. Dia belajar tentang ilmu Fiqih, Alat, Tafsir, Hadis, dan sastra. KH. Hasan Besari memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sastra Jawa, khususnya sastra Jawa yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa dan adat istiadat di Surakarta Hadiningrat. Pendidikan tersebut memberikan landasan yang kuat bagi peran Hasan Besari sebagai seorang guru, pemimpin agama, dan ahli budaya di masyarakat.

Sebagai Pemimpin Pesantren

KH. Hasan Besari adalah seorang ulama terkemuka pada abad ke-19 Masehi. Ia merupakan pemimpin dari Pondok Pesantren Gebang Tinatar yang terletak di Kabupaten Ponorogo.

Pemikiran

Dari Serat Ronggowarsito yang ditulis pada tahun 1935, diceritakan bahwa setelah tiba di Ponorogo, Mas Ngabehi Ronggowarsito mengunjungi dan memberikan surat dari ayahandanya, Raden Tumenggung Sastronegoro, kepada Kiayi Imam Besari. Setelah surat diterima, tamu tersebut disambut dengan jamuan sederhana.

Pemikiran yang pertama yang bisa diambil dari cerita tersebut adalah betapa pentingnya cara menjamu tamu dalam tradisi Pesantren di Ponorogo. Ketika tamu berkunjung ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar, mereka disambut dengan jamuan yang seadanya, dan tradisi ini masih dijaga hingga sekarang. Pemikiran ini didukung oleh ajaran dalam Islam yang menyatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah harus memuliakan tamunya.

Selanjutnya, Hasan Besari memiliki kebijakan penting dalam pengenalan santri baru. Setiap santri baru diperkenalkan kepada santri-santri lama, dan mereka makan bersama di bawah pengawasan Hasan Besari. Tradisi ini membuat santri baru dan lama dapat dengan mudah akrab satu sama lain, dan tradisi ini masih dijalankan di banyak pondok pesantren.

Hasan Besari juga dikenal sebagai ulama yang menerapkan hukum Islam di Desa Tegalsari. Hal ini membuat Desa Tegalsari menjadi pusat dan banyak desa lain meniru praktik tersebut. Namun, hal ini menarik perhatian pihak berwenang, sehingga Hasan Besari ditangkap dan dibawa ke Surakarta.

Setelah tiba di Surakarta, Hasan Besari ditahan di Masjid Agung Surakarta. Para santrinya datang untuk menengoknya, dan mereka mengadakan sholawatan bersama. Kepandaiannya dalam sholawatan dan kecantikan suaranya membuat Putri Mustosiyah tertarik padanya. Akhirnya, Hasan Besari menikahi Putri Mustosiyah, yang merupakan putri dari Pakubuwono IV, dan mereka memiliki beberapa anak, termasuk Raden Cokronegoro, yang menjadi Bupati Ponorogo, dan cucunya R. H.O.S. Cokroaminoto, yang terkenal sebagai tokoh pergerakan nasional.

Share:

Jumlah Pengunjung

Populer