Setan atau syetan adalah makhluk dalam agama Samawi yang menggoda manusia untuk berbuat jahat. Istilah "setan" pada awalnya digunakan sebagai julukan untuk berbagai entitas yang menantang kepercayaan iman manusia dalam Alkitab Ibrani. Namun, seiring perkembangan waktu, istilah "Satan" digunakan sebagai nama untuk Iblis. Di dalam bahasa Indonesia, terdapat perbedaan makna antara "Satan" (huruf besar) dan "setan" (huruf kecil). "Satan" lebih condong merujuk kepada sang Iblis (diabolos), sementara "setan" lebih mengacu kepada roh-roh jahat (daemon). Perubahan makna ini terjadi karena istilah "setan" tidak diterjemahkan langsung dari bahasa Ibrani, melainkan melalui bahasa Arab, sehingga terjadi pergeseran makna.
Dalam konteks agama Kristen, Satan atau Iblis adalah makhluk yang sering dianggap sebagai musuh utama. Ia muncul dalam Kitab Kejadian sebagai ular di Taman Eden yang mempengaruhi Adam dan Hawa. Selama abad pertengahan, peran Satan dalam teologi Kristen tidak begitu besar dan digunakan sebagai elemen selingan dalam sandiwara misteri. Namun, pada periode modern awal, peran Satan semakin penting dengan tersebarnya kepercayaan akan kerasukan setan dan sihir. Meskipun kepercayaan ini dikritik selama Abad Pencerahan, kepercayaan akan keberadaan Satan masih ada, terutama di Amerika.
Dalam Islam, Iblis adalah makhluk yang terbuat dari api dan diusir dari surga karena menolak bersujud kepada Adam. Iblis juga dikaitkan dengan penyebab dosa manusia melalui waswās (pikiran jahat) yang ia insyirahkan ke dalam benak manusia.
Selain dalam agama Samawi, terdapat juga kepercayaan Setanisme Teistik, di mana Satan dianggap sebagai dewa yang dipuja atau dihormati, serta Setanisme LaVeyan, di mana Satan adalah simbol kebajikan dan kebebasan. Penggambaran fisik Satan dalam seni Kristen sering kali mencakup tanduk, telapuk, kaki berambut tebal, dan ekor, meskipun tidak ada deskripsi fisik yang jelas dalam Alkitab. Penggambaran ini terinspirasi oleh berbagai dewa pagan seperti Pan, Poseidon, dan Bes.
Satan juga sering muncul dalam sastra Kristen, terutama dalam karya-karya seperti "Inferno" karya Dante Alighieri. Selain itu, karakter Satan masih sering menjadi tema dalam film, acara televisi, dan musik hingga saat ini.
Pemahaman Yahudi
Pada awalnya, istilah "setan" dalam Kitab-Kitab Yahudi hanya memiliki makna sebagai "lawan" atau "penuduh". Contohnya, dalam ayat (1 Samuel 29:4), Panglima Bangsa Philistine merasa takut bahwa Daud akan menjadi "Setan" atau lawan mereka. Dalam Kitab Bilangan 22:22, Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjadi "Setan" atau lawan Bileam, yang ikut bersama orang-orang Moab yang berniat menyerang bangsa Israel.
Perubahan makna kata "setan" perlahan-lahan terjadi ketika agama Yahudi mulai memengaruhi paham dualisme dari agama Zoroastrianisme, terutama selama periode ketika Israel dikuasai oleh Persia pada tahun 539-332 SM. Sebelumnya, agama Yahudi percaya bahwa baik dan buruk berasal dari Tuhan, tanpa adanya entitas jahat yang terpisah. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan teodisi, yaitu mengapa Tuhan yang Maha Pengasih membiarkan kejahatan dan penderitaan ada di dunia.
Para pemimpin agama Yahudi menemukan jawaban dalam ajaran agama Zoroastrianisme, di mana mereka diperkenalkan pada konsep Angra Mainyu atau Ahriman. Angra Mainyu adalah entitas jahat yang terpisah dari Ahura Mazda, yang merupakan sosok Tuhan dan sumber segala kebaikan dalam agama Zoroastrianisme. Konsep ini menjadi dasar pembentukan sosok "setan" sebagaimana dikenal saat ini dalam agama Yahudi dan Kristen.
Dengan demikian, perubahan makna kata "setan" dari "lawan" menjadi "makhluk ghaib jahat" terjadi seiring pengaruh dan interaksi agama Yahudi dengan ajaran Zoroastrianisme.
Pemahaman Kristen
Pada kitab Ayub, istilah "Setan" memiliki peran sebagai tokoh yang berfungsi seperti jaksa penuntut dalam peradilan langit. Setan mempertanyakan ketaatan Ayub terhadap Tuhan, menganggap bahwa Ayub hanya taat karena selalu diberkati oleh Tuhan. Tuhan kemudian mengizinkan Setan menguji Ayub dengan merenggut harta miliknya, asalkan tidak mencelakai Ayub. Setan melakukan ujian tersebut seperti yang Tuhan perintahkan, namun Ayub tetap taat kepada Tuhan. Ketika Tuhan memuji ketaatan Ayub, Setan menawarkan tantangan lain, yakin bahwa Ayub akan berpaling dari Tuhan jika mengalami penderitaan fisik. Tuhan kembali mengizinkan Setan untuk mencelakai Ayub, asalkan tidak membunuhnya. Namun, Ayub tetap teguh dalam ketaatannya kepada Tuhan. Setelah ujian-ujiannya, Setan menghilang dari cerita ini.
Menurut T.J. Wray dan Gregory Mobely, karakter Ayub dalam cerita ini memiliki makna simbolik yang mewakili bangsa Israel yang telah mengalami berbagai penderitaan, termasuk kehancuran Yerusalem dan deportasi selama periode Babilonia. Pada konteks ini, Setan belum sepenuhnya dipersepsikan sebagai entitas jahat, melainkan hanya menjalankan perannya sebagai jaksa penuntut di bawah pengawasan Tuhan.
Perkembangan konsep Setan yang lebih jahat dapat ditemukan dalam Kitab 1 Tawarikh, yang ditulis sekitar tahun 300 SM. Dalam kitab ini, kisah Daud yang awalnya tercatat dalam Kitab 2 Samuel diceritakan kembali. Dalam Kitab 2 Samuel 24, Tuhan yang marah mendorong Daud untuk melakukan sensus rakyatnya. Namun, dalam Kitab 1 Tawarikh 21:1, disebutkan bahwa Daud melakukan sensus karena dihasut oleh Setan. Pada saat ini, konsep Setan yang awalnya hanya sebagai istilah untuk "lawan" atau "musuh" tumbuh menjadi sosok yang menjadi sumber kedengkian dan kejahatan.
Dalam agama Kristen, Setan juga dikenal sebagai Diabolos (διάβολος), yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab sebagai Iblis melalui Bahasa Suryani. Setan dianggap sama dengan ular dalam Kitab Kejadian 3 yang dilaknat oleh Tuhan untuk merayap di atas perutnya selamanya, karena telah menyesatkan Hawa untuk memakan buah dari Pohon Pengetahuan Tentang Yang Baik Dan Buruk.
Nama
Nama umum untuk "Setan" dalam Alkitab Kristen adalah "Iblis". Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah "devil", yang berasal dari bahasa Inggris Pertengahan "devel", yang berasal dari bahasa Inggris Kuno "dēofol". Kata ini diambil dari bahasa Latin "diabolus", yang pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani "diabolos", yang berarti "pemfitnah" atau "slanderer", yang terbentuk dari kata "diaballein", yang berarti "memfitnah", dengan "dia-" yang berarti "melalui" dan "ballein" yang berarti "menggulung".
Dalam Perjanjian Baru, kata-kata "satan" dan "diabolos" digunakan secara bergantian sebagai sinonim. Selain itu, ada juga istilah "Beelzebub", yang berarti "Dewa Lalat". Istilah ini digunakan sebagai nama hinaan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Baru untuk mengacu pada sesosok dewa Filistin. Nama asalnya mungkin adalah "Ba'al Zabul", yang berarti "Baal si pangeran". Kitab-kitab Injil Sinoptik mengidentifikasi Setan dan Beelzebub sebagai tokoh yang sama.
Selain itu, terdapat juga istilah "Abaddon", yang berarti "tempat kebinasaan", yang digunakan dalam Perjanjian Lama, terutama sebagai nama daerah dalam Sheol. Dalam Kitab Wahyu 9:11, Abaddon digambarkan sebagai sosok malaikat yang memerintah Abyss. Nama ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai "Apollyon", yang berarti "si pembinasa". Dalam penggunaan modern, Abaddon sering kali disamakan dengan Setan.
Asal Usul
Menurut doktrin Kristen Trinitarian, awalnya, Setan adalah malaikat Tuhan yang bernama Lucifer. Dalam konteks ini, istilah "malaikat" merujuk pada "utusan". Semua malaikat diciptakan oleh Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Kolose 1:16, yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik yang ada di surga maupun di bumi, diciptakan melalui Kristus dan untuk Kristus. Lucifer adalah salah satu malaikat yang diciptakan dengan keindahan yang sempurna, menjadikannya makhluk ciptaan Tuhan yang paling cantik. Selain itu, ia juga dianugerahi hikmat yang luar biasa, menjadikannya makhluk ciptaan Tuhan yang paling bijaksana. Di antara semua malaikat di Surga, Lucifer adalah yang paling cerdas, cantik, dan berkuasa.
Namun, meskipun malaikat adalah makhluk yang indah dan memiliki kuasa, mereka tidak boleh disembah, karena mereka hanyalah makhluk ciptaan Tuhan. Hanya Tuhan, Sang Pencipta, yang layak untuk disembah.
Dalam Alkitab Terjemahan Baru, kata "Satan" (dengan huruf besar) hanya muncul dua kali (Wahyu 12:9, 20:2) dan berasal dari akar kata Yunani "Satanas", yang diterjemahkan sebagai "Iblis" di 34 tempat lain dalam Alkitab. Oleh karena itu, istilah sinonim yang paling dekat dalam bahasa Indonesia adalah "Iblis".
Selain istilah "Satan", dalam Alkitab juga terdapat nama-nama lain yang sering dikaitkan dengan Setan. Nama "Lucifer", dalam konteks teologi Kristen, diidentifikasikan dengan "putera Fajar" dalam Yesaya 14:12 yang juga dikaitkan dengan "pemfitnah" dalam bagian lain dalam Perjanjian Lama. "Beelzebub" atau "Beelzebul" adalah nama dewa orang Filistin (sejenis Baal) yang sering digunakan dalam Perjanjian Baru sebagai sinonim untuk Satan.
Selain itu, Setan juga digambarkan dalam berbagai bentuk, termasuk sebagai ular dan naga. Dalam kisah Kejadian, Setan diidentifikasi sebagai ular yang membujuk Hawa untuk memakan Buah Pengetahuan yang Baik dan yang Benar. Wahyu 20:2 juga merujuk pada "si ular tua," yang merupakan sinonim untuk Iblis dan Satan.
Pemahaman Islam
Dalam ajaran Islam, istilah "setan" pada dasarnya memiliki arti sebagai kata sifat yang dapat diterapkan pada berbagai makhluk, termasuk makhluk dari golongan jin, manusia, dan bahkan hewan. Ibnu Katsir, seorang ulama Islam terkenal, juga menjelaskan bahwa setan adalah segala yang keluar dari tabiat jenisnya dengan perilaku yang jahat.
Dalam Al-Quran, dalam surat Al-An'am ayat 112, Allah menjelaskan bahwa setiap nabi memiliki musuh, yang termasuk di dalamnya adalah setan-setan dari berbagai jenis, termasuk manusia dan jin. Mereka saling berbisik dan merencanakan perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Ayat ini menggambarkan bahwa setan bisa berasal dari jenis manusia seperti halnya setan dari jenis jin. Yang menjadi ciri utama setan adalah perilaku durhaka dan perbuatannya yang menyelisihi akhlak dan perbuatan baik, sehingga mereka disebut sebagai setan karena jauhnya dari kebaikan dan ketaatan kepada Allah.
Dengan demikian, dalam konteks ajaran Islam, istilah "setan" merujuk pada makhluk atau individu yang melakukan perbuatan jahat dan durhaka terhadap Allah serta berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar.
Pemahaman Baha'i
Dalam agama Bahá'í, pandangan terhadap Satan berbeda dengan agama-agama lainnya. Satan tidak dianggap sebagai entitas jahat yang bergerak sendiri, seperti yang terjadi dalam agama-agama lain. Dalam ajaran Bahá'í, pandangan terhadap Satan lebih terkait dengan sifat manusia yang lebih rendah atau ego jahat yang ada dalam diri manusia. `Abdu'l-Bahá, salah satu tokoh penting dalam agama Bahá'í, menjelaskan bahwa "kodrat yang lebih rendah pada manusia ini dilambangkan sebagai Satan - ego jahat di dalam diri kita, bukan kepribadian jahat di luar."
Dalam keyakinan Bahá'í, roh-roh jahat lain yang mungkin diimani oleh agama-agama lain, seperti jin, juga dianggap sebagai metafora sifat yang dimiliki oleh manusia ketika ia berpaling dari Tuhan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang dianggap sebagai tindakan "kesetanan" dalam ajaran Bahá'í mengacu pada perilaku manusia yang muncul akibat dorongan egois dan mementingkan diri sendiri.
Dalam konteks agama Bahá'í, penekanan lebih pada perbaikan diri manusia dan pemahaman tentang sifat-sifat manusia yang lebih rendah, bukan pada eksistensi setan sebagai entitas eksternal yang jahat.