Halo pembaca setia Inkarnasi Kata, dalam artikel kali ini kami akan menghadirkan informasi menarik mengenai kuliner tradisional khas Yogyakarta, yaitu gudeg. Ayo, mari kita simak lebih lanjut tentang sajian kuliner yang istimewa ini.
Gudeg, sebuah hidangan khas dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terdiri dari nangka muda yang dimasak dengan santan, membutuhkan waktu berjam-jam dalam proses pembuatannya. Warna cokelat karakteristiknya seringkali berasal dari daun jati yang ikut dimasak. Gudeg biasanya disajikan dengan nasi dan ditemani oleh kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu, serta sambal goreng krecek.
Dikenal di seluruh Jawa, gudeg merupakan hidangan yang digemari baik di rumah maupun di warung jalanan. Selain itu, gudeg juga diproduksi secara masal dalam kaleng. Tak hanya di Indonesia, gudeg pun bisa dinikmati di luar negeri, terutama di negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Asal Usul
Gudeg merupakan hidangan yang terbuat dari buah nangka, yang tumbuh melimpah di berbagai pulau di Kepulauan Melayu, terutama di Jawa, dan memiliki peran penting dalam panganan lokal. Untuk meningkatkan masa simpan gudeg, digunakan sejumlah besar rempah-rempah dan bumbu khusus selama proses perebusan.
Legenda yang berkembang di Jawa Tengah mengaitkan asal-usul gudeg dengan berdirinya Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16. Konon, pada saat itu, para pejuang yang membuka hutan untuk membangun ibu kota negara baru di wilayah yang sekarang menjadi Yogyakarta, menghadapi kesulitan pasokan makanan yang memadai. Di hutan tersebut, hanya pohon nangka dan kelapa yang tumbuh subur. Buah nangka yang masih keras dan tidak bisa dimakan mentah akhirnya direbus dengan santan dalam panci logam besar dan diaduk dengan papan kayu. Proses memasak seperti ini, dalam bahasa Jawa sehari-hari disebut "hangudek" (Jawa: Hangudek), yang berarti "mengaduk." Legenda ini menunjukkan bahwa kata "Gudeg" berasal dari kata "hangudek" dan menjadi asal mula nama hidangan yang ditemukan oleh prajurit Mataram tersebut, yaitu "Gudeg."
Proses Pembuatan
Gudeg memiliki bahan dasar dari daging buah nangka yang masih mentah. Berbeda dengan buah nangka matang yang lembut, berwarna kuning cerah, dan manis, buah nangka mentah memiliki konsistensi padat, agak kering, berwarna keputihan atau krem ringan, serta tidak dapat dimakan mentah. Untuk mempersiapkan gudeg, nangka muda yang telah dikupas kulitnya dipotong kecil-kecil dan direbus hingga lunak dalam air mendidih. Kemudian, potongan nangka ini disajikan dengan santan, seringkali dicampur dengan air kelapa, dan dibumbui dengan rempah-rempah tertentu, lalu direbus dalam waktu yang cukup lama, biasanya selama 4–6 jam.
Warna gudeg didominasi oleh campuran rempah-rempah yang digunakan selama proses memasak. Rempah-rempah ini juga memberikan cita rasa utama pada gudeg karena daging nangka mentah sebenarnya tidak memiliki rasa khusus. Gudeg dapat memiliki berbagai variasi warna, mulai dari hampir putih atau krem muda hingga merah tua atau cokelat. Variasi tersebut dikenali dengan julukan seperti "gudeg putih" dan "gudeg merah." Gudeg putih dibuat dengan rempah-rempah yang tidak secara signifikan mengubah warna asli produk, seperti lumbang, ketumbar, lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, dan lada hitam. Sementara itu, pada gudeg merah, selain rempah-rempah tersebut, tambahan bumbu memberikan warna yang lebih gelap pada potongan nangka. Biasanya, warna merah diperoleh dari daun jati dan moringa oleifera, sementara terasi juga dapat digunakan untuk memberikan nuansa merah-kecokelatan. Di zaman modern, teh celup kadang-kadang dimasukkan selama proses perebusan untuk memberikan warna lebih gelap dan rasa asam yang lebih kuat pada gudeg, lalu teh ini diangkat setelah hidangan matang. Dalam semua jenis gudeg, baik yang kering maupun berkuah, serta yang berwarna merah atau putih, gula aren biasanya ditambahkan sebagai pemanis, dan rasa manis ini menjadi ciri khas gudeg.
Penyajian
Gudeg, saat disajikan tanpa tambahan, dapat dianggap sebagai hidangan vegetarian karena terdiri dari nangka mentah dan santan. Namun, dalam penyajiannya yang umum, gudeg biasanya disertai oleh telur atau daging ayam. Biasanya, hidangan ini disantap bersama nasi putih dan disertai dengan beragam pilihan seperti ayam, baik dalam bentuk opor ayam atau ayam goreng, telur pindang, opor telur atau telur rebus biasa, tahu, tempe, serta sambel goreng krecek (rebusan yang terbuat dari kulit sapi yang renyah).
Gudeg dapat dikemas dalam besek (kotak bambu) atau kendil (gucci tanah liat), atau bahkan dalam kaleng. Hidangan dalam bentuk kalengan dapat bertahan hingga satu tahun, meskipun rasanya mungkin tidak seauthentik yang baru dimasak.
Warung dan restoran yang menghidangkan gudeg dapat ditemukan di berbagai kota di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah Jabodetabek. Gudeg merupakan hidangan yang populer di restoran Jawa dan juga dapat ditemukan di negara tetangga seperti Singapura.
Varian
Gudeg memiliki beberapa jenis, antara lain gudeg kering yang memiliki sedikit santan dan kuah, gudeg basah yang kaya akan santan, serta gaya Yogyakarta, gaya Solo, dan gaya Jawa Timur. Gudeg kering biasanya memiliki sedikit kuah dan santan, sedangkan gudeg basah lebih berkuah dan kaya santan. Gudeg yang paling umum dikenal berasal dari Yogyakarta, cenderung lebih manis, kering, dan memiliki warna merah khas karena penggunaan daun jati sebagai pewarna. Di sisi lain, gudeg Solo dari Kota Surakarta cenderung lebih berkuah, mengandung banyak santan, dan memiliki warna yang lebih keputihan karena umumnya tidak menggunakan daun jati. Gudeg Yogyakarta sering disebut sebagai "gudeg merah," sementara gudeg Solo dikenal sebagai "gudeg putih." Gudeg gaya Jawa Timur memiliki rasa yang lebih pedas dibandingkan dengan gudeg gaya Yogyakarta yang lebih manis.
Tradisionalnya, gudeg diidentifikasi dengan Yogyakarta, sehingga kadang-kadang Yogyakarta dijuluki sebagai "Kota Gudeg." Pusat restoran gudeg Yogyakarta terletak di kawasan Wijilan sebelah timur Kraton Yogyakarta. Seperti banyak masakan Indonesia lainnya, berbagai jenis gudeg secara tradisional dianggap sebagai kuliner khas dari kota atau daerah tertentu, sehingga dinamai sesuai dengan "geografis" masing-masing. Oleh karena itu, gudeg merah sering disebut sebagai gudeg "Yogyakarta," dan gudeg putih disebut sebagai gudeg "Surakarta," sesuai dengan nama asal kota tersebut di Jawa Tengah.
Penjualan
Di wilayah Jawa, gudeg adalah hidangan yang populer yang dapat ditemui di rumah-rumah, restoran, dan pedagang kaki lima. Gudeg juga menjadi fokus industri katering dari berbagai tingkatan, mulai dari restoran dan warung makan hingga gerobak pedagang kaki lima, bahkan menggunakan mobil khusus untuk berjualan. Dalam warung-warung dan toko-toko tradisional, Anda seringkali akan melihat kotak kardus atau keranjang kecil yang dianyam dari bambu digunakan sebagai wadah untuk menyajikan hidangan gudeg.
Salah satu atraksi utama di Yogyakarta adalah Jalan Wijilan, yang terletak di pusat kota sekitar Keraton Yogyakarta. Jalan ini dipenuhi dengan puluhan restoran dan toko yang mengkhususkan diri dalam penjualan gudeg, banyak di antaranya buka 24 jam. Setiap hari, banyak penggemar gudeg dan pelancong kuliner datang ke sini untuk menikmati hidangan ini. Gudeg juga didistribusikan dari tempat ini ke daerah-daerah dan kota-kota sekitarnya. Beberapa restoran gudeg lokal di sini telah berdiri selama lebih dari enam puluh tahun dan terkenal bahkan di luar kota Yogyakarta.
Sejak tahun 1920-an, industri makanan Indonesia telah memproduksi makanan kaleng siap saji. Gudeg juga kadang-kadang dijual dalam bentuk makanan kaleng. Biasanya, gudeg kaleng ini berisi gudeg yang sudah matang atau setengah matang beserta bumbu dan rempahnya. Namun, ada juga gudeg kaleng yang hanya berupa daging nangka cincang yang perlu dimasak sendiri.
Demikianlah informasi singkat tentang gudeg, salah satu kuliner khas Yogyakarta. Jika Anda tertarik mencicipi gudeg, Anda dapat mengunjungi penjual gudeg di daerah Anda, atau jika tidak tersedia, Anda bisa mencari berbagai resep gudeg dan mencoba membuatnya sendiri. Ini adalah akhir dari artikel kuliner tradisional kali ini. Sampai jumpa pada artikel kuliner selanjutnya!