Kisah Jembatan Ancol telah menjadi salah satu cerita urban legendaris yang mendalam di kalangan masyarakat Jakarta. Cerita ini telah menjadi buah bibir, bahkan diangkat menjadi tema dalam berbagai produksi film layar lebar. Namun, di balik pesona "si manis" yang kerap muncul di Jembatan Ancol ini, terdapat lapisan misteri yang mengiringi cerita ini sejak abad ke-19, pada masa penjajahan Belanda di DKI Jakarta yang dahulu dikenal sebagai Batavia.
Menurut cerita yang dikisahkan oleh Zaenuddin HM dalam bukunya "Kisah-Kisah ‘Edan’ Seputar Djakarta Tempo Doeloe" (1966), sosok hantu perempuan yang dikenal sebagai "si manis" seringkali muncul di Jembatan Ancol. Ia digambarkan sebagai perempuan cantik dengan rambut panjang yang terurai dengan indah. Hantu ini kerap mendekati orang-orang yang lewat di kawasan tersebut, terutama laki-laki, dan meminta bantuan sebelum menghilang begitu saja.
Cerita tentang "si Manis Jembatan Ancol" telah beredar sejak abad ke-19, ketika Jembatan Ancol dan sekitarnya masih menjadi kawasan yang sangat sepi, terutama pada malam hari karena kurangnya penerangan. Banyak masyarakat yang mengaku pernah bertemu dengan sosok perempuan misterius ini.
Namun, popularitas cerita "si Manis" ini seringkali menyembunyikan kisah kelam yang terjadi di sekitar Jembatan Ancol pada masa lalu. Kisah ini berkaitan dengan kehilangan nyawa seorang perempuan yang menjadi korban tindak kejahatan seksual. Versi cerita menyebutkan bahwa perempuan ini bernama Mariam, meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai Siti Ariah.
Mariam atau Siti Ariah adalah seorang kembang desa yang meninggal tragis karena menjadi korban perbuatan asusila, dan jasadnya dibuang di sekitar Jembatan Ancol. Saat itu, kawasan Ancol dikenal sebagai sarang monyet yang hidup di semak belukar, dan seringkali monyet-monyet tersebut muncul di jalan raya.
Pada masa itu, Ancol juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para pria hidung belang dan wanita tuna susila. Nama Ancol sudah lama terkait dengan kehidupan malam dan kesenangan duniawi. Dalam buku "Saudagar Baghdad dari Betawi" (2004) karya Alwi Shahab, cerita populer saat itu mengisahkan tentang seorang playboy kaya raya dan sejumlah warga kaya lainnya yang sering bersenang-senang di Kawasan Ancol.
Sejarah mencatat bahwa pada awal abad ke-19, ada seorang gadis yatim bernama Siti Ariah yang tinggal bersama ibunya, Mak Emper, di suatu paviliun milik seorang juragan kaya di Batavia. Pemilik paviliun tersebut, sang juragan, mulai jatuh cinta pada Ariah ketika ia berusia 16 tahun. Namun, Ariah menolak menjadi selir sang juragan dan melarikan diri.
Namun, malang tak dapat dihindari, Ariah justru bertemu dengan playboy pemilik rumah bordil tersebut. Terpesonalah sang playboy oleh kecantikan Ariah dan berkeinginan menjadikannya sebagai "koleksi" pribadinya. Ariah pun kembali melarikan diri, tetapi ia akhirnya ditangkap oleh dua preman utusan rumah bordil tersebut. Tragedi pun terjadi, dan Ariah meninggal di Bendungan Dempet dekat Danau Sunter. Jenazahnya kemudian dibuang sekitar 400 meter dari Jembatan Ancol.
Konon, Ariah menjadi arwah gentayangan yang terus berkelana karena ingin memberitahukan keberadaannya kepada ibunya. Sang pemilik rumah bordil juga mendapat nasib tragis dan meninggal dengan cara digantung oleh pihak Belanda di Taman Fatahillah Jakarta.
Kepopuleran cerita Jembatan Ancol mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, ketika hampir tidak ada sopir kendaraan yang berani melewati jembatan ini tanpa memberikan kode khusus, seperti membunyikan klakson atau menyalakan lampu sein. Sejak saat itu, kisah "si Manis Jembatan Ancol" menjadi salah satu legenda urban yang tetap melekat dalam masyarakat Jakarta.
Meskipun kisah ini diangkat menjadi cerita horor, di balik misteri dan ketakutan, cerita Jembatan Ancol mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keselamatan perempuan dan mengecam tindakan kekerasan terhadap mereka. Cerita ini juga menjadi bagian dari warisan budaya Jakarta yang kaya, menggambarkan bagaimana cerita rakyat dan legenda bisa membentuk citra dan identitas sebuah kota.